x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 28 Januari 2021 17:09 WIB

Revisi UU Pemilu: Mengapa Presidential Threshold Harus Dihapus

Jika UU Pemilu direvisi, aturan mengenai presidential threshold mestinya termasuk yang wajib dihapus. Presidential threshold adalah cara elite politik-ekonomi mempertahankan kekuasaan. Mungkinkah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bagi banyak partai, aturan presidential threshold menjadi rintangan serius untuk mampu mencalonkan figur presiden dan wakil pilihan mereka. Sekalipun mungkin mereka berhasil meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], itu bukan jaminan kepastian mereka berhak mengajukan calon sendiri. Mereka mungkin harus membentuk koalisi di antara partai-partai yang juga mendapat kursi di parlemen tapi tidak melampaui presidential threshold.

Partai-partai ini melakukan apa yang dianggap sebagai kelaziman di dunia politik, yaitu tawar-menawar, dan kursi di parlemen itulah yang menjadi modal tawar-menawar. Rakyat telah menyaksikan bagaimana tawar-menawar itu terjadi dalam pemilihan presiden yang lalu, khususnya dalam hal menentukan siapa yang akan mendampai calon presiden. Baik di kubu PDI-P, Golkar, PKB, dan kawan-kawan maupun di kubu Gerindra, PKS, dan lainnya, terungkaplah apa yang terjadi di balik layar pencalonan kedua wapres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila kita saksikan hasil pilpres dan pileg yang lalu, tampak jelas bahwa partai-partai yang duduk di pemerintahan sama dengan mayoritas partai yang menempatkan wakilnya di parlemen. Hanya tiga partai yang punya wakil di parlemen tapi tidak duduk di pemerintahan: Demokrat, PKS, dan PAN—namun partai yang terakhir ini pendukung pemerintah. Praktis, mayoritas partai di parlemen juga duduk di pemerintahan, sebab banyaknya jumlah kursi di parlemen menjadi alat tawar-menawar dengan presiden terpilih dan partai asalnya untuk memperoleh kursi di kabinet.

Dampaknya kemudian ialah fungsi kontrol parlemen terhadap jalannya pemerintahan tidak optimal, sebab mayoritas partai di parlemen adalah juga mayoritas partai yang duduk di kabinet. Cerita selanjutnya dapat ditebak bahwa legislatif dan eksekutif kemudian menyuarakan kepentingan yang sama, hanya kursinya saja yang berbeda.

Sebagaimana kita lihat dalam praktik, anggota Dewan lebih berperan sebagai penyambung lidah elite partai ketimbang menyuarakan kepentingan rakyat serta mengontrol dengan ketat jalannya pemerintahan. Bagaimana mungkin wakil-wakil partai di parlemen itu akan bersikap kritis terhadap pemerintah sebab yang duduk di kabinet adalah teman-teman mereka satu partai, yang niscaya juga mengusung kepentingan partai di pemerintahan. Bagaimana mungkin anggota partai yang duduk di parlemen akan mengritisi kebijakan menteri, sedangkan menterinya adalah ketua umum partai? Inilah realitas yang kita saksikan sekarang.

Situasi tersebut berhulu pada aturan presidential threshold, sebab partai yang memiliki kursi di parlemen dalam jumlah tertentu—baik partai tunggal ataupun koalisi partai—adalah partai yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakilnya. Dengan aturan main seperti ini, tidak akan pernah ada capres-cawapres yang tidak diusung oleh partai. Rakyat tidak bisa mengusung calonnya sendiri, kecuali calon itu akhirnya diusung pula oleh partai politik yang jumlah kursinya memenuhi syarat presidential threshold. Partai politik hanya akan mengusung calon presiden-wakil presiden yang sesuai dengan kepentingan mereka.

Aturan presidential threshold hanya membuat pemusatan kekuasaan legislatif dan eksekutif berada di tangan sama, sebab hanya partai yang memiliki jumlah kursi tertentu di parlemen yang boleh mencalonkan presiden. Semakin tinggi angka presidential threshold, semakin sukar bagi partai untuk mengusung calonnya sendiri. Dengan demikian, kekuasaan akan semakin mengerucut pada partai-partai politik tertentu, dalam hal ini yang memenangi kursi terbanyak di parlemen. Merekalah yang membuat aturan main, mereka pula yang bermain.

Pemusatan kekuasan ini berpotensi langgeng sebab elite partai akan membuat aturan yang meningkatkan presidential threshold atau setidak-tidaknya akan mempertahankan angka ambang batas yang sudah ada. Mereka melakukan hal itu karena percaya bahwa dalam pemilihan umum berikutnya mereka akan tetap mendominasi kursi parlemen. Inilah yang membuat presidential threshold tidak sehat sebagai cara membangun demokrasi yang demokratis, demokrasi yang bukan sekedar nama dan jargon.

Jika siapapun bisa mencalonkan diri menjadi presiden, sementara ia didukung oleh minoritas partai pemilik kursi minoritas di parlemen, dan kemudian ia terpilih, maka akan terjadi keseimbangan kekuatan politik antara legislatif dan yudikatif. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa eksekutif tidak akan semau gue membuat kebijakan sebab akan dikontrol dengan ketat oleh parlemen. Parlemen memang tidak bisa menjatuhkan pemerintah, sebab kita menganut pemerintahan presidensial, namun dengan kuatnya parlemen akan membuat pemerintah tidak membuat kebijakan sekehendak hati karena pasti akan didukung oleh parlemen.

Jika aturan presidential threshold tetap dipertahankan, bahkan angka ambang batasnya mau dinaikkan, maka kekuasaan akan bertahan di tangan elite politik dan ekonomi yang ada sekarang. Tidak akan ada peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin alternatif sebagai presiden di luar yang sudah ditentukan oleh para elite tersebut. Presidential threshold membatasi partisipasi sejati warga, sebab hanya partai politik yang bisa mencalonkan capres. Karena itulah, presidential threshold seharusnya dihapus atau menjadi 0% agar semakin banyak partai yang dapat mengusung calonnya, begitu pula warga individual dapat mencalonkan diri tanpa bergantung pada partai politik. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler