x

cover buku Catatan Haji Nanang

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 28 Januari 2021 10:42 WIB

Catatan Haji Nanang - Sampaikan Salamku Kepada Rasulullah SAW

Catatan perjalanan berhasi Ahmad Rizali alias Haji Nanang yang penuh protes tapi sekaligus memberi gagasan solusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Catatan Haji Nanang

Penulis: Ahmad Rizali

Tahun Terbit: 2019 (cetakan kedua)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Yayasan Mujaddid                                                                                 

Tebal: x + 254

ISBN: 978-623-9003-75-3

 

Perjalanan berhaji adalah sebuah perjalanan yang sangat pribadi. Perjalanan memenuhi undangan dari Allah untuk “bertemu di rumah-Nya” tentu membawa kesan yang paling mendalam dalam kehidupan seorang muslim/muslimah. Itulah sebabnya banyak yang sangat berharap untuk “dipanggil pulang” saat sedang melaksanakan ibadah haji. Karena berhaji adalah sebuah perjalanan yang sangat pribadi, maka masing-masing orang mempunyai pengalaman khusus yang tidak didapati oleh orang lain. Perjumpaan dengan Tuhan adalah sebuah pengalaman yang amat sangat pribadi.

Seorang yang akan menunaikan ibadah haji harus siap secara mental dan fisik. Siap mental karena perjalanan ini adalah perjalanan berjumpa dengan Allah. Pasti akan banyak pengalaman spiritual yang mengaduk-aduk perasaan. Siap fisik karena perjalanan ini panjang dan ke suatu wilayah yang panasnya bukan main dengan jadwal yang padat.

Beberapa buku tentang pengalaman naik haji yang ada di koleksi saya adalah “Naik Haji di Masa Silam” jilid I, II dan III karya Henri Chambert-Loir yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, “Orang Jawa Naik Haji” karya Mas Danarto dan “Orang LSM Naik Haji” karya Sukirman. Karya Chambert-Loir mencakup perjalanan haji orang Nusantara dari periode abad ke 15 sampai dengan abad 20. Buku “Naik Haji di Masa Silam” memuat 30 pengalaman berhaji orang Nusantara di masa lalu. Melalui karya Chambert-Loir ini saya mendapatkan banyak informasi tentang pengalaman spiritual dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para Muslim/Muslimah yang ingin berhaji. Bahkan ada juga yang berhajinya hanya sampai ke daerah Melayu saja.

Karya Mas Danarto dan Sukirman memberi gambaran berata latar belakang seseorang bisa menjadi cermin untuk berefleksi saat menjalani ibadah haji. Mas Danarto menjalani hajinya dengan merefleksikan spiritualitas Jawa yang selama ini menjadi cara dia mencari Tuhannya. Sedangkan Sukirman yang adalah seorang pegiat LSM dari Medan, merefleksikan perjalanan hajinya dengan nilai-nilai LSM (egaliter, humanis dan anti SARA). Baik Mas Danarto dan Sukirman juga merasakan pengalaman spiritual yang sangat pribadi saat berada di depan Ka’bah.

Di akhir tahun 2020, saya mendapatkan satu lagi buku tentang pengalaman berhaji. Kali ini saya dapat dari kawan saya seorang pegiat pembangunan sektor Pendidikan yang mendokumentasikan pengalamannya menjalankan ibadah haji. Buku tersebut berjudul “Catatan Haji Nanang – Sampaikan Salamku Kepada Rasulullah SAW.” Buku catatan berhaji ini sangat runtut karena Haji Nanang rajin menulis catatan mulai dari sejak persiapan sampai kembali dari ibadah haji. Catatan harian itulah yang kemudian disunting menjadi buku menarik ini.

Berbeda dari buku-buku tentang berhaji yang saya baca sebelumnya, “Catatan Haji Nanang” ini memuat banyak sekali ketidak-puasan beliau tentang prosesi berhaji. “Isi buku ini sebagian berisi protes dan ketidakpuasan manusia al faqir…,”  sebut dia di bagian penutup (hal. 166). Sebenarnya Mas Danarto juga banyak menulis tentang kekurangberesan penyelenggaraan haji yang dialaminya. Hanya Haji Nanang lebih lugas dalam menyampaikan masalah-masalah yang dilihatnya.

Memang benar. Sejak paragraph pertama (halaman 10), Ahmad Rizali (Nanang) sudah menyampaikan komplainnya tentang betapa lamanya seseorang harus antre untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima ini. Bukan hanya mengeluh, Nanang menunjukkan mengapa antrian bisa begitu lama. Ia mengungkap syarat kelayakan berhaji sebagai salah satu penyebab banyaknya orang yang “bisa” berangkat ke Mekkah. Seandainya syarat itu diperbaiki, niscaya antrian tentu tidak akan sepanjang (mungkin lebih tepat pakai istilah selama) ini.

Haji Nanang juga memprotes banyaknya bisnis yang memanfaatkan kerinduan umat untuk memenuhi undangan Allah ini. Dari layanan manasik, pengelolaan ONH, Uang Jago, Cek Kesehatan yang hanya formalitas tetapi tetap membayar dan sebagainya. Ia juga memprotes sarana dan prasarana yang terkesan asal-asalan dalam melayani para tamu Allah yang terhormat tersebut. Sarana MCK yang jorok dan jumlahnya tidak mencukupi, makanan yang itu-itu saja (Ayam Goreng Maning – hal. 84), sprei yang tampaknya tidak diganti adalah beberapa hal yang diungkapkannya dalam buku ini.

Haji Nanang tentu tidak hanya melakukan protes atau komplain. Sebagai seorang yang bergiat di dunia Pendidikan, Haji Nanang selalu menyisipkan gagasan-gagasan yang mungkin bisa menjadi solusi untuk memperbaiki proses berhaji. Jadi orang memang harus solutip.

Meski diakuinya bahwa dalam buku ini banyak sekali komplain yang ditulisnya, namun perjalanan Haji Nanang bukanlah perjalanan yang kering dan penuh kemarahan. Ia cemas sebelum berangkat (hal. 12). Sebab ia akan bertemu dengan Gusti Allah di rumah-Nya. Haji Nanang mengemban pesan dari sang Ayah yang sudah uzur dan kondiri kesehatannya sudah tidak prima. Sang Ayah memohon supaya Haji Nanang menyampaikan salam beliau kepada Allah di Mekah. “Sampaikan salam ke Rasulullah,” demikian pesan singkat sang Ayah saat Haji Nanang berpamitan kepada ayahnya. Pesan Sang Ayah diabadikannya menjadi judul buku ini.

Haji Nanang begitu tergetar saat memasuki Masjidil Haram. Bukan hanya dari sisi bangunan yang megah yang membuatnya bergetar, tetapi menyaksikan begitu banyak tamu Allah yang sedang bersembahyang di masjid tersebut. Melakukan ibadah di Masjidil Haram adalah sebuah keintiman dengan Allah. Airmatanya tumpah saat sampai ke Musdalifah. Ia merasakan betapa kecilnya manusia di hadapan Allah. Haji Nanang merasakan cinta Allah yang sedemikian besar saat shalat di dekat Ka’bah. Arimata pun bercucuran merasakan indahnya dekapan Allah yang penuh cinta.

Pada sebuah peristiwa, Haji Nanang merasa bahwa ia telah menunda kesempatan untuk beramal. Ketika Allah memberinya kesempatan untuk membantu seorang ibu gemuk yang berjalan dengan kursi roda yang memerlukan bantuannya, ia tak segera melakukannya. Karena “takut kehilangan istri” ia melewatkan kesempatan beramal tersebut (hal. 57). Namun akhirnya Haji Nanang berkesempatan untuk beramal juga. Di saat seperti itulah Haji Nanang merasa dicintai Allah karena ia diberikan kesempatan untuk beramal di rumahNya. (569)

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler