x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 17 Maret 2021 19:02 WIB

Konsisten untuk Tidak Konsisten ATAU Tidak Ada yang Konsisten Kecuali Inkonsistensi

Meskipun para politisi itu dinamis ucapannya, sehingga banyak yang konsisten dalam inkonsistensinya dan menganggap inkonsistensi sebagai hobi yang sudah jamak dan lumrah, namun mereka juga konsisten dalam satu hal: meraih ambisi politik pribadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sesungguhnya, apa sih yang tidak berubah di dunia ini? Setiap manusia semakin tua—kulitnya kian berkerut, namun ambisinya makin membara. Kota-kota kian padat karena orang tidak lagi betah tinggal di desa. Rimba dan hutan yang semula lebat kini dipenuhi lubang-lubang menganga. Semua hal berubah, tak ada yang abadi, tak ada yang kekal, kecuali perubahan. Kata filsuf Yunani Heraclitos: “Satu-satunya yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan.”

Dengan meminjam frasa ini, kita bisa pula melukiskan pula sikap, ya sikap kita sebagai manusia yang lemah, mudah lupa, bandel, kerap salah—tidak sengaja ataupun lebih banyak disengaja tapi pura-pura tidak tahu. Bunyi frasa ini berubah menjadi: tidak ada yang konsisten kecuali inkonsistensi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Frasa itu tidak usah dipahami terlalu rumit, sederhana saja, apa adanya. Saudara saya di Jawa bagian tengah maupun timur suka menggambarkan perubahan inkosistensi ini lewat peribahasa: isuk dele, sore tempe [pagi kedelai, sore hari jadi tempe]. Sebenarnya, perubahan dari kedelai menjadi tempe itu masih mendingan dan bernilai tambah serta relatif linier sebab tempe dibuat dari bahan kedelai.

Perubahan sikap manusia, sayangnya, seringkali tidak selinier dari kedelai ke tempe, mungkin malah dari kedelai menjadi singkong. Lho mana mungkin? Ya mungkin saja, namanya juga inkonsistensi, kedelai dibuang lalu ambil singkong. Bisa saja tiba-tiba sikap berubah, mungkin 90 derajat, bisa pula terbalik langsung 180 derajat.

Di kancah politik kita, banyak orang yang semula mendukung figur tertentu dengan penuh semangat, tiba-tiba sikapnya berbalik menjadi pembenci yang gegap gempita. Jika semula ucapannya penuh puja puji kepada tokoh ini, mendadak berubah jadi caci maki dan mengumbar keburukannya.

Apa itu wujud inkonsistensi? Boleh dibilang begitu, tapi ini inkonsistensi dalam sikap—isuk dele, sore telo alias singkong. Jadi, andaikan ada orang-orang yang sudah top markotop sekalipun, mungkin selebritas papan atas, bila di sore hari ucapannya berbeda 180 derajat dari perkataannya di pagi hari, itu lumrah atau dianggap biasa di dunia politik. Politisi menyebutnya itu dinamika, sedangkan pakar manajemen menamainya adaptif terhadap keadaan. Inkonsistensi yang konsisten akan menimbulkan ketidakpastian yang berdampak kurang baik bagi masyarakat.

Pokoknya akan selalu ada argumen untuk menyokong perubahan sikap itu. Para politisi tidak kekurangan perbendaharaan argumen—katakanlah yang menyerupai kamus Oxford, tinggal memilih mana yang mau dipakai untuk momen tertentu, dan mana untuk momen yang berbeda. Belum lagi dukungan orang-orang yang cari muka—padahal muka itu gak kemana-mana, ya di situ-situ saja.

Jadi, kita harus cermat membaca perkataan politisi, jangan mudah terbuai oleh bacaan sekilas yang terkesan menyenangkan dan menjanjikan seolah-olah itu sudah nyata. Padahal itu baru ucapan yang bisa berubah tak lama kemudian karena dinamisnya lidah tak bertulang. Kita akan capek jika mengikuti perubahan ini, karena itu kita cukup punya pegangan bahwa ucapan itu bukanlah realitas yang sudah terwujud, atau setidaknya belum terwujud. Sepanjang belum jadi realitas, ya hatimu tidak usah berbunga-bunga.

Ingat loh, meskipun para politisi itu dinamis ucapannya, sehingga banyak yang konsisten dalam inkonsistensinya dan menganggap inkonsistensi sebagai hobi yang sudah jamak dan lumrah, namun mereka juga konsisten dalam satu hal: meraih ambisi politik pribadi.

Ada ungkapan yang cukup jitu menggambarkan hal itu. Bunyinya: “Tak ada kawan sejati, yang ada kepentingan sejati.” Jadi, di dunia politik, orang-orang yang terlihat akrab satu sama lain sesungguhnya juga menyimpan cadangan sikap waspada. Mereka masing-masing tahu apa yang perlu diceritakan kepada orang lain dan mana yang harus disimpan untuk dibuka lain kali. Lantaran itu, sebagai rakyat jelata kita jangan mudah terbuai oleh ucapan para elite politik [dan ekonomi], sebab mereka sudah terlatih untuk berubah dengan cepat—ucapan bisa mudah berganti. Kita juga jangan trenyuh memandang wajah mereka yang terlihat polos seolah-olah tidak mengerti apa-apa dan innocent. Waspadalah! >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

57 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB