x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 4 Februari 2021 07:41 WIB

Opa

Sewaktu Budiono masih SD, dia mendapat kunjungan dari Opanya yang akan menemaninya selama kedua orang tuanya sedang sibuk berkeja. Namun setelah seminggu Opanya rutin berkunjung, dia menghilang tanpa jejak. Maka itu Budiono mencari tahu keberadaan Opanya, tapi dia malah menemukan sebuah fakta yang mengerikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Namaku Budiono. Aku ingin menceritakan sebuah pengalamanku sewaktu aku masih duduk dibangku kelas dua SD. Di mana itu akan menjadi sebuah pengalaman yang tidak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.

Semasa kecilku, kedua orang tuaku sangatlah sibuk dengan pekerjaannya. Hal itu cukup wajar, karena Bapakku adalah seorang polisi dan Ibuku adalah seorang buruh pabrik. Mereka berdua memiliki jam terbang yang padat, sehingga membuatku lebih banyak meluangkan waktu seorang diri di rumah. Selain itu, keluargaku juga tidak memiliki pembantu rumah tangga, alhasil aku melakukan semua pekerjaan rumah dengan mandiri.

Hingga pada suatu hari, aku kedatang seorang pria berusia lanjut yang mengaku sebagai Opaku. Kebetulan aku belum pernah bertemu dengan Opa dan hanya mengetahuinya dari foto keluarga yang dipajang rapi di dinding ruang tamu. Sebab dia tinggal di luar kota, sehingga kami sekeluarga sangat jarang berkunjung ke rumahnya. Apalagi melihat kesibukan kedua orang tuaku, membuat kecil harapan untuk bisa mengunjungi mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alasan Opa datang mengunjungiku adalah rasa rindu dan ingin meluangkan waktu bersamaku. Maka sejak itu, dia menjadi sering datang ke rumahku. Kehadirannya membuat hari-hariku menjadi berwarna. Sebab dia tidak hanya menemaniku dan mengajak bermain petak-umpet, catur, hingga ular tangga, tapi dia juga menjemputku pulang sekolah, mengajariku beberapa mata pelajaran, dan membantuku mengerjakan PR. Bahkan, dia juga membantuku mengerjakan pekerjaan rumah.

Sikapnya yang ramah dan hangat telah membuat hubunganku menjadi dekat dengannya. Bagiku Opa adalah sosok figur orang tua yang tidak pernah kudapat dari kedua orang tuaku. Meskipun - terkadang - Opa suka menunjukkan karakter mesumnya kepadaku, tapi itu tidak mengusik sehingga aku tidak begitu mempedulikannya.

Namun sayangnya, dia tidak pernah bisa seharian penuh berada di rumahku dan selalu pulang sejam lebih awal sebelum kedua orang tuaku tiba di rumah. Dia beralasan bahwa dia harus pulang menjaga Oma di rumah, karena Oma membuka usaha warung makan yang tidak bisa ditinggal. Alhasil dia tidak bisa ikut datang berkunjung ke rumahku. Opa juga beralasan bahwa dia pulang dengan naik kereta, yang mengharuskan dia untuk tiba di stasiun tepat waktu agar tidak ketinggalan kereta.

Selain itu, Opa juga memintaku untuk merahasiakan kedatangannya dari kedua orang tuaku. Dia beralasan bahwa dia tidak ingin merepotkan mereka, yang akan mengantarkan pulang ke rumahnya yang berada di keluar kota. Sebab, dia yakin bahwa mereka tidak akan tega melihat kakek-kakek pulang sendirian menaiki kereta antar kota. Mendengar penjelasan itu, aku hanya mengiyakan permintaannya.

Setelah Opa mengunjungiku secara rutin selama seminggu, dia sudah tidak pernah terlihat lagi. Dia berhenti mengunjungiku. Bahkan aku juga tidak pernah mendapat kabar darinya. Seakan-akan dia telah menghilang tanpa jejak dari muka bumi. Hal itu membuat hatiku menjadi muram, bagaikan telah kehilangan seorang yang sangat berharga bagiku.

Aku ingin sekali bertanya mengenai keberadaannya kepada orang tuaku, tapi - setiap kali - aku teringat janjiku dengan Opa untuk tetap merahasiakan kedatangannya dari orang tuaku, aku menjadi bimbang untuk mengambil keputusan. Hingga akhirnya, aku mengurungkan niatku untuk menanyai keberadaan Opa kepada mereka.

****

Seminggu kemudian, aku sedang libur sekolah dan kebetulan kedua orang tuaku sedang mengambil cuti, sehingga kami memutuskan untuk berkunjung ke rumah Oma. Tentu hal ini membuatku menjadi girang bukan main. Sebab aku sudah sangat merindukan Opa dan sangat berharap untuk bertemu kembali dengannya.

Setibanya di rumah Oma - yang di halaman rumahnya terdapat sebuah warung makan, yang tidak begitu banyak pengunjung - aku langsung menyelinap masuk ke dalam rumah Oma dan memanggil-manggil Opa.  Lantas seisi rumah menjadi kaget melihat aksiku. Pada awalnya orang tuaku tidak mengacuhkan tingkahku yang terus menelusuri seisi rumah Oma sembari memanggil-manggil Opa. Hingga pada akhirnya aku kelelahan, setelah mencari dan memanggil Opa selama satu jam. Arkian aku kembali ke ruang tamu untuk beristirahat bersama kedua orang tuaku yang sedang sibuk mengobrol dengan Oma. Kalakian, Oma mendatangiku dan bertanya alasanku mencari Opa. Lantas dengan spontan, aku langsung menjawab bahwa aku sangat merindukan Opa, hingga menceritakan semua pengalamanku ketika dia rutin mengunjungiku selama seminggu.

Seketika semua orang yang ada di ruangan itu menjadi terkejut. Atmosfer yang tadinya hangat, kini berubah menjadi tegang. Kemudian Bapak dan Ibu langsung menghujaniku dengan pertanyaan mengenai Opa yang aku maksud. Mereka menanyaiku mengenai apa saja yang dilakukan Opa selama berkunjung ke rumah, waktu kedatangannya sampai meninggalkan rumah, kapan terakhir kali aku berjumpa dengannya, hingga ciri-ciri fisiknya. Mereka menanyaiku seakan sedang menginterogasi seorang saksi mata dari sebuah tindak kriminal.

Namun aku hanya bisa menjawabnya dengan spontan dan polos, selayaknya anak SD pada umumnya. Meskipun begitu, aku cukup merasa bingung dan takut. Sebab ekspresi Bapak dan Ibu saat sedang menanyaiku sangatlah serius, seakan sedang terjadi sesuatu hal yang genting.

****  

Setelah setengah jam aku ditanyai oleh orang tuaku, Oma langsung mendekatiku dan menjelaskan bahwa Opa sudah meninggal - karena penyakit kanker - sewaktu aku masih bayi. Lebih tepatnya seminggu setelah kelahiranku. Arkian Ibu juga menambahkan bahwa Opa yang selama ini datang mengunjungiku bukanlah Opaku yang sebenarnya.

Sontak aku menjadi terkejut. Aku tidak percaya dengan apa yang telah disampaikan oleh mereka. Tentu aku langsung membantah semua pernyataan mereka tentang Opa. Akan tetapi, Oma langsung mengambil sebuah buku album tua dari dalam kamar tidurnya dan memperlihatkan foto-foto Opa sewaktu dia masih hidup kepadaku.

Terlihat jelas wajah Opa yang ramah dan bijaksana itu. Bentuk fisiknya tidak ada yang berbeda dengan Opa yang pernah mengunjungiku, sehingga tidak membuatku wasangka kepadanya. Tetapi setiap aku membuka lembar demi lembar halaman album foto itu, hatiku mulai berdetak kencang. Aku mulai melihat perubahan fisik Opa akibat penyakit kanker yang dideritanya. Hingga jariku tiba kepada lembar terakhir di foto album itu, aku melihat ketika Opa yang sudah terbaring lemas tak bernyawa dan diselimuti oleh kain kafan.

Di sana terlihat seluruh keluarga besar, kerabat, hingga tetangga yang sedang mengelilinginya sembari melantunkan doa, termasuk bapak dan ibu yang sedang menggendongku yang masih bayi. Selain itu, aku juga melihat jelas foto proses Opa yang sedang dikebumikan. Entah bagaimana, melihat foto itu membuat sesak dadaku. Aku seakan ingin menangis, tapi juga bingung dengan sosok Opa yang selalu datang mengunjungiku.

Kemudian Bapak menjelaskan kepadaku mengenai identitas sebenarnya orang yang aku kira Opa itu. Ternyata dia adalah seorang penjahat kelamin dan pedofilia. Dia mengincar korbannya - tanpa mempedulikan jenis kelamin - dengan cara memberikan perhatian khusus kepada si korban untuk membangun hubungan yang erat. Alhasil si korban menjadi nyaman dengannya, sehingga si pelaku dapat dengan mudah melancarkan aksinya tanpa harus bersusah payah mengejar atau mendapatkan perlawanan dari si korban. Sebab si pelaku sangat pandai mencari celah untuk mempengaruhi si korban agar terpikat dengannya. Setelah si pelaku melampiaskan nafsu bejatnya kepada si korban, dia akan menghabisi nyawa korban dengan mencekiknya hingga meninggal. Walhasil, aksinya itu membuat resah para penduduk, sekaligus menjadikannya seorang buron.

Menurut analisa Bapak, si pelaku sudah lama mengincarku karena aku lebih banyak sendirian di rumah. Dia juga - secara diam-diam - telah mengawasi gerak-gerikku selama seminggu penuh sebelum dia melancarkan aksinya. Bahkan dia sudah pernah memasuki rumahku untuk mempelajari keluarga dan kepribadianku, tatkala aku sedang bersekolah dan kedua orang tua - yang tentu - tidak ada di rumah. Saat itu jugalah dia menyadari bahwa rupa fisiknya sangat mirip dengan Opaku, berkat foto keluarga besar yang dipajang di ruang tamu. Walhasil dia dapat dengan mudah menyamar menjadi Opaku untuk menjalankan aksinya. Selain itu, dia juga mengetahui bahwa Oma membuka warung makan di halaman rumahnya - dari foto keluarga yang ada di lemari hias di ruang tamu - sehingga menjadikannya sebagai dalil saat mengunjungiku.

Namun beruntung - di hari terakhir si pelaku mengunjungiku - dia berhasil ditangkap oleh seorang polisi yang sedang menyamar, saat hendak melakukan pelecehan seksual kepada anak kecil yang sedang bermain di pematang jalan di pinggir sungai. Karena selama dia menargetkanku, dia juga mengincar beberapa anak kecil lainnya yang dianggap lengah. Kebetulan juga, polisi yang menangkapnya adalah salah satu rekan kerja Bapak. Alhasil Bapak dapat mengetahui kronologis penangkapannya dan ikut serta dalam menginterogasi si pelaku, sehingga Bapak dapat mengetahui dengan jelas cara dia melancarkan aksinya kepada para korban.

Akan tetapi, Bapak masih belum bisa menemukan motivasi si pelaku untuk melakukan aksi terkutuknya itu. Karena setiap kali Bapak menanyakannya, si pelaku hanya menjawab dengan tertawa cekikikan dengan raut muka yang bengis, seakan dia melakukan itu tanpa dihantui rasa dosa. Walhasil Bapak bersama rekannya - sesama polisi - mengambil kesimpulan bahwa si pelaku adalah orang yang tidak waras dan mengurungnya - sementara waktu - sebelum dikirim ke rumah sakit jiwa.

Setelah mendengar penjelasan dari Bapak, seketika aku merasa jijik, takut, dan beberapa perasaan lainnya yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Alhasil semua kenangan manis bersama Opa, kini berubah menjadi sebuah kenangan nista yang menghantuiku.

Akan tetapi, sejak itu jugalah kedua orang tuaku - terutama ibu - menjadi lebih banyak meluangkan waktu bersamaku. Saat itu juga, aku mulai merasakan hangatnya kasih sayang orang tua dan perhatian dari mereka. Meskipun itu tetap tidak akan pernah bisa menghapus ingatanku tentang Opa.

**** 

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB