x

rakyat dan pemimpin

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 16 Maret 2021 07:10 WIB

Pemimpin yang Tak Terjangkau Rakyatnya

Ketika sudah berada dalam kekuasaan, elite yang jadi pemimpin formal mulai sukar ditemui rakyat. Sibuk rapat, sibuk menerima tamu. Ia semakin jarang menemui rakyat yang sebelumnya kerap ia datangi untuk meraih dukungan. Ia tidak bisa bebas menerima rakyat karena langkahnya terikat protokoler dan agenda. Hanya tamu-tamu terpilih yang dapat menemui.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Agar dipilih oleh rakyat, para elite menebarkan beragam janji manis, dari mulai berjanji akan memegang amanah rakyat untuk menegakkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak, memberantas korupsi, dan bla-bla-bla banyak sekali. Saking banyaknya, yang menjanjikan pun mungkin tidak ingat semua janjinya. Dalam perhelatan politik, memang janjilah yang diberikan, janjilah yang membuat orang banyak membayang-bayangkan hal yang indah dan wah. Sayangnya, rakyat juga mudah terbuai oleh janji-janji meskipun tahu bahwa itu hanya janji.

Apakah janji harus ditepati? Mestinya sih begitu, seperti kata pepatah janji itu hutang, wajib dilunasi. Lagi pula, pria sejati alias gentleman alias ksatria akan malu bila tidak menunaikan janjinya. Ia tidak akan berkelit dengan seribu alasan. Ia tidak akan membangun argumen yang ia sendiri bahkan tidak meyakininya. Seandainya ia merasa tidak mampu mewujudkan suatu janji, ia tidak akan enggan mengakuinya—inilah sikap ksatria yang mestinya dimiliki para elite politik dan politisi umumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Soalnya kemudian, ketika sudah berada dalam kekuasaan, elite yang jadi pemimpin formal mulai sukar ditemui rakyat. Sibuk rapat, sibuk menerima tamu. Ia semakin jarang menemui rakyat yang sebelumnya kerap ia datangi untuk meraih dukungan. Ia tidak bisa bebas menerima rakyat karena langkahnya terikat protokoler dan agenda. Hanya tamu-tamu terpilih yang dapat menemui.

Perlahan tapi pasti, kekuasaan mulai membangunkan tembok pemisah antara dirinya dengan rakyat yang mengantarkannya ke kekuasaan. Aura kuasa mulai menyelimuti dirinya, entah pemimpin menyadari atau tidak perubahan itu. Kini ia lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang tertentu, yang mengatur kegiatannya ini dan itu, harus bertemu siapa, tidak usah menemui siapa, harus bicara apa, jangan bicara apa.

Begitu padat aktivitasnya, begitu banyak hal harus ia pikirkan dan putuskan, sehingga ia kehilangan banyak waktu untuk bertemu langsung dengan rakyat. Sesekali ia muncul di tengah orang banyak, tapi sukar untuk menghindari kesan bahwa spontanitas itu mulai sirna. Ia kikuk sebab tak lagi merdeka.

Karena jarang menemui rakyatnya, pemimpin semakin sukar memahami apa yang dikehendaki rakyat. Ia kesulitan menangkap suasana hati rakyat, sebab ia lebih banyak menerima laporan dan bisikan yang belum tentu menyuarakan kepentingan rakyat atau setidaknya pesan rakyat mengalami distorsi di tengah jalan dalam perjalanan menuju meja kerjanya. Tidak heran bila ia tidak paham mengapa rakyat protes, padahal ia merasa sudah bekerja keras siang dan malam. Ia merasa asing pada rakyatnya mengapa tidak menghargai pemimpinnya, sebagaimana juga rakyatnya mulai merasa asing mengapa pemimpinnya berubah, tidak seperti yang dulu kami kenal.

Tembok-tembok protokoler dan tembok-tembok agenda yang dibuat orang-orang sekelilingnya itulah yang membuat rakyat banyak tidak lagi mampu menjangkau pemimpinnya. Pemimpinnya menjadi unaffordable leader—pemimpin yang tak terjangkau oleh rakyatnya. Pemimpin menyibukkan diri dengan agenda sendiri, agenda kawan-kawan elitenya, agenda keluarganya, agenda para pendukungnya yang berusaha keras membuatnya selalu senang hati. Perlahan namun pasti, pemimpin ini mulai tidak memahami mengapa ia berada di posisinya sekarang, ia tidak lagi menyadari apa sesungguhnya tanggung jawab sebagai pemimpin—ia mengalami disorientasi dan kehilangan pandangan ke depan. Terlebih lagi, ketika orang-orang di sekitarnya tidak berani atau tidak mau mengingatkannya, melainkan berusaha membuatnya selalu happy seolah keadaan rakyat baik-baik saja.

Sebelum keadaan semakin bertambah buruk, pemimpin yang tak terjangkau perlu segera becermin diri, melakukan introspeksi, muhasabah, dan melakukan langkah-langkah perbaikan diri. Pertama-tama, menumbuhkan kehendak dan kemauan mendengarkan suara rakyat secara langsung, bukan melalui perantara yang seringkali menambahkan, mengurangkan, atau bahkan memutarbalikkan pesan rakyat. Dengan mendengarkan langsung, pemimpin kembali belajar mengasah kepekaan batiniahnya yang mungkin tak lagi setajam dulu. Ia perlu berlatih kembali menangkap apa yang merisaukan hati rakyatnya. Bila bukan hidayah dari Langit, apa yang mampu mengingatkannya?

Rakyat ingin pemimpin juga mau mendengarkan suara rakyat, bukan hanya ingin didengar atau merasa bebas untuk bersikap tidak peduli atau pura-pura tidak tahu dan berujar: “Memangnya kalau saya tidak mau merespons, kalian mau apa?”

Bila begitu, akan semakin jauh jaraknya dengan rakyat, ia pun semakin tak terjangkau—tuntas sudah ia menjadi unaffordable leader. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB