x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 24 Februari 2021 12:25 WIB

Prabowo dan Kekuasaan yang Halal

Prabowo melontarkan istilah politik yang menarik: berkuasa dengan halal. Menjadi penting untuk meraih kekuasaan secara halal. Begitu pula penting untuk menggunakan kekuasaan secara halal. Terdapat beberapa hal terkait kekuasaan yang mesti dijaga kehalalannya. Bagaimanakah detilnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Prabowo Subianto barangkali masih ingin mencoba peruntungan dengan terjun ke gelanggang pemilihan presiden 2024, terlebih lagi bila ia mencermati dua hasil survei akhir-akhir ini yang menempatkan dirinya di urutan teratas dalam hal Top of Mind. Dua hasil survei ini dirilis pada 22 Februari 2021 oleh Lembaga Survei Indonesia dan Parameter Politik Indonesia. Kemungkinan itu terlihat pula pada pidato Prabowo yang disampaikan dalam rangka memeringati ulang tahun ke-13 Gerindra, Selasa, 9 Februari 2021 lalu.

Ketika itu, Prabowo melontarkan istilah politik yang menarik: berkuasa dengan halal. Beberapa media [tempo.co, detik.com, dan republika.co.id] mengutip pernyataan Prabowo itu yang dipublikasikan di kanal youtube Gerindra pada Senin, 8 Februari 2021. Kata Prabowo: “Kita ingin berkuasa dengan halal, dengan legitimate, dengan konstitusional, kita ingin berkuasa dengan izin rakyat, dengan perjuangan yang baik.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sangat jarang pemimpin masa sekarang yang mengaitkan kehalalan dengan kekuasaan—sebelum Prabowo, pada sekitar Januari 2020 SBY pernah berbicara bahwa kekuasaan harus didapat secara sah dan halal [tempo.co: Soal Kasus Jiwasraya, SBY Bicara Kekuasaan yang Halal]. Lazimnya, kehalalan ditautkan dengan makanan, minuman, penghasilan, pendapatan, rezeki, atau keuntungan. Uang halal berarti bukan uang hasil korupsi, menjarah, mengutil, suap dan sogokan, hasil memalak, maupun hasil pemberian karena maksud dan tujuan tertentu. Tapi berkuasa dengan halal, seperti apa?

Prabowo tidak memberi uraian lebih lanjut apa yang ia maksud dengan istilah berkuasa dengan halal. Dibaca dari ucapan tersebut, barangkali yang dimaksud berkuasa dengan halal itu adalah berkuasa dengan cara memperoleh kepercayaan dari mayoritas rakyat atau legitimate, dengan konstitusional berarti melalui mekanisme pemilihan umum, dengan perjuangan yang baik berarti bukan melalui kudeta atau memenangkan pemilu dengan cara yang tidak jujur dan adil.

Dalam konteks berkuasa dengan halal—mungkin lebih pas berkuasa secara halal, setidaknya terdapat beberapa hal terkait kekuasaan yang mesti dijaga kehalalannya. Pertama, kekuasaan diraih dengan cara yang halal, dalam arti apabila mengikuti pemilu, maka kemenangan dalam pemilu diperoleh dengan cara-cara yang halal, jujur, dan adil. Bila seluruh prosesnya halal, tidak ada manipulasi, tidak ada intrik dan intimidasi, tidak ada kecurangan pencatatan dan penghitungan, barulah kemenangan itu layak disebut halal, sehingga kekuasaan yang diamanahkan rakyat dapat disebut diperoleh secara halal.

Kedua, kehalalan mestilah disertai dengan sifat thayyib alias baik. Kekuasaan yang diraih secara halal belum tentu baik, baik untuk individu yang bersangkutan maupun untuk rakyat banyak. Misalnya, karena figur yang meraih kekuasaan tersebut tidak memiliki watak kepemimpinan maupun kecakapan yang diperlukan untuk mengelola pemerintahan secara baik. Popularitas tidaklah cukup, sebab popularitas bisa didongkrak layaknya merebus mie instan dan tidak selalu mencerminkan kecakapan memimpin. Untuk mengurus negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk sebesar ini diperlukan kecakapan yang tidak main-main apabila bangsa ini ingin sejahtera lahir batin.

Ketiga, bagaimana cara menggunakan kekuasaan pun tidak kalah penting dibandingkan dengan bagaimana kekuasaan itu diraih. Apakah setelah memegang kekuasaan, ia/mereka bertindak adil terhadap seluruh rakyat, bertindak sebagai pelayan rakyat—bukan sebaliknya, memberi perlindungan kepada rakyat khususnya yang nirdaya—lemah secara ekonomi maupun politik, terpinggirkan oleh yang kuat, kurang memahami hukum, kurang berpendidikan, dan seterusnya. Bila kekuasaan digunakan demi kemaslahatan rakyat dan dijalankan dengan baik, mungkin dapat dikatakan kekuasaan itu telah dimanfaatkan dengan cara-cara yang halal untuk meraih tujuan yang baik.

Jika kekuasaan dipakai untuk memudahkan korupsi, mengabaikan rakyat—terutama yang nirdaya, mengistimewakan kelompok tertentu misalnya sesama elite dan oligark, serta menjalankan praktik kekuasaan lain yang tidak baik atau tidak thayyib, berarti kekuasan itu telah digunakan dengan cara yang tidak halal. Menjadi penting untuk meraih kekuasaan secara halal, begitu pula penting untuk menggunakan kekuasaan secara halal.

Apakah itu hanya utopia? Angan-angan kosong belaka? Itu bukan utopia atau angan-angan apabila orang-orang yang ingin maupun sedang berkuasa mengingat bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban untuk apa kekuasaan itu digunakan. Pertanggungjawaban di dunia mungkin bisa mereka atasi melalui lobi-lobi sesama elite sembari minum kopi dan kudapan, tapi kalau sudah di akhirat, memangnya mau melobi Tuhan? Rasanya kok sudah terlambat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler