x

Ilustrasi Aksi Mahasiswa. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 Maret 2021 10:11 WIB

Pemuda Harapan Bangsa, kok Kongresnya Malah Ricuh

Mayoritas organisasi moderen sudah mengubah filosofi kerjanya. Mereka memperkuat coworking, kepemimpinan bersama, mempertajam gagasan dan kreativitas, dan banyak hal baru lain. Eh, lha kok ada kongres sebuah organisasi pemuda ricuh. Mereka masih bertumpu pada paradigma lama. Organisasi pemuda perlu adaptif terhadap perubahan. Bukan malah ikut-ikutan gaya parpol dan politisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Andaikan kursi dan kaca gedung di Islamic Centre Surabaya bisa mengadu ke Komnas HAM, mungkin mereka akan datang dengan wajah babak belur: kursi penyok meraung-raung kesakitan, kepingan kaca menangis tersedu-sedu. Kursi yang sudah dengan senang hati bersedia diduduki barangkali merasa takjub, ngeri, dan trenyuh menyaksikan anak-anak muda harapan bangsa ternyata punya semangat tempur demikian tinggi.

Saking tingginya semangat anak-anak muda itu berkongres, sehingga kursi beterbangan dan kacapun terkena imbasnya. Boleh jadi mereka meniru jejak para politisi yang juga gemar bermain lempar kursi atau main begal partai. Hitung-hitung, bolehlah keriuhan—kata ini dekat benar dengan kericuhan—di arena kongres ini menjadi semacam pemanasan sebelum terjun ke kancah politik riil yang lebih dahsyat pertarungannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai rakyat jelata, kami sih berharap pemuda-pemuda harapan bangsa ini bisa memperlihatkan gaya berorganisasi yang lebih elegan. Zaman sudah berubah, mestinya organisasi juga semakin matang. Bukan saatnya lagi rapat berlarut-larut hingga peserta kecapaian, lalu keputusan penting diambil pada dini hari ketika banyak peserta pada puncak keletihannya. Juga bukan saatnya lagi mempermainkan aturan, melempar kursi, sampai menjadikan ruang sidang sasaran amarah.

Ketika mayoritas organisasi mulai banyak berubah dalam filosofi kerjanya—seperti memperkuat coworking, kepemimpinan bersama, mempertajam gagasan dan kreativitas, dan banyak hal baru lain yang diadopsi, organisasi pemuda terlihat masih bertumpu pada paradigma lama. Organisasi pemuda perlu adaptif terhadap perubahan—dalam pengertian positif, bukan ikut-ikutan gaya parpol dan politisi. Bila visi pemuda masa 1920-an mampu menjangkau puluhan tahun ke depan, pemuda zaman now mestinya malu bila visinya begitu pendek. Bila pemuda masa itu berjuang melawan kaum kolonial, masak iya pemuda zaman now malah bertempur melawan teman sendiri.

Visi pendek ini memengaruhi jalannya organisasi, dan boleh jadi ini terkait pula dengan target pimpinan organisasi, misalnya beberapa tahun lagi jadi menteri atau duduk sebagai komisaris perusahaan negara. Visi pendek ini berpotensi buruk terhadap kemandirian organisasi—dan ini satu isu yang sungguh mengkhawatirkan. Misalnya, berlomba-lomba mencari cantolan untuk memuluskan karir politik.

Lagi-lagi, bila menengok sejarah, alangkah mandirinya pemuda masa 1920-an dalam berorganisasi. Mereka berorganisasi dengan mengandalkan semangat kemandirian, kejujuran, serta keluasan wawasan.

Soal kemandirian organisasi kemahasiswaan dan pemuda, baik intrakampus maupun ekstra kampus, menjadi masalah tersendiri. Sebagai contoh, ‘pemberian’ tanah oleh Presiden Jokowi kepada sebuah organisasi pemuda terlihat diterima oleh pimpinan organisasi ini dengan senang hati sembari mengatakan bahwa pemberian itu sudah sesuai aturan. Entah lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa ada pemeo lama yang berbunyi ‘tidak ada makan siang gratis’. Namun entahlah bila mereka sudah tahu pemeo itu dan para pemuda ini sudah membuat pilihan, yang berarti sadar akan konsekuensinya bahwa tagihan untuk makan siang itu akan diajukan suatu ketika nanti.

Di zaman now, rakyat banyak memang harus berikhtiar keras dalam menghadapi tantangan zaman—rakyat harus lebih bisa mandiri dalam menghadapi banyak tantangan, termasuk urusan menjual beras hasil panen. Tatkala partai politik lebih banyak berbicara ihwal kepentingan elitenya sehingga kepentingan rakyat banyak cenderung terabaikan, tampaknya rakyat juga sukar mengandalkan para pemudanya—mereka sibuk mengurus masa depan masing-masing. Ya, masa depan yang dekat dan terjangkau bagi mereka, masa depan yang mampu mereka lihat dengan gamblang, karena barangkali keterbatasan imajinasi membuat mereka sukar membayangkan seperti apa seharusnya bangsa ini beberapa puluh tahun ke depan dan apa yang harus mereka perbuat untuk mewujudkannya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler