x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 18 Februari 2021 11:20 WIB

Cerpen | Kutukan Jembatan Semanggi

Fadil adalah seorang anggota parlemen dan mantan aktivis, yang kini telah menjadi korup akibat tergoda akan hal duniawi. Sampai pada satu malam, dia baru pulang dari rapat di gedung parlemen, dengan melintasi Jembatan Semanggi. Setibanya disana, dia mendapati keganjilan yang membawanya pada sebuah petaka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sebuah pepatah terkenal; kita akan menuai dari apa yang telah kita tabur. Sebuah pepatah yang tidak asing, tapi sering tidak diacuhkan. Walakin pepatah itu tidak pernah hilang dan masih ada di dalam kehidupan kita, bagaikan hukum alam yang abadi. Bahkan terkadang, dampak akan pepatah tersebut sangat mengerikan dan mematikan, hingga memakan korban. Salah satu korban dari pepatah itu ialah Fadil.

Fadil adalah salah satu anggota parlemen dan mantan aktivis. Semasa Fadil masih menjadi aktivis, dia sangat vokal dalam menentang ketidakadilan dan mengutuk praktek korupsi di badan pemerintah. Walhasil aksinya sebagai aktivis itu telah membuatnya menjadi adibintang. Hingga kemudian - setelah tumbangnya pemerintah yang Fadil lawan - dia mendapatkan hadiah berupa kursi di parlemen, sebagai penghargaan atas keberaniannya untuk menyuarakan kebenaran.

Akan tetapi, sejak Fadil duduk di kursi parlemen, dia mulai tergoda akan uang, takhta, dan segala godaan iblis yang masuk di telinga dan hatinya. Alhasil, waktu demi waktu, dia mulai mengkhianati cita-cita yang dia perjuangkan semasa menjadi aktivis. Kini di dalam hati dan matanya hanya ada uang dan takhta. Bahkan Fadil berani menghalalkan segala cara untuk mendapatkan itu semua. Fadil yang dulu sudah mati, sekarang dia tidak ada bedanya dengan para penguasa korup yang dulu pernah dia lawan. Bahkan Fadil sendiri jauh lebih korup daripada penguasa pendahulunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

****   

Tatkala - suatu malam - Fadil pulang terlambat karena menghadiri rapat paripurna di gedung parlemen. Sebetulnya dia tidak paham akan topik yang dibahas selama rapat. Tetapi Fadil tetap hadir dalam rapat tersebut, hanya untuk membangun citra kepada masyarakat, seakan dia adalah anggota parlemen yang pekerja keras dan peduli akan nasib rakyat. Lebih-lebih lagi, suasana politik sedang panas, akibat hari-hari yang menyambut pemilu daerah.

Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Suasana jalan terlihat sepi dan menyisakan kendaraan logistik yang melintas. Kini Fadil sedang berjalan pulang ke rumahnya - yang berada di kawasan elit Menteng - dengan mengendarai mobil sedan mewah berwarna hitam, yang dikemudikan oleh sopir pribadinya. Kini mereka sedang melaju ke arah Jembatan Semanggi.

Ketika mereka mendekati jembatan itu, seketika ingatan Fadil terbang kembali ke masa lalu, semasih dia menjadi aktivis. Sangat tergambar jelas di ingatannya, sewaktu Fadil bersama teman-temannya sedang berdemo menuntut keadilan dari pemerintah yang korup dan otoriter. Masih ingat juga di ingatan Fadil, sewaktu dia sedang berjalan bersama rekan-rekan aktivisnya, menuju gedung parlemen yang berlokasi di Senayan, dengan menyeberangi Jembatan Semanggi. Arkian dari aksi mereka, aparat mulai berdatangan untuk menyambutnya dengan kekerasan. Masih teringat jelas di ingatan Fadil, saat dia menyaksikan rekan-rekannya terluka hingga tewas, akibat tertembak maupun dipukuli oleh para aparat yang bengis.

Sebuah ingatan yang tidak akan pernah hilang di kepalanya. Tetapi ingatan itu tidak akan pernah membuat Fadil merasa malu, apalagi menyesal atas perbuatannya yang sekarang. Seraya hati dan akal sehat telah ditutup oleh awan kegelapan, sehingga Fadil tega mengkhianati perjuangan dan idealismenya sendiri. Kini dia hanya menganggap peristiwa tersebut sebagai piala akan keberhasilannya untuk bisa mendapatkan takhta.

Sewaktu Fadil masih mengenang masa lalunya, seketika dia merasa bergidik saat mulai memasuki Jembatan Semanggi. Seakan ada sesuatu - yang tak terlihat - mengutuknya dari jembatan itu. Jembatan Semanggi yang cantik akan pesona lampu jalan dan arsitekturnya, kini terlihat mencekam di tengah malam hari. Akan tetapi, Fadil merasa itu hal wajar, karena ini kali pertamanya dia melintasi jembatan itu saat tengah malam.

Tiba-tiba, ada sesosok pria yang melompat ke depan mobil Fadil - yang sedang melaju kencang - sehingga si sopir langsung menginjak rem dan membanting setir, hingga akhirnya menabrak pembatas jembatan. Sontak Fadil menjadi terkejut dan geram. Lantas dia memerintahkan sopirnya untuk memeriksa kondisi mobil mewahnya itu.

Si sopir langsung mengiyakan dan bergegas keluar untuk memeriksa kondisi mobil. Namun nahas, kini bumper mobil sedan yang mewah itu telah linyak, sehingga menghilangkan kesan anggun terhadapnya. Kemudian - dengan penuh rasa takut - si sopir langsung bergegas melaporkan hal tersebut ke Fadil, yang masih duduk di bangku penumpang.

Setelah mendengar bumper mobil mewahnya telah linyak, Fadil lantas menjadi marah dan mengumpat. Lalu dia menyuruh si sopir untuk mencari orang - yang tadi melompat di depan mobil - untuk dimintai pertanggungjawaban. Dengan panik, si sopir hanya mengiyakan dan lekas pergi mencari orang tersebut.  

Selang beberapa waktu kemudian, Fadil bergegas mengeluarkan ponselnya, untuk meminta bantuan kepada pihak berwajib atau menghubungi orang terdekat. Akan tetapi, ponselnya tidak dapat berfungsi seakan telah kehabisan daya. Walhasil Fadil menjadi dongkol.

Ketika Fadil sedang larut di tengah kedongkolannya, seketika tercium aroma bau busuk yang menyegat. Pikiran yang sudah tidak sehat, membuatnya menuduh si sopir yang tidak mahir saat membersihkan mobilnya. Akan tetapi, pikiran dongkolnya berakhir cepat dan berganti dengan rasa gidik, saat mata Fadil menangkap sesosok pria yang sedang duduk di bangku depan, di sebelah bangku sopir.

"Siapa kamu?"

Sosok itu tidak menjawab.

"Kamu dengar saya tidak? Siapa kamu? Berani-beraninya masuk ke mobil saya! Kamu tidak tahu saya siapa?"

"Fadil..." ujar pria tersebut dengan nada yang berat dan singkil, serta pandangan yang masih menatap lurus ke depan.

Sontak Fadil terdiam seribu bahasa. Dia merasa tidak asing dengan warna suara itu. Alhasil tubuhnya bergidik, dengan mata yang masih menatap pria tersebut. Di tengah rasa kegelisahannya, Fadil berusaha memberanikan diri untuk meraih pundak pria itu, dengan harapan agar dia dapat melihat wajahnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu mobil, sehingga membuat Fadil berteriak kaget. Ternyata itu adalah si sopir yang telah kembali untuk melapor, bahwa dia tidak menemukan seorang-pun di jalan, termasuk orang yang tadi melompat ke depan mobil. Namun Fadil membalasnya seperti orang kesetanan dan menyuruh si sopir untuk memeriksa bangku depan.

Si sopir - yang kebingungan dengan gelagat Fadil - langsung memeriksannya dan tidak menemukan apa-apa disana. Fadil yang tidak percaya dengan perkataan sopirnya, lantas melirik kembali ke arah bangku depan dan sesosok pria tersebut sudah menghilang.

Fadil menarik nafas sedalam-dalamnya, sembari mengusap peluh di dahinya, seraya berpikir bahwa dia sedang berhalusinasi akibat lelah dan rasa jengkel akan bumper mobil mewahnya yang rusak. Kemudian Fadil meminta si sopir untuk segera mencari bantuan. Si sopir lantas mengiyakan perintahnya dan bergegas pergi meninggalkan Fadil seorang diri di mobil.

Setelah si sopir menghilang dari pandangan Fadil, seketika aroma bau busuk - diiringi oleh bau bunga melati - kembali tercium di hidungnya. Alhasil dia mulai bergidik dan peluh mulai kembali membasahi badannya. Perlahan-lahan aroma bau busuk dan bunga melati itu semakin menyengat di penciuman Fadil. Kini dia tidak hanya bergidik, tapi juga mulai merasakan pusing dan mual.

Lantas Fadil meraih gagang pintu mobil dan berusaha membukanya. Namun pintu mobil itu terkunci. Sontak Fadil menjadi panik dan berusaha membuka kunci pintu mobil itu dengan paksa. Tetapi nahas, usahanya sia-sia dan pintu mobil masih tidak dapat dibuka.

Kemudian Fadil langsung mengeluarkan ponselnya - berharap bahwa ponselnya sudah kembali berfungsi - untuk meminta pertolongan dan menghubungi sopirnya. Tetapi ponselnya masih tidak dapat berfungsi, sehingga membuat Fadil hanya bisa berteriak-teriak di dalam mobil, selayaknya orang gila.

"Fadil... Fadil..."

Terdengar suara memanggil namanya dengan nada yang berat dan singkil.

Fadil - yang mendengar suara itu - menjadi resah. Mimpi buruk seakan menjadi lebih kelam, ketika Fadil menyadari suara tersebut datang dari arah samping kirinya. Dengan rasa gelisah, Fadil mengintip ke arah samping kirinya dan seketika dia tergemap.

Dia melihat ada seorang pria - berusia kepala dua awal - dengan menggunakan jas almamater yang berlumuran darah dan robak-rabik. Wajahnya pucat dan rusak akibat luka tembak. Kemudian sosok itu mendorong tubuh Fadil - dengan kuat - keluar dari mobil, hingga dia terlempar - menerobos pintu mobilnya - dan mendarat di atas aspal yang dingin, tepat di depan sebuah mobil logistik yang sedang melaju ke arahnya. Kalakian pandangan Fadil menjadi gelap gulita.

****

Beberapa hari telah berlalu, kini Fadil tengah dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang mengenaskan. Dia memperoleh banyak luka fatal di sekujur tubuhnya, akibat terlindas mobil logistik hingga menyeretnya sepanjang 10 meter. Walakin nyawa Fadil masih terselamatkan, berkat si sopir yang berhasil tiba di lokasi kejadian dengan tepat waktu, bersama beberapa anggota polisi yang kebetulan sedang melintasi area tersebut. Walhasil mereka dapat menyelamatkan Fadil dengan sigap.

Namun sangat nahas bagi Fadil. Luka fatal yang dideritanya membuat dia kehilangan kedua kaki dan tangannya - karena diamputasi akibat telah hancur dan membusuk - sehingga dia tidak dapat kembali bekerja di parlemen. Kariernya hancur bersama ambisi dan hatinya. Kini Fadil hanya bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan terbaring tidak berdaya di atas kasur rawat.

Dia menatap langit sembari berusaha mengingat sosok pria yang telah mencelakainya. Setelah berjam-jam dia merenung, sontak Fadil berhasil mengenali pria tersebut, yang kemudian diikuti oleh rasa takut yang melaknatnya. Fadil mengingat bahwa pria tersebut adalah Irwan, teman sekampusnya sekaligus sesama aktivis.

Rasa takut Fadil semakin menjadi-jadi, ketika dia mengingat sewaktu hati dan pikirannya telah digelapkan oleh rasa iri akan kecakapan Irwan semasa menjadi aktivis, sehingga membuatnya lebih populer daripada dirinya. Alhasil Fadil menjadi tega mencelakai Irwan - saat berada di atas Jembatan Semanggi - dengan mendorongnya ke arah datangnya hujan timah panas aparat. Walhasil Irwan mengalami luka tembak di sekujur tubuhnya dan terkapar di bawah pagar pembatas jembatan.

Dalam kondisinya yang sekarat, Irwan meminta bantuan kepada Fadil. Namun Fadil membalas dengan tatapan dingin, lalu pergi meninggalkan Irwan dan membiarkannya tewas secara perlahan-lahan. Kematian Irwan membuat Fadil tersenyum jahat yang dihiasi oleh rasa puas yang mengutuk, selayaknya sosok Irwan - yang sekarang telah hadir dan sedang berdiri di samping kanan kasur rawat - menyeringai mengutuk ke arah Fadil yang telah menyadari kehadirannya. Alhasil, pemandangan mengerikan itu akan terus membekas dan menghantui Fadil untuk sisa hidupnya. Bagaikan membayar sebuah petaka atas perbuatannya.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler