
Agus Harimurti Yudhoyono. Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sabtu, 6 Februari 2021 07:54 WIB
Partai Demokrat Digoyang, Apa Motif Jangka Panjangnya?
Masih ada sisa pertanyaan dibalik isu penggoyangan Partai Demokrat. Benarkah itu terjadi dan jika iya apa kepentingan poliitknya? Akankah Demokrat akan mengalami nasib serupa dengan Partai Berkarya? Kursi ketua umumnya digoyang hingga pemangkunya berganti. Apakah model bujuk-membujuk, gerilya, dan gosok-menggosok semacam itu masih berlangsung hingga sekarang di parpol? Para ilmuwan dan peneliti politiklah mestinya yang bekerja melakukan riset lapangan.
Dibaca : 1.694 kali
Partai Demokrat yang adem ayem tiba-tiba diguncang isu kudeta—istilah yang beredar kudeta politik. Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, mengungkap adanya upaya untuk mendongkel posisinya. Sebagian orang memakai istilah kudeta politik, sebab tujuannya mengganti ketua umum yang terpilih dalam kongres partai. Ada pula yang memakai istilah populer dalam bisnis, hostile take over—pengambil-alihan partai dengan cara paksa melalui kongres luar biasa.
Meskipun namanya kongres, namun istilah luar biasa menunjukkan bahwa kongres itu diadakan dalam keadaan tidak normal alias diselenggarakan untuk tujuan mengganti ketua umum yang dipilih dalam kongres biasa dengan cara luar biasa. Karena pemegang suara dalam pemilihan ketua pada partai politik umumnya adalah ketua cabang, maka merekalah yang kerap menjadi sasaran gerilya orang-orang yang ingin mengganti ketua partai melalui kongres luar biasa.
Di masa kongres biasa pun, yang secara reguler diadakan, ketua cabang partai adalah orang-orang yang didekati oleh mereka yang berambisi untuk menjadi ketua umum serta para utusannya. Jika di masa perjuangan kemerdekaan, gerpol berarti gerilya politik untuk memengaruhi rakyat agar mau berjuang bagi tanah airnya, di zaman politik modern gerpol dilakukan untuk memengaruhi pemegang hak suara agar mau memilih seseorang jadi ketua umum partai.
Di masa Orde Baru, pemegang hak suara didekati oleh operator politik rezim agar memilih orang yang disukai oleh rezim. Baik di masa partai masih banyak maupun ketika partai politik tinggal tiga: PPP, Golkar, dan PDI. Bahkan di Golkar pun, yang notabene partai ‘milik’ pemerintah, perebutan posisi ketua umum tak kalah sengit dan berlangsung di antara unsur-unsur organisasi penyokong Golkar walaupun pengaruh Soeharto paling dominan. Dua partai partikelir lainnya tidak lepas dari gosokan pemerintah.
Apakah model bujuk-membujuk, gerilya, dan gosok-menggosok semacam itu masih berlangsung hingga sekarang? Para ilmuwan dan peneliti politiklah mestinya yang bekerja melakukan riset lapangan. Misalnya saja terkait dengan persaingan Airlangga Hatarto dan Bambang Soesatyo untuk memperebutkan posisi ketua umum Golkar. Persaingan yang semula tampak sengit entah kenapa lantas berubah drastis ketika Bambang tiba-tiba mengundurkan diri dari pencalonan menjelang Musyawarah Nasional dibuka. Airlangga lalu terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Golkar, dan kemudian Bambang memperoleh jabatan Ketua MPR. Win-win solution? Ya mungkin begitulah win-win solution bagi sesama elite politik.
Penggoyangan partai mungkin dilakukan berkat pertemuan kepentingan yang berbeda-beda di antara sejumlah orang atau pihak, baik orang di partai yang sama maupun pihak lain yang punya kepentingan tertentu. Ada yang tidak puas dengan kondisi internal partai karena berbagai alasan: dari yang mengaku idealis hingga yang tergiur dengan iming-iming jabatan. Ada pula yang ingin memiliki kendaraan politik untuk meraih kekuasaan di internal partai maupun di luar partai. Ada yang ingin mengurangi pesaing dalam meraih dan atau mempertahankan kekuasaan. Mungkin pula ada yang bekerja untuk kepentingan pihak di luar partai.
Tangan-tangan yang tak terlihat bisa saja bekerja mengoperasikan aktivitas penggoyangan ini, dan jika terendus atau bahkan diketahui publik, maka alibi gaya James Bond pun dipakai: “Saya bekerja sendiri, atasan saya tidak tahu.”
Partai Berkarya merupakan contoh bagaimana penggoyangan itu berlangsung penuh kejutan, walaupun tuntutan akan penyelenggaraan munaslub sudah disuarakan beberapa bulan sebelum munaslub digelar. Ketika sebagian anggota partai menggelar munas luar biasa, Juli 2020, pengurus pusat partai di bawah pimpinan Tommy Soeharto tampak tidak mampu menghentikan laju munaslub Berkarya. Maka, terpilihlah Muchdi PR sebagai ketua umum baru Berkarya—sebelumnya, di kepengurusan Tommy, Muchdi menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina.
Sebelum bergabung dengan Berkarya, Muchdi pernah berada di Gerindra, lalu pindah ke PPP. Muchdi sebelumnya dikenal dekat dengan Prabowo. Namun, dalam pilpres 2019, Muchdi secara terbuka menyatakan dukungan kepada capres Jokowi-Ma’ruf walaupun Partai Berkarya telah mengumumkan dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandi. Begitulah, tidak lama setela munaslub usai digelar, 11 Juli 2020, hanya dalam tempo tiga minggu kemudian, pada 30 Juli 2020 terbit SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Muchdi hingga 2025.
Apakah Partai Demokrat akan mengalami nasib serupa dengan Partai Berkarya? Pertemuan kepentingan yang mungkin berbeda-beda, termasuk bisa jadi pihak luar partai, lagi-lagi berpotensi mengarahkan sejumlah orang untuk tujuan yang sama, yaitu mengganti kepemimpinan Agus Harimurti. Yang mungkin mengejutkan ialah tudingan keterlibatan Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, dalam upaya ini sebagaimana dilontarkan oleh Andi Arief dan Rachland Nashidik, keduanya politikus Demokrat.
Berbeda dengan Muchdi, Moeldoko adalah pejabat aktif pemerintah yang berada di lingkaran dalam Istana Presiden. Namun, Moeldoko mengatakan bahwa urusan ini merupakan urusan Moeldoko pribadi, bukan sebagai Kepala Staf Kepresidenan dan jangan dikaitkan dengan Presiden. Jika memang bertujuan mengganti Agus Harimurti, apa tujuan jangka panjangnya? Gelanggang pilpres 2024 untuk Moeldoko sendiri seperti dikatakan Rachland Nashidik atau untuk memudahkan perjalanan orang lain? >>
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
5 hari lalu

Segudang Alasan Mengapa Vietnam Seksi di Mata Investor
Dibaca : 300 kali
Sabtu, 13 Februari 2021 18:57 WIB

Menerka di Balik Maksud Presiden Jokowi Meminta Rakyat Aktif Mengkritik
Dibaca : 1.035 kali
Senin, 8 Februari 2021 05:46 WIB

Nikel Menjadi Lembaran Baru Bagi Indonesia
Dibaca : 1.044 kali
Sabtu, 6 Februari 2021 07:54 WIB

Partai Demokrat Digoyang, Apa Motif Jangka Panjangnya?
Dibaca : 1.695 kali
Kamis, 28 Januari 2021 17:09 WIB

Revisi UU Pemilu: Mengapa Presidential Threshold Harus Dihapus
Dibaca : 1.821 kali
Rabu, 27 Januari 2021 13:06 WIB

Rasisme Kembali Menimpa Natalius Pigai, Pelaku Minta Maaf
Dibaca : 983 kali
Jumat, 15 Januari 2021 05:55 WIB

Raffi Ahmad Ceroboh Saat Digadang Menjadi Role Model
Dibaca : 1.048 kali
Rabu, 6 Januari 2021 18:11 WIB

Menanggulangi Mahalnya Harga Tempe dan Tahu
Dibaca : 1.261 kali
Rabu, 6 Januari 2021 12:32 WIB

Daya Tarik Pekerjaan Guru Itu Menjadi PNS, kok Disetop?
Dibaca : 1.147 kali
Kamis, 7 Januari 2021 11:23 WIB

Selebrasi Vaksin, Perlukah Saat Ini?
Dibaca : 1.493 kali
3 hari lalu

Gagasan Politik Hijau PDIP: Sekedar Seremoni atau Ideologis? (oleh Abdul Kodir)
Dibaca : 1.488 kali
3 hari lalu

Perjuangan PLN demi Menerangi Desa-desa di Ujung Dunia
Dibaca : 1.003 kali
3 hari lalu

Aplikasi Investasi Saham Mudah, Bukan Berarti Investasinya juga Demikian
Dibaca : 860 kali
4 hari lalu
