Konversi Kompor Gas ke Listrik, Bukti Gagalnya Ekonomi Liberal
Minggu, 4 April 2021 05:55 WIBPemerintah berencana mengkonversi kompor gas menjadi listrik. Ditargetkan ada 1 juta kompor listrik tercapai. Alasannya selama ini impor LPG membebani keuangan negara hingga Rp 60 trilyun.
Konversi Kompor Gas ke Listrik, Bukti Gagalnya Ekonomi Liberal
Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
PT PLN mendorong program pemerintah untuk mengkonversi kompor gas ke kompor listrik. Selama ini pemerintah telah mengimpor LPG hingga Rp 60 trilyun. Hal ini dipandang telah membebani APBN. Sementara itu PT PLN mengklaim bahwa terdapat kelebihan ketersediaan energi listrik sebanyak 50 persen dibandingkan konsumsi listrik masyarakat (www.liputan6.com, 31 Maret 2021).
Program konversi ini ditargetkan sebanyak 1 juta kompor listrik. Penggunaan kompor listrik dinilai lebih ramah lingkungan. Ruang dapur menjadi bersih udaranya dari bau gas. Di samping itu, pemakaian kompor listrik dianggap lebih ekonomis. Pemakaian kompor listrik bisa menghemat sekitar Rp 10.213,- tiap 3 kg gas LPG. Bahkan pemakaian kompor listrik disebut tidak membebani APBN sekitar 4,5 hingga 5 juta ton setahun.
Lebih dari itu, program konversi ke kompor listrik akan lebih efektif. Selama ini diklaim terdapat distribusi LPG subsidi banyak yang tidak tepat sasaran.
Terlihat bahwa pertimbangan program konversi kompor gas ke kompor listrik yang mendasar adalah terbebaninya APBN dengan impor LPG. Maka jalan keluar konversi ke kompor listrik dipandang menjadi solusi yang tepat.
LPG notabenenya merupakan salah satu hasil olahan dari sektor migas (minyak bumi dan gas bumi). Untuk bisa menghasilkan LPG dibutuhkan kandungan migas yang terdapat rantai karbon 3C dan 4C. Artinya ada usaha yang serius untuk membuat kilang-kilang pengolahan LPG. Jadi tidak serta merta menjadikan impor sebagai satu-satunya jalan keluar.
Tambang-tambang migas dalam negeri yang banyak dieksploitasi swasta dan asing menjadikan ketersediaan sumber migas menjadi langka. Tentunya hal demikian menjadikan lemahnya negara dalam memproduksi LPG. Akhirnya negara menjadi ketergantungan pada impor.
Pemakaian kompor listrik yang bisa menghemat biaya impor LPG sebanyak 5 juta ton setahun tidaklah sebanding dengan aset tambang migas yang dikuasai swasta dan asing. Seharusnya negara mengambil alih tambang migas tersebut. Selanjutnya negara mengolahnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tidak hanya sekedar menasionalisasi tambang migas, semua jenis SDA diambil alih negara dari tangan swasta dan asing. Dengan begitu, negara akan mempunyai sumber keuangan yang mencukupi untuk penuhi kebutuhan rakyatnya. Jika memang harus impor LPG misalnya, maka negara mampu mengkovernya. Gas LPG dijual ke rakyat dengan harga yang sangat terjangkau oleh seluruh strata ekonomi masyarakat.
Selanjutnya apakah pemakaian kompor listrik tidak ada masalah sama sekali? Total daya listrik yang terpasang saat ini ada 70 giga watt. Sekitar 50 % pembangkit listrik untuk Jawa-Bali atau 30 % pembangkit listrik nasional, Itu adalah milik swasta, sebagiannya asing. Ini dari satu sisi.
Adapun dalam sistem transmisi listrik, rencananya pemerintah akan menyerahkan proyeknya pada swasta. Pertimbangannya bahwa PLN tidak mempunyai kecukupan dana untuk menggarapnya. Padahal proses transmisi listrik itu one grid. Artinya transmisi dari hulu ke hilir menggunakan sistem tunggal terintegrasi. Jika demikian yang terjadi adalah betul-betul sektor listrik pun menuju sempurna untuk diswastanisasi.
Jika demikian yang terjadi adalah mengalihkan beban negara kepada rakyat. Salah satu bukti yang bisa disodorkan dalam hal ini adalah untuk mengkonversi ke kompor listrik, rakyat harus menaikkan daya listriknya. Apalagi kalau daya listriknya yang subsidi, 450 kva. Dengan kata lain biaya ekonomi rakyat menjadi naik seiring penggunaan kompor listrik setiap harinya. Belum lagi rakyat harus membeli sendiri kompor listrik yang Kisaran harga minimalnya adalah Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu.
Demikianlah ekonomi liberalistik. Konsep kepemilikan yang dikenal hanya kepemilikan individu. Invidu yang kuat akan bisa mengakses semua komoditas ekonomi termasuk kekayaan alam. Tentunya para korporasi dalam hal ini. Negara hanya menjadi regulator. Jika merasa terbebani, maka negara akan membuat regulasi yang meringankan bebannya walaupun dengan membebani rakyatnya.
Berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam. Konsep kepemilikan ekonomi betul-betul menjadi perhatian. Jangan sampai saling mendholimi. Kekayaan alam termasuk semua jenis tambang akan dikelola negara untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyatnya. Dengan demikian akan terwujud ketahanan energi. Negara akan terus melakukan riset guna menemukan energi terbarukan yang lebih mutakhir. Karena tidak menutup kemungkinan akan berkurangnya sumber-sumber energi yang ada. Riset hingga eksploitasi sumber-sumber energi yang terbarukan ini semuanya dibiayai dari dana kas negara. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki sumber keuangan yang lebih dari mencukupi guna melakukan tugasnya mengurusi rakyat dengan sebaik-baiknya.
# 02 April 2021
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Demam Pilpres 2024, Cermin Politik Pragmatis Demokrasi
Kamis, 24 Juni 2021 06:39 WIBMempertanyakan Urgensi Kursus Komisaris
Senin, 14 Juni 2021 18:53 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler