x

Keaktoran

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 9 Februari 2021 15:19 WIB

Menjadi Aktor atau Aktris Berkompeten di Panggung Sandiwara dan Kehidupan Nyata

Saya menulis catatan ini, sebenarnya khusus untuk berbagi dengan anggota Studi Teater Mahasiswa (STEMA) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Senin malam, 8 Februari 2021. Namun, sebab isinya tentang keaktoran dan keaktrisan, mungkin dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Menjadi Aktor atau Aktris Berkompeten di Panggung Sandiwara dan Kehidupan Nyata

Saya menulis catatan ini, sebenarnya khusus untuk berbagi dengan anggota Studi Teater Mahasiswa (STEMA) Institut Teknoligi Bandung (ITB) pada Senin malam, 8 Februari 2021. Namun, sebab isinya tentang keaktoran dan keaktrisan, mungkin dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Aktor berkompeten (cakap) akan mampu memerankan tokoh di atas panggung sandiwara dan dunia nyata dengan hebat. (Supartono JW.07022021)

Mimpi terwujud karena pelaku atau aktor atau aktrisnya

Siapa bilang mimpi hanya sekadar kembangnya tidur dan hanya bisa terjadi saat kita dalam kondisi tidur. Meski makna mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat. Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi.

Namun, sudah lazim bahwa ketika orang membicarakan mimpi, tentu akan berpikir tentang cita-cita. Sehingga, mimpi yang biasanya mustahil terjadi di dunia nyata, maka bisa saja terwujud ketika mimpi itu dilekatkan dengan kata cita-cita atau ketika mimpi diartikan sebagai cita-cita. Hasilnya, mimpi atau cita-cita itu akan terwujud bila kita sebagai pelaku utama, aktor atau aktrisnya dengan segala daya upaya berusaha mewujudkan mimpi alias cita-cita itu.

Karenanya, dari banyak mimpi-cita-cita saya sejak duduk di bangku SMP, di antaranya dapat bergabung dan menjadi anggota Teater Koma, menjadi bagian dari para aktornya dan belajar dengan Suhu N. Riantiarno. Ternyata mimpi itu terwujud.

Dalam sepak bola, mimpi saya bisa bertemu dengan idola saya almarhum Ronny Pattinasarani, terwujud. Bahkan bukan hanya bertemu, malah dapat bersanding menggagas tentang dunia sepak bola akar rumput dan turut serta mendukung menggaungkan nama Sekolah Sepak Bola (SSB) di Indonesia dan terus mengiringi hingga kini dengan mendirikan dan mengelola SSB dan Klub sepak bola, dan menjadi kolumnis.

Dalam dunia pendidikan, mimpi pun terwujud. Hingga kini juga terus aktif di ranah pendidikan yang terus terpuruk, dan mengiringinya dengan menjadi kolumnis.

Ternyata, mimpi yang saya pikir mustahil sesuai maknanya, ternyata dengan segala daya upaya pelaku atau aktor atau aktrisnya, dapat terwujud.

Langkah menjadi aktor Teater Koma

Khusus menyoal keaktoran, dapat bergabung dengan Teater Koma, bila kisahnya saya ulas deskripsikan, mulai dari proses persiapan hingga berada di dalamnya secara utuh,  tentu bisa menjadi berjilid buku. Meski begitu, secara garis besar ada beberapa hal yang dapat saya ungkap tentang persiapan, proses, dan saat sudah  menjadi anggota Teater Koma.

Pertama, saya coba mengakrabi Teater Koma sejak masih SMP dan SMA hanya dari berita di media massa dan mencoba mempelajari tentang Teater Koma dari narasi-narasi yang terpublikasi. Kedua, saya menyiapkan diri belajar teater secara formal di dalam mata kuliah, bergabung dengan kelompok teater kampus, teater umum, dan mengasah diri dengan menjadi pelatih ekstrakurikuler teater di berbagai sekolah, serta mendirikan teater remaja (umum) secara mandiri.

Ketiga, menonton pertunjukkan Teater Koma, dengan membeli tiket kelas mahasiswa, meski harganya setara dengan ongkos naik bus ke kampus selama satu bulan mulai tahun1992. Di tahun tersebut, dua produksi Teater Koma saya tonton. Tahun 1993, satu produksi saya tonton, dan di produksi kedua saya sudah ada di panggung pertunjukkan Teater Koma, tanpa melalui proses seleksi, langsung turut membantu menjadi pemeran krodit dalam produksi pementasan Rampok, sebab diajak oleh salah satu anggota Teater Koma.

Keempat, sebelum terlibat langsung dalam produksi Rampok, sebelumnya saya dan dua teman sudah datang ke Sanggar Teater Koma di Setia Budi, untuk melamar menjadi anggota. Namun, setelah datang ke Sanggar, dua teman saya mundur. Tinggal saya sendiri yang masih berharap lanjut. Gayung bersambut, saat saya sedang menyutradarai latihan pementasan mata kuliah Sanggar Bahasa  di Taman Sastra karena diminta oleh adik-adik kelas kampus, ternyata ada seorang yang tiba-tiba menghampiri dan mengenalkan diri bahwa dia mahasiswa jurusan lain di kampus dan sudah menjadi aktor Teater Koma, lalu menawarkan saya bergabung dalam Produksi Rampok (1993).

Kelima, sambil berproses bergabung dalam produksi karena belum menjadi anggota, saya pelajari proses manajemen produksi Teater Koma, memahami dan mengkalkulasi kesiapan diri dan waktu serta berbagai hal lainnya, terutama kesiapan alat transportasi berangkat menuju Sanggar dan pulang dari Sanggar, mengingat proses latihan Teater Koma dilakukan malam hari dan selesai dini hari. Artinya, sudah mengatur manajemen diri hingga wajib memiliki alat transportasi berupa kendaraan yang menjadi modal utama. Serta telah memiliki penghasilan. Sebab saya sudah memiliki penghasilan dan kendaraan, maka proses menjadi anggota Teater Koma, saya jalani mengalir, terukur, serta termenej dengan baik dan benar.

Keenam, mengikuti proses sebagai calon anggota Teater Koma, dan bergabung dengan sesama pelamar anggota Teater Koma yang lulus seleksi administrasi dan dinyatakan menjadi anggota pada tahun 1994 dan langsung terlibat dalam produksi Opera Ular Putih sebagai tokoh berbagai atau istilahnya pemeran krodit yang banyak mengenakan berbagai kostum, pun menjadi bagian dari tim produksi sebagai tim “orang hitam”.

Berada di Teater Koma

Sepanjang di Teater Koma, saya justru merasakan seperti di kampus formal yang mendidik anggota menjadi aktor dan tim produksi dengan teori dan praktik lebih dari sebuah kampus, penuh kualitas dan mutu. Selalu menjadi gelas kosong yang siap menerima ilmu dan membagikan ilmu yang saya terima kepada yang membutuhkan. Memahami tidak ada peran kecil, semua peranan atau penokohan penting, sehingga ketika masuk produksi pentas, setiap anggota yang sudah ikrar ikut dalam produksi sudah tahu tanggungjawab dan konsekuensinya sebab ada KODE ETIK TEATER KOMA, yaitu ETIKA, SETIA, dan GUYUB yang juga dapat dilihat di www.teaterkoma.org

ETIKA: (1) Tulus Menghargai dan Berterimakasih kepada Alam dan Kehidupan. (2), Memahami, Tidak Membenci. (3) Jujur, Tenggangrasa, Mencintai Sesama. (4) Yang Tua menghargai Yang Muda, Yang Muda menghargai Yang Tua. (5) Bersikap dan Bertindak Tepat, Pada Waktu, Tempat dan Suasana yang Tepat. (6) Percaya TEATER adalah Jalan Menuju Kebahagiaan. (7) Berwatak Bagai Air: “Senantiasa berupaya berada di tempat rendah, jika terhambat berhenti sejenak, lalu bergerak ke kiri atau ke kanan atau merembes dan muncul di sebalik hambatan, kemudian BERJALAN menuju TUJUAN; memaknai Lautan”.

SETIA: (1) Setia kepada Hati Nurani. (2) Setia kepada Tugas dan Pekerjaan. (3) Setia kepada Tanggungjawab, Kerjasama dan Kedisiplinan. (4) Setia kepada Kelompok dan Rumah Kelompok. (5) Setia kepada Tujuan; KEBAHAGIAAN.

GUYUB: Anggota adalah Matarantai Enerji Kreatif Dalam Ikatan Persaudaraan Berdasar KASIH.

Berada dan menjadi bagian Keluarga Besar Teater Koma, ada kisah-kisah yang terpatri dalam pikiran dan hati saya. Di antaranya, tidak pernah terpikir sebelumnya bila nama saya di Teater Koma menjadi Supartono JW. Tambahan JW adalah dari N. Riantiarno. Saat pertama kali nama saya akan dimasukkan dalam buku acara, Mas Nano memberi tahu nama saya ditulis Supartono JW tidak Supartono Jawa. Saya pun paham dan mengerti maksudnya. Sebelumnya, saat di kampus saya pakai nama gaya-gayaan berteater, hingga naskah-naskah dan penyutradaaran yang saya bantu, saya menggunakan nama Supartono Jawa.

Kisah berikutnya, beberapa kali saya diberikan peran yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Bahkan, dalam sebuah proses produksi, sedang dalam proses latihan running, tiba-tiba Mas Nano meminta saya memainkan tokoh lain dan berlanjut sampai pementasan. Saya juga pernah sampai menolak peran yang diberikan karena saya merasa tak mampu memainkannya. Untuk meyakinkan bahwa saya mampu, Mas Nano sampai memberi waktu khusus untuk saya berlatih privat hanya berdua, di luar jadwal latihan reguler.

Dalam suatu produksi, saya juga pernah kena marah Mas Nano.  Menyebut saya “batu”, sebab saat sedang proses latihan detil adegan, saya tidak ada respon terhadap lawan main sesuai situasi dan suasana adegan. Meski kejadiannya saat itu dalam latihan konsentrasi saya sangat terganggu oleh masalah pekerjaan formal saya, tidak bisa dijadikan alasan. Seharusnya sebagai aktor tidak melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam sebuah adegan sesuai skenario. Kejadian itu, justru terus memicu dan memotivasi diri saya untuk tidak mengulang kesalahan dalam setiap adegan di dalam setiap produksi pementasan. Saya akan selalu mengingat teguran sayang Mas Nano ini, yang juga wajib saya aplikasikan sebagai aktor dalam kehidupan nyata.

Sebab, di dunia nyata, di dunia pendidikan tempat saya mengais rezeki untuk kehidupan keluarga, saya juga memiliki motto ISEAKI (Intelektual, Sosial, Emosional, Analitis, Kreatif-Imajinatif, Iman) yang saya kembangkan dari pembelajaran keterampilan berbahasa, untuk mengukur kompetensi diri kita atau seseorang. Dalam sepak bola, untuk mengukur keberhasilan para siswa, saya pun menggunakan standar kompetensi TIPS (Teknik, Intelegensi, Personaliti, dan Speed) yang saya adopsi dari Akademi Sepak Bola Ajax Amsterdam Belanda.

Kisah lain yang sangat menarik dan terus terpatri di sanubari adalah saat
dalam suatu kesempatan Mas Nano bertanya, "Apa beda seniman dan olahragawan, Ton?" Saat itu, jujur saya belum tahu jawaban yang tepat. Mas Nano pun menjelaskan, "Seniman semakin berumur semakin bersantan (tak ada pensiun), olahragawan semakin berumur tak ada yang menggunakan (pensiun). Karena pertanyaan dan jawaban itu, hingga kini, saya terus membagikan kisah ini di berbagai tempat dan kesempatan, saat saya sedang bergelut di ranah pendidikan, sepak bola, maupun kegiatan masyarakat.

Kisah lainnya yang terus menjadi pembelajaran adalah saat sudah ikrar dan bergabung dalam sebuah produksi, dan sudah diberikan tugas memerankan suatu tokoh, maka diri kita sendiri yang dapat menjaga “modal” sebagai aktor, khususnya menjaga kesehatan tubuh, suara, rasa, dan pikiran.

Berada di Teater Koma, selain wajib patuh dan melaksanakan KODE ETIK, sebagai aktor juga harus mengukur diri dan realistis. Tidak memaksakan diri ikut terlibat produksi, sementara dalam pekerjaan formal situasinya tidak mungkin untuk berbagai waktu dan pikiran. Sebab, ketika sudah ikrar ikut terlibat dalam sebuah produksi, maka setiap aktor dan kru produksi wajib mematuhi aturan manajamen produksi. Selalu hadir sesuai jadwal dan waktu latihan, datang lebih awal sebelum waktu latihan guna menyiapkan diri, belajar, dan kerjama dengan sesama aktor atau aktris lain, mengasah diri, latihan mandiri, berdaya kreasi imajinasi dan inovasi demi perananan pribadi dan kepentingan produksi pementasan secara utuh. Bila suatu ketika izin tidak dapat hadir latihan, juga wajib sudah dikoordinasikan dengan sutradara, stage manajer dan pimpinan produksi. Masih banyak kisah lain, namun setidaknya kisah yang saya ungkap dapat mendeskripsikan bagaimana menjadi bagian Keluarga Besar Teater Koma.

Aktor atau aktris betulan dan bohongan berkompeten

Dari pengalaman kehidupan nyata dan kehidupan dunia teater sebelum bergabung dengan Teater Koma dan setelah bergabung, khusus bicara tentang aktor atau aktris, maka kita akan langsung berpikir tentang pria yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dan sebagainya di panggung, radio, televisi, atau film; orang yang berperan dalam suatu kejadian penting; atau wanita yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan drama dan sebagainya di panggung, radio, televisi, atau film. Itu adalah definisi aktor dan aktris sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Namun, setelah saya menggeluti dunia pendidikan dan dunia teater lebih dari 30 tahun, serta kehidupan nyata sejak lahir, ada pemahaman tentang aktor atau aktris yang saya temukan. Pemahaman itu adalah, saya membuat kesimpulan adanya aktor atau aktris betulan dan aktor atau aktris bohongan. Apa maksudnya?

Dengan tetap berpijak pada makna dan definisi aktor atau aktris sesuai KBBI,  maka sejatinya, aktor yang asli atau betulan adalah diri kita sendiri. Diri kita yang memerankan karakter asli siapa kita di dalam kehidupan nyata. Sementara aktor atau aktris bohongan adalah saat seseorang mampu memerankan karakter tokoh orang lain dengan benar dan baik. Dan, aktor atau aktris bohongan itu pun dapat menjadi penyaluran hobi atau bahkan menjadi profesi seseorang yang menghasilkan uang hingga disebut sebagai aktor dan artis profesional bila telah menunjukkan bukti-bukti keaktoran atau keaktrisannya.

Dalam kehidupan nyata dan kehidupan di atas panggung sandiwara, seorang aktor atau aktris betulan dan bohongan saya sebut berkompeten bila dalam menjalani peran atau lakonnya memenuhi standar sebagai aktor atau aktris.

Dalam kehidupan nyata, untuk ukuran kompetensi, selama ini di dunia pendidikan saya menggunakan standar ISEAKI, yaitu seseorang atau aktor atau aktris betulan, memerankan dirinya sendiri, dianggap kompeten bila nilai rata-rata rapor  (KKM) ISEAKInya minimal 70. Lalu, dalam dunia sepak bola, saya menggunakan standar penilaian kompetensi TIPS. Seorang atau aktor atau artis sepak bola disebut kompeten dan mumpuni bila memenuhi standar nilai (KKM) nilai rata-rata TIPSnya minimal juga 70.

Untuk menilai kompetensi aktor atau aktris bohongan, yaitu yang sesuai makna KBBI, semisal sebagai aktor atau aktris teater, maka saya menggunakan standar sesuai syarat menjadi aktor atau aktris di Teater Koma. Seorang aktor atau aktris teater yang mampu memerankan tokoh dengan meyakinkan penonton bahwa apa yang tengah dilakukannya itu benar. Intinya, permainannya mampu meyakinkan penonton, pasalnya hakikat seni peran adalah meyakinkan.

Menyoal seni peran, keaktoran atau keaktrisan sesuai standar Teater Koma, minimal dapat dipelajari di dalam Buku MENYENTUH TEATER, Tanya Jawab Seputar Teater Kita, N. Riantiarno (2003) mulai halaman 45 hingga halaman 52. Namun, buku tidak untuk diperjualbelikan.

Bila saya kutipkan garis besarnya, alat menjadi aktor atau aktris adalah tubuh/raga dan sukmanya. Sebab itu, seorang aktor atau aktris wajib memenuhi standar SIAP RAGA, SIAP PENCIPTAAN, SIAP TAHU dan MENGERTI, serta SIAP SUKMA.

Untuk siap raga, sebagai aktor atau aktris, wajib lentur mulai dari mata, mulut, leher, seluruh bagian tangan, seluruh bagian kaki. Melatih pernafasan, membaca, serta mengeja huruf. Berikunya, siap penciptaan dengan melatih  suara/vokalnya, mengasah daya penyampaian (artikulasinya), memahami pengertian suratan dan siratan, serta memperpeka daya kehadiran (appearance), faktor X.

Seorang aktor atau aktris juga wajib siap tahu dan mengerti yaitu mengetahui,  mempelajari, memahami sejarah teater Indonesia dan dunia, menyerap pengetahuan umum, mampu presentasi (mengasah daya ungkap/penyajian), mampu menganalisa, serta menyimpulkan. Berikutnya, terus mengembangkan wawasan dengan membaca, memperhatikan (menyerap), dan berbicara (mengutarakan perasaan, pikiran, pendapat), dan menganalisa (menyimpulkan).

Seorang aktor atau aktris juga wajib kompeten dalam siap sukma, di antaranya mampu konsentrasi dan fokus, mengobservasi (lingkungan, suasana, waktu), berimajinasi (lingkungan, benda, suasana, waktu, peristiwa, kenangan), penghayatan (bentuk, irama, tempo, rasa), improvisasi, membangun karakter peran (analisa, pengadeganan, jalinan, latar belakang, motivasi).

Menjadi aktor atau aktris biasanya karena ada bakat, tetapi dengan kompetensi teknik bermain, akan mampu menutup kekurangan dalam hal bakat. Seorang aktor atau aktris teater juga wajib menguasai posisi tubuh di atas panggung yang terdiri 8 arah serta memahami blocking panggung. Seorang aktor atau aktris juga wajib mempelajari oleh gerak (untuk kelenturan tubuh) atau menari, serta olah suara, menyanyi.

Untuk dapat memerankan tokoh dengan baik, seorang aktor atau aktris juga wajib melakukan pengamatan dan penelitian. Juga mengamati aspek ekonomi, aspek sosial, aspek budaya. Tahu tujuan tokoh yang diperankan dan tahu apa yang harus dilakukannya. Tidak boleh berpura-pura dalam berakting, harus menciptakan kebenaran peran, serta dapat bermain dalam peranan apa saja. Harus konsentrasi, memiliki daya imajinasi, dan mampu bekerja sama. Seorang aktor dan aktris juga wajib terus melatih konsentrasi, melatih daya ingat, melatih berimajinasi, dan melatih bersuara keras.

Itulah sekilas tentang hal-hal terkait aktor atau aktris betulan dan bohongan yang berkompeten. Masih banyak teori dan ilmu lain di luar hal tersebut, namun itulah yang selama ini menjadi acuan saya untuk standar menjadi aktor atau aktris betulan dan bohongan yang berkompeten.

SIB berteater

Sebelum bergabung dengan Teater Koma, saya sudah mempelajari tentang teater sejak masa SMP dan SMA di lingkungan RT dan RW, turut dalam pementasan acara panggung 17an. Lalu, bergabung dalam kelompok teater kampus, namun saya merasakan titik tolak resmi berteater yaitu sejak lulus mata kuliah Sanggar Bahasa di tahun 1988/1989. Mata kuliah ini, ujian akhirnya adalah praktik membikin pementasan teater. Saat itu setiap kelas di bagi menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok lalu mengikrarkan diri sebagai kelompok teater dengan nama masing-masing. Membentuk tim artistik dan tim produksi sendiri. Anggaran produksi juga iuran anggota kelompok. Praktik pentasnya difestivalkan dan ada pemenangnya dan ada kategori teater terbaik, naskah terbaik, sutradara terbaik, aktor terbaik dan lainnya.

Menariknya, saat itu kelompok teater saya tak menggunakan jasa sutradara dari pihak lain seperti kelompok teater lain yang mengontrak sutradara dari mahasiswa teater IKJ atau para sutradara teater umum. Sebab saya sudah berteater di tingkat RT dan RW, dan sudah bergabung dengan teater kampus. Teman-teman pun mempercayakan saya menjadi sutradara sekaligus aktor. Saat itu pun, sebenarnya saya sudah menulis naskah drama, namun saya memilih menyadur naskah drama dari karya dramawan.

Saat poster-poster pementasan sudah mulai di pajang sebagai bagian dari promosi, barulah ketahuan bahwa sayalah satu-satunya sutradara lokal yang bahkan juga mahasiswa yang baru praktik ujian teater dari 12 kelompok teater. Masih saya ingat, saat penutupan festival dan pengumuman juara, oleh dewan juri kelompok teater saya, banyak dijadikan bahan perbincangan atas contoh kelebihan dan kekurangannya. Setelah itu, saya merasa plong dan yakin bahwa saya secara pribadi telah memiliki tiket  Surat Izin Berteater (SIB) baik sebagai aktor, penulis naskah, maupun sutradara karena telah lulus mata kuliah teater.

Setelahnya, saya pun menerima tawaran sebagai pelatih ekstrakurikuler teater di berbagai SMP dan SMA di Jakarta. Saya dirikan Teater Mahasiswa Air Mas, bersama perkumpulan mahasiswa Banyumas dan berhasil membuat pentas untuk dikonsumsi siswa SMA di Jakarta. Saya dirikan Teater Dikari di lingkungan saya tinggal di Jakarta Timur dengan para anggota yang juga datang dari luar lingkungan. Membuat produksi sendiri dan mengikuti festival lebih dari puluhan produksi dengan naskah dan sutradara saya sendiri.

Begitu saya pindah alamat rumah, Teater Dikari pun saya ganti menjadi Teater Alir dan hanya berproduksi berdasarkan pesanan event dan naskah yang selalu saya tulis sendiri hingga sekarang.

Diusir kakak senior hingga diajak bermain di Teater KOMA

Ada kisah unik dan sangat menarik yang sampai kapan pun tidak mungkin dapat dilupakan, yaitu saat saya diusir oleh kakak senior di teater kampus dan disuruh keluar dari kelompok teater tersebut. Kisahnya, saat jadwal latihan teater kampus di tahun kedua saya menjadi mahasiswa, hari itu saya mencoba membagi waktu untuk latihan sepak bola dulu, baru kemudian bergabung latihan teater. Sayangnya, jadwal latihan bola waktu dan harinya juga bersamaan dengan jadwal latihan teater kampus. Sehingga, karena sudah beberapa kali saya hadir latihan teater terlambat, akhirnya saya diusir oleh kakak senior yang menjadi sutradara pementasan untuk tidak ikut teater dan dan dipersilakan memilih sepak bola saja.

Jujur saat itu saya sangat sedih dan kecewa.  Namun, sebagai seksi bidang olah raga sekaligus seksi bidang kesenian di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Senat Mahasiswa Fakuktas, saya berbesar hati. Pun memahami kakak senior yang meminta saya fokus sepak bola saja. Saya menyadari, mustahil ada di dua tempat dalam waktu yang sama namun kegiatan berbeda. Akhirnya, saya pun gagal ikut pementasan.

Tak patah arang, dengan tetap fokus menggeluti sepak bola kampus karena saya pun menjadi penanggungjawabnya, karena jiwa berteater saya sudah terpatri, saya pun diajak oleh beberapa teman di luar jurusan dan fakultas saya untuk mengadu nasib bergabung dengan kelompok teater di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang latihannya sore hingga malam hari dan tak akan mengganggu aktivitas sepak bola saya. Bergabung bersama kelompok teater di TIM, latihan malam hari, di pelataran antara Graha Bhakti Budaya (GBB) dan Teater Arena (TA), benar-benar saya nikmati, meski berat. Berat di latihan, berat di ongkos, dan berat pula dalam mengatur waktu. Tapi, semua tetap saya nikmati. Saat itu, karena ada kegiatan yang berbenturan, setelah berlatih, saya juga mengundurkan diri dari tidak ikut dalam produksi pementasan.

Agar tetap terasah jiwa teater saya, saya terus menulis naskah dan menyutradarai pementasan di Teater saya sendiri, menerima tawaran menyutradarai pentas mata kuliah Sanggar Bahasa di Kampus dari adik-adik kelas. Malah, saya juga menyewakan alat- alat teater yang saya miliki seperti lighting dan kain-kainnya. Saya dengan beberapa teman teater kampus, juga sering terlibat produksi pemetasan kecil untuk kepentingan Bulan Bahasa dan lainnya.

Hingga pada suatu kesempatan, di Taman Sastra IKIP Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta, mimpi saya bersambut. Saat sedang menyutradari pementasan adik kelas, saya didatangi Jaya Giri Basuki, aktor Teater Koma angkatan ke-VII yang ternyata adik kelas saya di IKIP Jakarta, jurusan Seni Rupa dan mengajak saya turut membantu bermain dalam pementasan produksi ke-75 Rampok, 1-9 Oktober 1993 di GBB TIM.

Daftar bacaan:
KBBI.kemendikbud.go.id
www.teaterkoma.org
N. Riantiarno, 2003. MENYENTUH TEATER, Tanya Jawab Seputar Teater Kita. Jakarta:MU:3 Book
Supartono, 2006. ISEAKI, ...
Supartono, 1995. Biografi Teaterku. ...
Supartono, 1999. Kurikulum SSB Sukmajaya. ...

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler