x

Sopan santun

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 28 Februari 2021 08:25 WIB

Tak Heran, Sopan-Santun dan Ramah-Tamah Warganet Indonesia Terburuk di Asia Tenggara

Atas label terburuk menyoal sopan dan santun serta ramah dan tamah yang sekarang masyarakat Indonesia duduk sebagai peringkat terburuk di Asia Tenggara, siapa yang akan bertanggungjawab? Sebab, negeri ini ada parlemen dan pemerintahan? Tapi, Presiden pun, malah ikut terseret dalam masalah kerumunan. Di tengah pandemi berkepanjangan, ketidakadilan yang memihak, kesejahteraan yang utopia, masyarakat kini justru was-was. Giat perseteruan tak berujung bak seperti menunggu bom waktu, yang pada saatnya akan meledak, sebab tidak ada tim penjinak. Atau malah tim penjinaknya yang memasang bom?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebelum Indonesia merdeka dari penjajahan kolonialisme hingga lepas dari belenggu penjajahan, nenek moyang dan masyarakat Indonesia dikenal sopan santun dan ramah tamah oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Namun, seperti telah dilansir oleh berbagai media massa di Republik ini, hasil riset Digital Civility Index  (DCI) kelima kalinya yang dilakukan Microsoft pada April-Mei 2020 ini menyasar 16.000 responden yang tersebar di 32 geografi, dalam hal sopan-santun, warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, yang paling tidak sopan.

Sopan-santun, ramah-tamah terburuk

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

DCI yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya melaporkan bahwa tingkat kesopanan warganet Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk.

Berdasarkan laporan DCI netizen Singapura yang juga menempati peringkat keempat secara global, dengan total 59 poin menjadi peringkat pertama yang sopan di Asia Tenggara, berikutnya
Malaysia dengan 63 poin, Filipina 66 poin, Thailand posisi keempat dengan 69 poin, disusul Vietnam urutan kelima dengan 72 poin. Artinya, dengan 76 poin, netizen Indonesia menjadi yang paling tak sopan di Asia Tenggara.

Secara data, tingkat ketidaksopanan paling tinggi didominasi pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen, dengan tiga faktor yang menjadi sebab ketidaksopanan, yaitu hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen, ujaran kebencian naik 5 poin, menjadi 27 persen, dan diskriminasi sebesar 13 persen.

Sejatinya, tanpa perlu dilakukan riset, masyarakat Indonesia secara umum juga merasakan kehilangan atas warisan sopan-santun dan ramah-tamah yang ditinggalkan oleh nenek moyang asli bangsa Indonesia, yaitu bangsa pribumi yang juga terdiri dari berbagai etnis dan suku.

Mengapa bangsa pribumi? Sebab, zaman penjajahan kolonialisme, para penjajah memang sangat tegas memisahkan garis masyarakat seperti pribumi, non pribumi, hingga ekstrimis yang berjuang memerdekaan bangsa ini.

Namun, bila mengacu pada satu masa sejak Pilkada DKI dan Pilpres yang ditandai oleh munculnya julukan rasis cebong, kampret, kadrun, hingga naik daunnya cukong, tentu masyarakat tahu, itu zaman siapa dan rezim siapa.

Bila nenek moyang asli pribumi masih hidup, tentu mereka akan sangat sedih, sebab Indonesia terkini malah terus dibikin kisruh oleh kelompok masyarakat yang justru menonjolkan etnis dan agama tertentu, yang seolah malah sudah merampas negeri ini dan lebih menjajah dari penjajah kolonialisme, serta memporakporandakan nilai-nilai etika, tata krama, hingga saat dunia digerus digitalisasi, maka ketidaksopanan masyarakat yang bak penjajah baru itu mengemuka dan terus berjaya di dunia maya. 

Yang kini terus terjadi, sebenarnya terus menyinggung dan bersinggungan dengan SARA dan terus membahayakan disintegrasi bangsa.

Siapa yang akan menghentikan ketidak-sopanan dan ketidak-ramahan masyarakat yang terus berseteru dan justru terus mengobok-obok NKRI dengan dasar di antaranya masalah SARA yang dibungkus dengan kepentingan politik? Atau kepentingan politik yang bersembunyi di balik SARA?

Malah, sepertinya, pemerintahan yang juga sudah terikat kontrak dengan para cukong, terus membentengi kepentingan kontrak mereka dengan melahirkan dan menambah aktor yang merusak tatanan sopan-santun dan ramah-tamah dengan influenser dan buzzernya, namun berlindung di balik kata-kata demi NKRI.

Sementara adanya UU ITE, juga menjadi alat pelindung untuk memperlancar dan mempermulus jalan kepentingan. Menjadi alat penjerat bagi masyarakat yang bukan dalam lingkaran kekuasaan.

Meski ada wacana akan ada pembongkaran UU ITE terutama menyoal pasal-pasal karetnya, namun hingga kini pergerakannya malah belum signifikan. Bahkan malah masih menjadi bahan diskusi dan perdebatan dalam acara televisi.

Masyarakat terus dididik ketidaksopanan

Bila DCI hanya melaporkan riset dari dunia maya, maka dalam dunia nyata pun, masyarakat kini sudah terbelah dan sangat nampak tingkat egonya bila sudah membicarakan hal-hal menyangkut politik. Terbaca jelas, Si A pendukung siapa? Si B pendukung siapa? Si C, Si D dan seterusnya berpihak ke mana. Dan, itu semua kini telah menyusup dan merata di semua sektor dan kalangan masyarakat.

Siapa yang seharusnya memiliki kewajiban membikin rakyat Indonesia kembali sopan dan santun, ramah dan tamah? Seharusnya para pemimpin yang di amanahi rakyat dan duduk di parlemen dan pemerintahan. 

Tetapi lihat faktanya, mereka malah terus menambah masalah dan tak meneladani, hingga rakyat justru semakin gencar berseteru. 

Lihat, kasus banjir melanda Indonesia, tapi yang terus digebuk banjir Jakarta karena yang disasar Gubernurnya yang mengalahkan jagoan pihak sebelah. Dan, pihak sebelah yang dihuni berbagai ini, juga terus di atas angin, karena juga masuk dalam kelompok rezim yang sedang berkuasa.

Sementara, pihak yang digebuk, juga bertahan ketat, sebab pendukungnya juga kuat, meski berada di lingkar luar kekuasaan. 

Tetapi akibat perseteruan tak berujung ini, dunia maya menjadi bising, warganet terus memberikan contoh perseteruan yang tidak sopan dan tidak santun, pun tidak ramah dan tamah kepada rakyat jelata yang ingin hidup damai, sejahtera, dan penuh keadilan. 

Lalu, ditambah nyinyirnya para buzzer bayaran yang setiap bercuit sungguh membikin gerah dan dongkol seluruh rakyat Indonesia di luar pendukung rezim.

Dalam beberapa artikel saya sudah menulis tentang sejarah Jakarta dan banjir di Jakarta, yang bahkan 66 Gubernur zaman kolonialisme saja tak pernah merasa bersalah, bila Jakarta banjir, karena wilayah Jakarta memang rendah, rawa-rawa, dan menjadi hilir dari perjalanan air. Tapi para penggebuk memang sudah buta mata dan hati atas fakta tentang Jakarta, sehingga demi mendukung junjungannya apa pun dihalalkan, seperti mereka tidak menyadari, seluruh rakyat Indonesia di luar Jakarta terus menonton peristiwa sandiwara ini.

Atas label terburuk menyoal sopan dan santun serta ramah dan tamah yang sekarang masyarakat Indonesia duduk sebagai peringkat terburuk di Asia Tenggara, siapa yang akan bertanggungjawab? Sebab, negeri ini ada parlemen dan pemerintahan? Tapi, Presiden pun, malah ikut terseret dalam masalah kerumunan.

Di tengah pandemi berkepanjangan, ketidakadilan yang memihak, kesejahteraan yang utopia, masyarakat kini justru was-was. Giat perseteruan tak berujung bak seperti menunggu bom waktu, yang pada saatnya akan meledak, sebab tidak ada tim penjinak. Atau malah tim penjinaknya yang memasang bom?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler