x

Politisi

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 31 Maret 2021 12:57 WIB

Politik Masa Kini dan Zaman Perjuangan [3]: Etika Politik yang Dilupakan

Setelah mereka meraih kekuasaan politik, yang biasanya juga disusul dengan kekuasaan ekonomi, banyak politisi yang melupakan akar legitimasinya, yaitu rakyat. Mengabaikan suara rakyat merupakan wujud konkret kurangnya etika berpolitik--salah satu fondasi demokrasi yang diabaikan oleh politisi masa kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Apakah dengan terjun ke dunia politik politisi lantas merasa punya tiket untuk berbicara sesuka hati dan bertindak semau gue? Apakah politisi lebih menyukai jalan politik tanpa obor penerang, sebab kegelapan lebih mengasyikkan untuk bersiasat tanpa diketahui rakyat? Bercakap-cakap di antara sejawat politisi di luar ruang publik mengesankan bahwa ada siasat dan agenda yang tidak terbuka, padahal agenda itu menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Sebagian politisi lainnya merasa tidak perlu merasa malu melakukan aksi secara terang-terangan, sekalipun itu di luar kepatutan hidup bernegara: mendongkel pejabat partai padahal ia pejabat tinggi negara, meminta kader partai untuk mundur dari pencalonan untuk melapangkan jalan kerabat padahal ia juga pejabat publik, atau mewariskan dan mewarisi jabatan publik kepada kerabat dekat melalui pemilu prosedural—seolah-olah pemilu, namun hampa dari substansi demokrasi kerakyatan. Padahal pejabat publik, entah berasal dari partai atau bukan, memiliki tanggungjawab untuk menjaga marwah institusi dan nilai-nilai hidup bernegara, artinya memahami apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh pejabat publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila ditimang-timang, sepertinya memang ada yang kosong dalam kedua cara tadi, cara yang sembunyi-sembunyi maupun yang terang-terangan. Ada kehampaan dalam cara-cara politisi masa kini berpolitik, tak lain ialah karena kurang dihargainya fatsun atau etika politik dalam praktik. Mereka merasa dalam politik boleh dan berhak melakukan apa saja sesuka hati.

Banyak politisi yang melupakan akarnya dengan tidak mempedulikan suara rakyat banyak setelah mereka meraih kekuasaan politik—yang biasanya juga disusul oleh kekuasaan ekonomi. Mengabaikan suara rakyat merupakan wujud konkret kurangnya etika berpolitik, karena para politisi melupakan sumber legitimasinya. Ketika mereka duduk di kursi parlemen ataupun [memimpin] kabinet, mereka diantarkan oleh suara rakyat melalui proses pemilihan.

Salah satu contoh konkret pengabaian itu ialah dalam proses legislasi. Dalam menyusun sejumlah perundangan, para politisi memilih jalur cepat dan kurang terbuka bagi pembahasan di ruang publik untuk menyerap berbagai aspirasi rakyat. Aspirasi yang ditampung cenderung aspirasi dari kelompok sendiri di ruang rapat terbatas, dikarenakan mayoritas politisi memiliki konflik kepentingan sebagai pebisnis.

Politisi yang duduk sebagai pejabat publik maupun di legislatif belum menjalankan sepenuhnya peran esensial sebagai orang yang diamanahi rakyat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Demokrasi politik tidaklah cukup, kata Bung Hatta, melainkan harus disertai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Ketiga ranah ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai karena para politisi melupakan akar legitimasinya.

Ketidakkonsistenan antara ucapan dan tindakan politisi saat pemilihan umum dan ketika telah menjadi pejabat publik maupun legislatif merupakan bentuk lain kurangnya penghormatan terhadap fatsun politik, khususnya dalam memerlakukan rakyat. Masukan, saran, hingga kritik apa yang disebut sebagai masyarakat sipil—yang merupakan unsur masyarakat yang memiliki keberanian untuk menyuarakan aspirasi rakyat banyak—juga kerap tidak memperoleh tempat yang selayaknya.

Fatsun politik juga terkait dengan pilihan sikap politik. Lihatlah, cukup banyak politisi yang menganggap bolak-balik pindah partai merupakan hal yang lumrah; cukup banyak pula politisi yang membongkar aib politisi lain yang kini ia anggap lawan padahal semula kawan; cukup banyak politisi yang merasa bahwa ia berhak berbicara apa saja di hadapan publik oleh karena ia memakai label politisi dan karena itu merasa memiliki hak istimewa dibandingkan rakyat.

Ada pula politisi yang merasa tidak punya kewajiban untuk mempraktikkan cara-cara berpolitik yang berkeadaban. Dalam beberapa catatan sejarah negeri ini, sejumlah partai politik mengalami kerusakan dan perpecahan karena sejumlah politisi tidak mampu mengelola ambisi politiknya dengan cara yang memperhatikan fatsun politik. Mereka merasa berhak melakukan apa saja untuk memenuhi ambisi politiknya, tanpa peduli bahwa tindakan politik mereka menimbulkan dampak pula terhadap masyarakat. Ini adalah politik dari jenis yang berkelas elitis dalam pengertian mementingkan kelompok elite, namun meminggirkan rakyat.

Politisi yang tidak sepakat dengan kepemimpinan partai sebenarnya dapat memilih dua cara untuk menjadi pemimpin partai. Pertama, mencalonkan diri melalui kongres yang disepakati anggota partai. Kedua, keluar dari partai dan mendirikan partai baru. Cara ini lebih kesatria dan lebih memenuhi etika politik dibandingkan dengan menggulingkan kepemimpinan partai yang dipilih anggota melalui kongres. Politisi yang melakukan aksi seperti ini perlu mengingat bahwa tindakannya bukan hanya berdampak buruk bagi internal partai, tapi juga bagi demokrasi. Sayangnya, ketika ambisi lebih mengemuka, pertimbangan yang lebih jauh kerap tidak dipedulikan.

Praktik demokrasi tidaklah cukup hanya dipertunjukkan dalam wujud kongres partai, pembentukan pengurus, pemilihan umum, maupun penyusunan peraturan yang seolah-olah demokratis atau merasa bahwa jika semua itu sudah dilakukan, maka demokrasi dianggap sudah berjalan baik. Sangatlah penting untuk menguatkan esensi demokrasi dengan memperhatikan pula etika atau fatsun politik, secara individual politisi maupun secara kelembagaan yang direpresentasikan oleh partai politik, pemerintah, maupun parlemen. Apa yang dilupakan oleh para politisi masa sekarang ialah membangun kultur dan etika politik yang menghargai sumber legitimasi politik mereka, yaitu rakyat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler