x

Lupa diri

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 13 Februari 2021 06:26 WIB

Corona dan Bencana Alam, Skalanya Lebih Kecil dari Lupa dan Lupa Diri

Banyak pihak dan rakyat yang mengungkap bahwa di Indonesia bencana terbesar yang kini terus terjadi sejak peristiwa Pilkada DKI dan Pilpres yang melahirkan istilah rasis cebong, kampret, dan kadrun, yang juga terus dibiarkan dan sama sekali tidak ada upaya pencegahan dan pelarangan penggunaan istilah SARA tersebut, padahal sangat dekat mengantar disintegrasi bangsa, namun apa yang terjadi, hal ini terus dibiarkan mengalir dan terjadi. Inilah bencana yang paling besar, yaitu bencana kemanusiaan di negeri nusantara yang malah terus disemai dan disuburkan. Mengalahkan pandemi corona dan bencana alam. Apakah mereka lupa? Atau sengaja melupkan? Atau memang lupa diri?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tengah pandemi corona yang tak pernah mereda, di tengah bencana alam yang silih berganti di negeri ini, dan semua seolah seperti tak diantisipasi dan dicegah meski berbagai pihak, ahli, akademisi telah memberi saran, masukan, dan mengingatkan. Namun, apa daya, corona dan bencana alam akibat kerusakan lingkungan tak dapat dihindari. 

Apa pasalnya? Mungkin, di negeri ini, walaupun sudah 75 tahun lepas dari penjajahan kolonialisme, ternyata para pemimpin yang seharusnya amanah demi keadilan dan kesejahteraan rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, justru terus memupuk amanah untuk dirinya, keluarganya, koleganya, kelompoknya, partainya, pendukungnya, para taipan atau cukong yang telah menggelontorkan anggaran demi timbal balik keuntungan dan kepentingan mereka sendiri.

Lihat saja, begitu kursi jabatan di pemerintahan dan parlemen digapai karena memanfaatkan suara rakyat, saat rakyat terus menderita dan didera ketidakdilan berkepanjangan, namun bagi-bagi kursi, bagi-bagi jabatan, bagi-bagi proyek, bagi-bagi rezeki justru untuk kelompoknya sendiri, untuk kolega dan partainya, untuk para pendukungnya, hingga membentengi diri dengan mengerahkan influenser dan buzzer yang semuanya menggunakan uang rakyat. Membentengi di dengan kebijakan dan peraturan yang memihak, dan menggunakan hukum sebagai ancaman bagi rakyat yang kritis atau dianggap melawan.

Semua peristiwa dan kisah itu pun sudah menjadi perbincangan dan pemberitaan media massa bak kacang goreng. Dan, ironisnya, meski sudah dikritisi, didemostrasi, mereka tak bergeming. Banyak yang semakin ditangkapi, hingga rakyat pun takut bersuara.

Atas fenomena ini, sejatinya dibanding dengan pandemi corona dan bencana alam di Indonesia, manakah bencana yang lebih hebat dan besar?

Bencana kemanusiaan

Banyak pihak dan rakyat yang mengungkap bahwa di Indonesia bencana terbesar yang kini terus terjadi sejak peristiwa Pilkada DKI dan Pilpres yang melahirkan istilah rasis cebong, kampret, dan kadrun, yang juga terus dibiarkan dan sama sekali tidak ada upaya pencegahan dan pelarangan penggunaan istilah SARA tersebut, padahal sangat dekat mengantar disintegrasi bangsa, namun apa yang terjadi, hal ini terus dibiarkan mengalir dan terjadi.

Inilah bencana yang paling besar, yaitu bencana kemanusiaan di negeri nusantara yang malah terus disemai dan disuburkan. Mengalahkan pandemi corona dan bencana alam. Apakah mereka lupa? Atau sengaja melupkan? Atau memang lupa diri?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna lupa adalah lepas dari ingatan; tidak dalam pikiran (ingatan) lagi, tidak teringat, tidak sadar (tahu akan keadaan dirinya atau keadaan sekelilingnya, dan sebagainya), lalai, tidak acuh, lupa kacang akan kulitnya, tidak tahu diri, lupa akan asalnya.Juga lupa daratan bertindak (bersikap) tanpa menghiraukan harga diri (sehingga melampaui batas), tidak peduli apa-apa, tidak sadar akan dirinya, lupa diri.

Mungkin deskripsi dari semua yang kini justru menjadi pondasi di NKRI adalah bersumber dari kata lupa dan turunanya. Sehingga bencana yang paling besar terus terjadi adalah bencana lupa, lupa diri.

Pertanyaannya, apakah lupa atau lupa diri mereka karena tak sengaja karena memang ada penyakit lupa? Sebab, secara kedokteran, dari berbagai literasi, ada beberapa penyakit lupa yang dapat menyerang seseorang. Lupa sebagai penyakit, dapat terjadi karena kecelakaan atau bertambahnya usia, seperti demensia, alzheimer, dan amnesia, yang berhubungan dengan gangguan otak yang membuat pengidapnya kesulitan untuk mengingat beberapa hal, hingga seluruh ingatannya hingga menjadi lupa.

Orang yang mengidap penyakit lupa, otaknya mengalami masalah serius yang dapat memengaruhi fungsi kognitif. Hal tersebut terjadi seiring bertambahnya usia. Mungkin saja kondisi tersebut disebabkan oleh masalah yang lebih besar pada otak, sehingga terjadi hilang ingatan atau amnesia, demensia, serta Alzheimer.

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan mengulik ketiga jenis penyakit lupa tersebut, sebab, rakyat juga yakin bahwa para pemimpin yang seharusnya amanah, sedang tidak terserang penyakit lupa.

Yang sangat kentara, semisal bagi-bagi kursi jabatan gratis tanpa ada seleksi layaknya perusahaan membuka lowongan pekerjaan yang untuk seseorang dapat duduk menjadi karyawan wajib melakukan serangkain proses seleksi dan tes. Sehingga perusahaan merekrut karyawan yang benar-benar berkompeten di bidangnya. Tidak duduk menjadi karyawan secara gratisan dan mendapat gaji gelontoran.

Lihat apa yang terjadi di pemerintahan kita. Bila pada akhirnya rakyat berteriak mengapa banyak pejabat yang tak berhasil menjalankan tugasnya, malah korupsi, hingga minta di reshuffle? Sebab, cara-cara instan dan dasar kepentingan yang dikedepankan, maka inilah yang terus terjadi. Berbagai sektor terus terpuruk. Tetapi ada sektor yang terus digenjot karena ada kepentingan dan tujuan yang rakyat pun tahu maksudnya.

Yakin semua terjadi bukan karena yang diberikan amanah memimpin negeri ini, maaf, karena terkena penyakit lupa. Dan, dari akar masalah lupa dan lupa diri inilah, bencana besar terus mengintai Indonesia yang pada akhirnya membikin rakyat akan terus terjajah berkepanjangan di negeri ini. Menanggung hutang, sementara hutan, gunung-hutan, sawah dan lautan sudah tak jadi milik rakyat lagi, bahkan sudah tergadai.

Mirisnya, karakter lupa dan lupa diri ini pun diteladani sebagian rakyat yang kaya harta dan tetap miskin hati, seperti kehidupan dunia, harta, benda, dan tahtanya akan di bawa mati.

Yah, lupa dan lupa diri, bila disadari memang menjadi bencana yang lebih besar dari pandemi corona dan bencana alam, hingga bencana ketidakadilan dan ketidaksejahteraan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB