x

cover buku Lakuning Katresnan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 6 April 2021 22:29 WIB

Lakuning Katresnan - Bukti Bahwa Sastra Jawa Belum Mati

Sastra Jawa belum mati. Buku Lelakuning Katresnan karya Budiono Santoso Setradjaja (BSS) ini adalah buktinya. Novel pendek ini berkisah tentang cinta yang mampu menutup rasa kehilangan. Pembaca berkesempatan merenungkan secara mendalam arti sebuah cinta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Lelakuning Katresnan

Penulis: Budiono Santoso Setradjaja

Tahun Terbit: 2021

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia                                                         

Tebal: vi + 143

ISBN: 978-623-6922-27-9

Sastra Jawa belum mati. Buku Lelakuning Katresnan karya Budiono Santoso Setradjaja (BSS) ini adalah buktinya. Saya sangat sedih ketika mendengar berita Suparto Brata wafat beberapa tahun yang lalu. Sebab bagaimanapun Suparto Brata adalah penulis yang konsisten menggunakan bahasa Jawa untuk berkarya. Seri Detektif Handoko, Trilogi Kerajaan Raminten dan novel-novel berbahasa Jawa lain yang telah ditulisnya adalah bukti dari kesetiaan beliau menggunakan bahasa Jawa. Meski bersedih dan merasa kehilangan, namun ada pula hiburan yang menyejukkan. Meski tak sesubur Suparto Brata dalam berkarya, ternyata masih ada juga para penulis yang menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana mencipta. Salah satunya adalah Budiono Santoso Setradjaja.

BSS adalah seorang dokter yang malang melintang di dunia profesi internasional. Meski berlatar belakang seorang dokter, tetapi BSS juga sangat aktif di sektor kebudayaan. Khususnya kebudayaan Jawa. Ia adalah ketua Masyarakat Pecinta Warisan Medhang dan pendiri Persatuan Kepercayaan dan Budaya Nusantara (PKBN). Ia sering menulis di Majalah Panji Masyarakat, sebuah majalah yang menggunakan Bahasa Jawa.

Pada tahun 2021, Santoso Budiono merilis sebuah novel berbahasa Jawa. Novel ini berkisah tentang betapa besarnya cinta dalam mengatasi segala kesedihan dan masalah kehidupan. Kisahnya sendiri sangat sederhana. Namun kisah ini memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk merenungkan secara mendalam arti sebuah cinta.

Kisah diawali dengan pertemuan antara pemuda yang bernama Hermanu dengan seorang gadis yang bernama Ratri di pesawat dalam perjalanan dari Jakarta ke Jogjakarta. Kedua insan yang sudah dewasa itu ternyata saling jatuh cinta pada pertemuan pertama. Hubungan mereka berlanjut sampai ke mahligai rumah tangga.

Hermanu adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang meninggal karena kecelakaan (hal. 22). Ia dibesarkan oleh kakeknya yang juga telah ditinggal oleh sang nenek (hal. 32). Cinta sang kakek membuat Hermanu tumbuh sebagai seorang pemuda yang berkarakter baik dan sukses dalam pekerjaan. Namun demikian Hermanu mempunyai trauma karena ditinggalkan oleh orang-orang tercintanya di masa kecil. Hermanu sering bermimpi kehilangan orang-orang yang dicintainya. Mimpi buruk itu muncul lagi saat ia sudah begitu dekat dengan Ratri. Tiba-tiba Hermanu turun dari apartemennya karena melihat Ratri sedang berada di pinggir jurang dan hampir jatuh. Hermanu segera berlari untuk menyelamatkan Ratri. Mimpi buruk itu membuat Hermanu tanpa sadar turun dari apartemennya dan linglung memegangi pintu apartemen. Untunglah Ratri segera turun dan menenangkannya (hal. 122).

Kisah percintaan Hermanu dengan Ratri digambarkan dengan tenang dan adem. Meski baru bertemu sekali saat di pesawat, namun mereka berdua yakin akan jalan cinta. Pertemuan yang singkat saat keduanya berlibur di kampung – Hermanu di Semanu dan Ratri di Wonosari, membuat cinta bereka berdua mekar. Rama Pringga – kakek Hermanu dan suami istri Hario Puspoyuda dan Katarina – orangtua Ratri, mendukung perjodohan mereka.

Yang menarik bagi saya dari kisah pendek ini adalah tentang bagaimana cinta bisa menutup rasa kehilangan. Cinta Rama Pringga kepada Hermanu membuktikan hal tersebut. Perasaan kehilangan orangtua dan kemudian sang nenek yang menyayanginya bisa ditutup oleh cinta Rama Pringga kepada Hermanu. Dampak dari rasa kehilangan itu bisa diminimalisir oleh cinta baru yang datang. Di akhir cerita, Rama Pringga dengan jelas menyampaikan kepada Ratri untuk mengambil alih peran dirinya sebagai sumber cinta bagi Hermanu.

Dalam novel ini BSS menyajikan bagaimana manusia Jawa berkelakuan. Ia menunjukkan adat kesopanan hubungan antara orang muda dengan orang tua yang penuh hormat dan penuh katresnan. Hubungan penuh hormat ini bukan dalam arti karena ketakutan atau karena pamrih. Namun benar-benar karena penghargaan yang tulus atas segala jasa orang tua kepada yang muda.

Dalam hal hubungan anak muda, BSS menggambarkan hubungan pacarana yang penuh tanggung jawab dan penuh penghargaan antara satu dengan yang lain. Hubungan yang lebih mencari keharmonisan jika daripada mengumbar gelora raga. Napsu birahi tentu tetap ada. Namun BSS mengungkapkan bagaimana napsu birahi itu dikelola sedemikian rupa sehingga pelaksanaannya penuh dengan kesakralan dan cinta tulus. Cinta dan kesakralan itu bahkan digambarkan oleh BSS sampai saat malam pertama melalui penghormatan Hermanu kepada Ratri (hal. 142).

Novel pendek ini adalah bukti bahwa sastra Jawa belum mati. 584.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler