x

sumber foto: sindonews.com

Iklan

Meri Ana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Juli 2020

Jumat, 5 Februari 2021 09:43 WIB

Pengusaha Nikel Kebingungan, Pemerintah Harus Tegas Perihal HPM

Meidy Katrin Lengkey selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menjelaskan bahwa agar Indonesia bisa menjadi pemain baterai listrik global, mengapa masih ada permasalahan di sektor hilir? Pemerintah sudah menerapkan HPM, namun sejauh mana ketegasan pemerintah Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika seseorang ingin menggapai mimpi, akan ada ujian berat yang harus dilaluinya. Kalimat tersebut menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Dunia akan memasuki era green energy, era di mana kita tidak akan lagi bergantung pada minyak bumi yang disebut-sebut akan habis.

Saat ini Pemerintah Indonesia berupaya keras dari melarang ekspor bijih nikel (yang disebut sebagai pengganti minyak bumi), menggandeng investor-investor asing (dikabarkan Tesla akan segera berinvestasi di Indonesia), hingga meneken beberapa pembangunan pabrik smelter nikel untuk memproduksi baterai lithium (listrik).

Anak tangga demi anak tangga mulai dilangkahi. Namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, jika Indonesia ingin mencapai mimpinya menjadi produsen baterai listrik, mengapa masih ada masalah di sektor hilir?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dilansir dari Majalah Tempo yang rilis pada 9 Januari 2021, Meidy mendesak pemerintah agar mengimplementasikan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara yang mengatur tata niaga dan harga nikel domestik. 

“Kami hanya meminta fairness, apakah smelter ini mau menerima harga sesuai dan pemerintah dapat mengawal transaksi dengan baik,” ujar Meidy, Jumat (8/1) dikutip dari Majalah Tempo.

Pernyataan dari Meidy menggambarkan bahwa pemerintah diharapkan lebih tegas lagi dalam pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM. Lalu, bagaimana dengan kenyataannya?

Pada Desember 2020 lalu, Yunus Saefulhak selaku Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) mengungkapkan dari 73 perusahaan atau 91,8 persen perusahaan telah menyampaikan kontrak jual belinya. Sebanyak 89 persen sudah sesuai dengan HPM dan 11 persen belum mematuhi HPM.

Sebelumnya, di bulan Oktober 2020, persentase perusahaan yang belum mematuhi HPM adalah 40 persen. Dalam kurun dua bulan, bulan Desember 2020 mengurang menjadi 11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ada progres dari pemerintah dalam menegur perusahaan-perusahaan yang masih melanggar HPM. Dan diharapkan seiring berjalannya waktu, seluruh perusahaan bisa taat pada HPM. 

 

Selain semakin berkurangnya pelanggar, maka pengusaha tambang dan smelter mendapatkan keadilan dan profit margin yang sama-sama menguntungkan. Yunus menambahkan, jika perusahaan masih melanggar aturan, maka ada peringatan ketiga yaitu penghentian sementara operasi. Tidak tanggung-tanggung pemerintah akan mencabut izin usaha perusahaan tersebut.

Tim Satgas HPM nikel sudah dibentuk untuk mengawasi tata niaga dan harga nikel domestik, sikap tegas pemerintah pun tidak setengah-setengah untuk menegur perusahaan yang belum disiplin dalam aturan. Apalagi arah dan tujuan Indonesia menjadi global supply chain baterai kendaraan listrik telah disepakati. Seharusnya, segala kekisruhan mengenai tata niaga domestik nikel semakin berkurang hingga nihil. Kenapa? Karena kita sudah menetapkan visi yang jelas. 



Ikuti tulisan menarik Meri Ana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB