x

Kekuasaan

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 9 Maret 2021 08:56 WIB

Tentang Kekuasaan (Oleh Kemala Atmojo)

Apa yang bisa dikatakan tentang keributan di sebuah partai politik akhir-akhir ini? Atau tentang sekelompok orang yang tak henti-hentinya menghujat lawan politik? Juga tentang beberapa orang yang terus nyinyir pada pejabat yang sedang bekerja dengan sungguh-sungguh? Jawabnya: kekuasaan! Ini menggetarkan sekaligus menyeramkan. Harus ada cara untuk mengendalikannya, mengontrolnya, atau kalau perlu melawannya!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang bisa dikatakan tentang keributan –dengan segala perniknya-- di sebuah partai politik akhir-akhir ini? Atau tentang sekelompok orang yang tak henti-hentinya menghujat lawan politik? Juga tentang beberapa orang yang terus nyinyir pada pejabat yang sedang bekerja dengan sungguh-sungguh? Jawabnya: kekuasaan! Ini menggetarkan sekaligus menyeramkan. Perebutan kekuasaan tampak begitu telanjang, kasar, dan mencekam. Mereka seperti kehilangan hati nurani, akal sehat, atau sudah jauh menyimpang dari etika dan moral. Maka harus ada cara untuk mengendalikannya, mengontrolnya, atau kalau perlu melawannya.

Ada benarnya juga apa yang pernah dikatakan Bertrand Russell. Manusia, kata filosof Inggris itu, memang mempunyai aneka keinginan yang tak berhingga. Manusia berangan-angan. Dan dalam angan-angan, tidak ada batas bagi kemenangan-kemenangan yang dikhayalkan. Apabila khayalan-khayalan itu dianggap mungkin, maka berbagai daya upaya akan dilakukan untuk mencapainya.

Sampai di situ sebetulnya tak ada masalah jika keinginan atau khayalan itu positif, konstruktif, dan demi kemanusiaan. Celakanya, keinginan terbesar dari manusia adalah kekuasaan dan keagungan. Dua hal ini memang tidak identik, namun sangat erat hubungannya. Seorang pejabat militer mungkin mempunyai lebih banyak kekuasaan ketimbang keagungan. Seorang raja saat ini barangkali memiliki lebih banyak keagungan ketimbang kekuasaan. Tetapi, umumnya, cara yang paling mudah untuk memperoleh keagungan adalah melalui kekuasaan. Maka, ramai-ramailah orang mengejar kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan demikian, menjadi jelas pula bahwa manusia bisa lebih berbahaya dari kadal, sapi, kerbau, bahkan ular berbisa. Sebagian besar kegiatan binatang didorong oleh kebutuhan-kebutuhan pokok untuk mempertahankan hidup, berkembang biak, dan umumnya tidak melampaui apa yang dituntut oleh kebutuhan-kebutuhan di atas. Sedangkan manusia? Pada taraf tertentu, demikian pula manusia. Tetapi, bila kebutuhan-kebutuhan pokok itu telah terpenuhi, manusia tidak lantas tinggal diam. Mereka pun mulai mengejar kekuasaan dan keagungan. Padahal, kita tahu, banyak dari mereka yang seperti tak peduli bagaimana cara mereka memperoleh kekuasaan dengan baik. Bagi mereka, kalau perlu menebar fitnah, membuat hoax, dan menggorok lawan-lawan dari belakang. Dan ketika kekuasaan di tangan, segala daya dikerahkan untuk mempertahankan.

Mereka yang haus kekuasaan tapi tak bermoral itu seakan kembali menjadi --dalam dialek India-- Jat (baca: jathe) alias primitif. Mungkin beberapa tingkat di bawah Tarzan. Binatang tidak, manusia bukan. Mereka tak lagi punya malu. Apa yang mereka punya atau mereka dapat, menjadi lebih penting daripada apa yang sudah mereka lakukan untuk orang lain. Di tangan mereka yang haus kekuasaan ini, politik berubah menjadi mirip kalender porno di pinggir jalan: vulgar. Menggoda mata, tapi tak ada kedalaman. Tak ada perenungan. Politik telah direduksi menjadi soal rebutan kursi kekuasaan, soal kalah menang.

Jangan-jangan, bagi mereka itu, moralitas juga dianggap sebagai perasaan spontan atau perasaan pribadi semata-mata. Atau, bermoral dan tidaknya suatu tindakan dikira tergantung situasi tertentu dan tujuan tertentu. Padahal, perintah moral, jika mengikuti Immanuel Kant, adalah imperatif kategoris. Suatu keharusan obyektif. Mirip slogan Coca-Cola, moralitas berlaku di mana saja, kapan saja, untuk siapa saja. Misalnya, membunuh, memperkosa, itu salah. Titik. Tanpa syarat. Keras, memang.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita wajib bertindak menurut prinsip-prinsip yang juga kita kehendaki sebagai prinsip umum. Jika Anda tidak ingin ditipu, atau tidak mau tipu-menipu dianggap sebagai prinsip yang benar dalam kehidupan, maka janganlah menipu. Jika Anda tak mau dibunuh, atau tak ingin bunuh membunuh sebagai hal yang benar dalam kehidupan konkret, maka jangan membunuh. Sumber moralitas, menurut Kant, adalah fakta akal budi atau dalam bahasa sehari-hari hati nurani, dari orang-orang yang bebas, yang otonom.

Tapi, bagi mereka yang bernafsu besar untuk jabatan namun berpikiran sempit, moralitas memang bisa jadi sebuah barang mahal. Atau rumit, karena malas berpikir. Mereka ingin semua seperti supermie: instan. Kalau perlu main kayu. Yang penting cepat menggusur lawan dan mendapat kedudukan. Mereka bisa tidak peduli apakah rakyat bakal mendapat manfaat atau tidak dari tindakannya, dari ucapannya. Mereka tidak ambil pusing – atau malah tidak mengerti – apakah peradaban bergerak maju dan lebih baik atau tidak.

Jadi, bagaimana mengontrol dorongan berkuasa yang terus menggelembung itu? Selain mengasah moralitas, barangkali jawabnya adalah pers yang independen dan hukum yang tak pandang bulu. Selain itu, orang-orang yang masih memiliki hati nurani dan akal sehat juga penting tuntuk terus menyuarakan kebenaran, mendengungkan kebaikan. Ini agar kekuasaan --apa pun dan oleh siapa pun-- tak gampang merobek-robek kemanusiaan kita, akal sehat kita, peradaban kita. Tak percaya? Tanyalah kepada mereka yang pernah menjadi korban kekuasaan – terutama kekuasaan yang membabi buta.

 

                                                                      ###

 

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB