x

Cover buku Dewi Kawi

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 20 Februari 2021 14:18 WIB

Dewi Kawi - Perenungan Arswendo Atmowiloto Tentang Realitas

Juragan Eling yang sukses menjadi juragan karena keberhasilannya mengubah image benda-benda yang dijualnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dewi Kawi

Penulis: Arswendo Atmowiloto

Tahun Terbit: 2008

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                                    

Tebal: 136

ISBN: 978-979-22-4064-1

Tak bisa dipungkiri, Arswendo Atmowiloto (Mas Wendo) adalah pencerita yang piawai. Mas Wendo sangat produktif sebagai penulis cerita pendek, cerita agak panjang maupun cerita panjang alias novel. Pun novel berseri. Topik bahasan karya fiksi Mas Wendo sungguh beragam. Ia mengolah bahan sejarah, kisah rumah tangga, remaja, olahraga, teknologi dan tema-tema lainnya. Ibaratnya, apa saja yang lewat di depan mata Mas Wendo akan berubah menjadi cerita yang menarik.

Salah satu karya Mas Wendo yang sampai ke tangan saya kali ini adalah “Dewi Kawi.” Awalnya saya menduga bahwa novel ini berkisah tentang Gunung Kawi yang ada di Malang itu. Makanya saat saya mendapatkannya, saya menyimpan di lemari fiksi bertema Tionghoa. Bukankah Gunung Kawi senantiasa berhubungan dengan orang Tionghoa? Lagi pula gambar sampulnya adalah perempuan bermata sipit, meski berkerudung. Saat aku membuka-buka asal saja, aku mendapati kisah tentang seroang juragan. Pas sudah. Saya tak ragu bahwa novel ini pasti bertema Tionghoa. Gunung Kawi, perempuan bermata sipit dan kisah tentang seorang juragan, semua mengarah kepada etnis tionghoa.

Namun ternyata saya salah duga. Sebab novel ini sama sekali tak menyinggung tentang ke-tionghoa-an. Amat sangat jauh dari persoalan tionghoa. Mas Wendo malah mengajak saya untuk mendiskusikan makna ada dan tiada, fiksi dan kenyataan, bohong dan kebenaran. Kenyataan yang diciptakan. Kebenaran yang dibuat. Sesuatu yang diperbarui, diperbaiki, dipoles secara terus menerus supaya mempunyai kebenaran yang relevan.

Kisahnya berawal dari dua saudara bernama Eling dan Waspodo. Kedua pemuda miskin ini akhirnya mampu menjadi pengusaha sukses. Perjuangannya mengolah sesuatu yang tak berguna, seperti daun kol busuk, biji kedondong, biji srikaya dan biji-biji lainnya yang biasanya dibuang oleh orang pasar, yang diubahnya menjadi makanan lezat, telah membuatnya menjadi konglomerat. Anehnya dia tidak mau disebut sebagai konglomerat. Eling ingin dijuluki sebagai Juragan saja. Sebab kata Juragan adalah kata yang dikenalnya sejak kecil. Saat ia masih kecil, orang kaya yang tajir disebut juragan. Keberhasilannya bahkan membuat produk belut lunak menjadi santapan yang selalu tersaji di meja Kaisar Jepang. Belut yang biasanya hanya menjadi makanan orang melarat, kini naik derajat menjadi santapan Kaisar.

Juragan Eling juga berhasil “memperbarui” image setagen. Setagen adalah kain panjang untuk mengiat perut perempuan Jawa. Biasanya digunakan oleh para perempuan yang baru selesai melahirkan. Setagen ini dikemasnya menjadi alat diet yang mumpuni. Jadilah setagen karya Juragan Eling digunakan oleh semua perempuan dari segala umur, segala etnis dan dari berbagai belahan dunia.

Kisah Eling dan Waspodo dibumbui dengan pencarian tokoh Dewi Kawi. Kawi adalah nama seorang pelacur yang hamper saja dinikahi oleh Eling, saat Eling masih belum sukses. Eling ingin sekali mencari Kawi untuk berterima kasih. Sebab Kawi telah memberinya cinta saat ia masih merana. Eling menugaskan Podo (Waspodo) untuk mencari Kawi. Podo berupaya keras mencari Kami yang sudah lebih dari 30 tahun tidak dijumpainya. Ia menelisik ke seluruh Nusantara untuk mencari perempuan yang bisa dinominasikan sebagai Kawi. Tentu ini upaya yang tidak mudah. Upaya pencarian Kawi belum berhasil, bahkan sampai saat Podo meninggal dunia.

Maka Eling meneruskan pencariannya. Suatu saat Eling menemukan seorang perempuan yang mempunyai ciri-ciri sebagai Kawi. Perempuan ini pernah menikah muda kemudian lari dari suaminya. Ia pernah menjadi pelacur dengan nama Kami di sebuah kompleks pelacuran. Umurnya sesuai dengan perkiraan umur Kawi. Namun Eling justru mengurungkan niatnya untuk menemui Kawi. Ia khawatir bahwa semua gambaran elok tentang Kawi bisa sirna jika ia benar-benar menemukan Kawi. Maka ia memutuskan untuk menyimpan Kawi sebagai idea daripada menemukan Kawi yang sesungguhnya, yang pasti telah berubah dari apa yang dibayangkannya.

Eling mempertanyakan idea tentang Kawi yang ada di benaknya. Apakah kisah Kawi benar-benar seperti yang ada di pikirannya, atau jangan-jangan pikirannyalah yang merancang sosok Kawi seperti yang dibayangkannya. Benarkah realitas Kawi yang ditemuinya dulu saat ia masih miskin sama dengan realitas Kawi yang saat ini ada di benaknya? Apakah sama dengan realitas Kawi yang akan ditemuinya?

Bukankah realitas itu hasil kebohongan? Hasil dari sebuah proses yang terus menerus dibuat dan diperbaharui. Seperti halnya daun kol busuk yang dicipta menjadi minuman segar, biji srikaya yang diubah namanya jadi srikaya cracker, atau belut empuk makanan orang miskin yang diberi image sebagai makanan kaisar?

Realitas itu ternyata tidak satu. Realitas selalu berubah. Bukan hanya maknanya, melainkan realitas itu sendiri. Realitas terbangun dalam peristiwa, dan sesuai dengan perjalanan waktu, peristiwa itu diubah. Menjadi lebih cantik, atau menjadi lebih seram. Penyempurnaan terjadi terus (hal 44).

Mas Wendo memang ahlinya bercerita. (574)

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler