x

Polemik ITE

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 17 Februari 2021 13:00 WIB

Bila Masyarakat Kompeten Literasi dan Keterampilan Berbahasa, Masalah Kritik dan UU ITE Tak akan Menjadi Polemik

Bila menterinya tak kompeten? Bila guru dan dosen tak kompeten? Bagaimana rakyat? Kini rendahnya literasi dan keterampilan berbahasa tercermin dalam polemik kritik dan UU ITE.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi ini, Selasa, 16 Februari 2021 di beberapa tayangan televisi, dibahas tentang polemik kritik dan kebebasan berpendapat, yang nara sumbernya dari berbagai pihak,  mewakili pemerintah maupun rakyat. Kesimpulannya, UU ITE memang perlu ditinjau lagi.Revisi UU ITE

Sementara, saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin (15/2/2021), Presiden Jokowi akan minta DPR merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), apabila keberadaan undang-undang tersebut dirasakan belum dapat memberikan rasa keadilan. Bahkan, Presiden menegaskan akan meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk bersama merevisi Undang-Undang ITE sehingga dapat menjamin rasa keadilan di masyarakat.

"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ucapnya.

Sejatinya, UU ITE memiliki semangat awal untuk menjaga agar ruang digital Indonesia berada dalam kondisi bersih, sehat, beretika, dan produktif, karenanya Presiden tetap menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan produktif melalui implementasi yang sesuai dari undang-undang tersebut.

Untuk itu, Presiden meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE tersebut dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.

Sebab, Indonesia adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, dan sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat.

Namun hadirnya UU ITE malah banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU tersebut sebagai salah satu rujukan hukumnya hingga menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Terlebih sejak Presiden meminta masyarakat aktif  mengkritik pemerintah, berbagai pihak pun akhirnya membincang masalah kritik ini hingga mengalahkan berita tentang corona.

Berbagai media massa dan televisi semua tergerus dan larut dalam pembahasan dan polemik kritik dan kebebasan berpendapat ini dengan mengutip pendapat tokoh dari cuitan atau mengangkat pendapat tokoh dalam pemberitaan maupun perbincangan di televisi.

Malah, tak lama Presiden meminta masyarakat aktif mengkritik, langsung ada tokoh masyarakat yang dilaporkan oleh salah satu pihak yang justru isinya akademisi. Tak pelak, pihak yang isinya para akademisi ini justru dianggap sedang mencari panggung dan memanfaatkan kesempatan demi kepentingan mereka, namun tetap terbaca dan akhirnya panen hujatan dari masyarakat yang berakal sehat.

Kompetensi literasi dan keterampilan berbahasa

Dari semua yang kini terus menghangat menyoal kritik, saling melapor, UU ITE yang jadi sumber masalah, sebenarnya ada masalah mendasar yang terjadi di Indonesia selama bertahun-tahun dan tidak pernah ditangani dengan benar.

Mengapa masyarakat dan berbagai pihak akhirnya ada yang dilaporkan, ditangkap, diadili, masuk bui, gara-gara delik UU ITE yang awalnya bermaksud mengkritik di media sosial? Telepas siapa yang melapor dan dilaporkan bahwa mereka masih dalam situasi kubu-kubuan sisa dari Pilgub dan Pilpres, namun akarnya memang ada yang tidak disentuh dengan benar sejak awal. Apa akar masalah yang tak teratasi dengan benar di Republik ini? Dia adalah kompetensi literasi dan keterampilan berbahasa.

Rendahnya literasi dan keterampilan berbahasa sebagian besar masyarakat Indonesia, benar-benar menjadi faktor utama yang seharusnya digarap oleh pemerintah sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, khususnya tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas, karena rakyatnya cerdas.

Namun, bukti bahwa banyak masyarakat yang terus terjerat UU ITE, maka inilah cermin dari sebagian masyarakat yang masih  tak cerdas. Fakta lain, sudah terbukti tingkat literasi siswa di Indonesia juga terus terpuruk, sesuai laporan UNESCO berdasarkan Penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) terbaru, 2018 yang sangat memprihatinkan terutama dalam bidang membaca, matematika, dan sains.

Mirisnya lagi, banyak masyarakat yang memahami bahwa literasi itu hanya sekadar membaca. Padahal literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, maka PISA pun hanya mengukur kemampuan siswa pada bidang membaca, matematika, dan sains, sebab ketiga bidang terdebut adalah pondasi bagi individu manusia untuk kompeten dalam literasi. Tiga bidang tersebut secara simultan akan membentuk individu menjadi terampil membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah yang masih sangat lemah bagi bangsa ini. Sudah begitu, bila kita tengok di ranah pendidikan menengah, atas, dan mahasiswa di negeri ini, kemampuan keterampilan berbahasa siswa dan mahasiswa masih menjadi benang kusut.

Guru dan dosen kompeten literasi dan terampil berbahasa?

Para guru di tingkat menengah dan atas tak tuntas membekali siswa terampil berbahasa. Keterampilan berbahasa adalah keterampilan yang wajib dimiliki oleh individu dalam hal mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.

Sayang, hingga kini keterampilan berbahasa masih banyak sekali yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi oleh guru dan dosen sekadar numpang lewat. Indikatornya, para siswa di kelas dan di kehidupan nyata masih tak lulus menjadi pendengar yang baik.

Banyak guru yang terus bicara di kelas, meski siswanya tak mendengarkan pelajarannya. Di rumah pun siswa tak mendengar orang tua. Di kehidupan nyata para siswa tak mendengar orang lain Banyak guru membiarkan para siswanya tak terampil berbicara untuk diri sendiri, apalagi bicara di depan umum. Berbicara adalah salah satu indikator bahwa individu tersebut kompeten dalam literasi.

Banyak guru yang membiarkan siswanya tak terampil membaca karena gurunya sendiri juga kurang membaca. Membaca buku, pelajaran, situasi, lingkungan, negara, hingga membaca dunia luar, menonton pengetahuan dll.

Lebih parah, banyak guru membiarkan para siswanya tak terampil menulis. Padahal dengan menulis, siswa wajib berliterasi dan akan menjadikan siswa kompeten dalam literasi khususnya berbicara dan menulis, lalu dapat menghitung, menganalisis, memecahkan masalah, kreatif, imajinatif, hingga inovatif.

Situasi ini pun semakin di perburuk oleh pendidikan di perguruan tinggi. Para dosen hanya menyuruh mahasiswa menulis dan menulis, membuat makalah, dan mengganggap para mahasiswa yang masih mentah dan belum lulus  keterampilan berbahasa saat di sekolah menengah dan atas menjadi benang kusut yang semakin sulit diurai.

Memang apa yang dilakukan dosen membikin mahasiswa jadi mandiri, namun, akan lebih benar bila pendidikan keterampilan berbahasa siswa di sekolah menengah dan atas lulus, maka saat di perguruan tingga siswa yang berganti baju menjadi mahasiswa, semakin terampil.

Pertanyaannya, apakah selama ini guru dan dosen kita digarap dengan benar menyoal keterampilan berbahasanya saat mereka menjalani pendidikan sebelum berstatus menjadi guru dan dosen? Sebab, masih banyak guru yang tak kompeten dalam teori dan praktik keterampilan berbahasa, tapi bisa lulus menjadi guru dan dosen. Uji Kompetensi Guru (UKG) pun telah memberi bukti menyoal ini.

Semua peristiwa ini saya ungkap adalah fakta-fakta sebelum dunia dilanda corona. Bagaimana dengan siswa, guru, dan dosen di Indonesia saat pandemi Covid-19 ini dalam hal keterampilan berbahasa? Apakah akan lebih parah dan semakin menambah benang kusut rendahnya kompetensi literasi dan keterampilan berbahasa? Masyarakat sendiri tentu dapat merasakan faktanya.

Perlu dicamkan pula bahwa, individu yang bersinggungan dengan bidang akademis saja masih memprihatinkan literasi dan keterampilan berbahasanya. Bagaiamana masyarakat yang tidak sekolah atau kuliah?

Inilah akar masalah, mengapa masyarakat bangsa ini masih terus nampak tak cerdas, dan terus saja banyak individu yang membiarkan dirinya terjerat UU ITE.

Bila kompeten dalam literasi dan keterampilan berbahasa, maka akan cerdas dalam beropini dan mengkritik, pun kompeten dalam budaya lapor-melapor. Tidak menjadi makanan empuk dan menjadi kambing hitam pihak yang cerdas dan kompeten dalam literasi dan keterampilan berbahasa yang lantas memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu hingga intrik dan politik.

Bila individu cerdas beropini, maka pendapatnya tentu merujuk pada fakta dan data yang ada, tidak asal bicara. Bila individu cerdas bicara lalu memberi kritik, bicara dan mengkritiknya pun sesuai koridor fakta dan data yang ada. Bukan asal bicara, subyektif, melecehkan, merendahkan,  memihak, mencibir, nyinyir dan lain sebagainya dan jelas jadi makanan empuk UU ITE.

Jadi, betapa memprihatinkannya tingkat literasi individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang sudah dibuktikan oleh PISA.

Dan, betapa memprihatinkannya tingkat keterampilan berbahasa individu masyarakat Indonesia, mulai dari kompetensi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Maka, meski salah satu contoh dalam kasus kritik, sudah banyak yang terjerat UU ITE, tetap saja berikutnya ada yang terus menyusul terjerat.

Bila UU ITE direvisi, masyarakat tetap tak kompeten dalam literasi dan keterampilan berbahasa, maka tetap saja akan banyak yang terjerat.

Rakyat cerdas, bangsa cerdas

Namun, demikian kompetensi literasi dan kompetensi keterampilan berbahasa masyarakat, bila digarap dengan benar, akan mengangkat semua keterpurukan bangsa ini, menjadi bangsa yang cerdas, karena rakyatnya berkompeten dalam semua bidang berpondasi literasi dan keterampilan berbahasa.

Bila Presiden sampai meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah, artinya Presiden sudah memiliki data tentang masyarakat kita yang kompeten dalam literasi dan keterampilan berbahasa. Pertanyaannya, prmimpin pejabat yang di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lalu para guru, dosen dan lainnya yang menjadi ujung tombak kecerdasan bangsa, sudahkah kompeten dalam literasi dan keterampilan berbahasa?

Bila menterinya tak kompeten? Bila guru dan dosen tak kompeten? Bagaimana rakyat? Kini rendahnya literasi dan keterampilan berbahasa tercermin dalam polemik kritik dan UU ITE.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB