x

Anak-anak di Tepi Sungai Yamuna, Old Delhi, India. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 16 April 2021 13:14 WIB

Catatan Perjalanan | Menyingkap Momen Puitik Delhi

Aku percaya untuk mengenal sebuah tempat baru mustahil bisa dilakukan hanya dengan memandangnya dari balik kaca kendaraan. Blusukan ke sebanyak mungkin tempat, bertemu banyak orang, merasakan udaranya, dan mencecap atmosfer sekitar, adalah cara terbaik berintim-intim dengan kota yang baru didatangi. Ini juga yang terjadi ketika saya berkunjung ke India beberapa tahun silam. Berikut catatan perjalanan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beruntung, setelah sesaat berjalan aku melihat satu keluarga tengah mengadakan ritual di tepi sungai. Seorang laki-laki yang tampaknya pemimpin keluarga, memimpin doa-doa seraya memegang sesaji yang dikemas dalam sebuah tempat. Anggota keluarga lainnya duduk takzim di selembar tikar.”Mereka sedang memohon agar terhindar dari mara bahaya,” kata Ali. Sesat kemudian, sesaji itu dilarung seperti berharap agar nasi buruk enyah dari keluarga ini.

Aku mencoba berkenalan dengan anak-anak yang mendekatiku usai ritual itu. Tampaknya mereka ingin sekali dipotret. Mereka enggan menjawab ketika kutanya soal upacara yang barusan dilakukan, api tak keberatan menyebutkan namanya, ”Aku Rahul, ini Dilep dan Jonu,” kata salah satu diantaranya.

Mereka tidak tinggal di sekitar sungai ini. Ali menyebut sebuah nama kampung di seberang Yamuna yang kedengarannya aneh di telingaku. Benar, sesaat kemudian keluarga itu menumpang perahu dan menyeberang sungai untuk pulang ke rumah.

Lalu aku takjub oleh visual yang terpampang ketika perahu itu melintas persis di bawah jembatan Lala Hardev Sahai Marg. Pada ayunan perahu yang melaju pelan, aku seperti melihat sebuah harapan yang tak henti meniti riak kehidupan.Jika fragmen di siang terik ini kutuliskan kedalam sebuah puisi, mungkin bunyinya seperti ini:  

Setiap embusan angin bagai melempar nasib buruk ke tepi doa yang rawan/ gemetar dihantar ke perbatasan/ telah ditautkan mantra milik masa silam/ telah ditautkan segala kejadian kuasa alam/ sebab Yama menyimpan setiap alamat/ sedang dayung mengayuh segala luka....

Di setiap perjalanan yang kulakukan, momen-momen puitik macam itulah yang selalu membekas lama dalam kenangan. Dan, Delhi kurasa demikian murah hati menyediakannya kepadaku. Hal itu kutemui, baik ketika menyusuri jalan-jalan di kawasan New Delhi, dan terlebih lagi saat menjelajah di distrik-distrik area Old Delhi.

Di suatu sore yang dingin, misalnya, aku ”terjebak” dalam keriuhan sebuah jalan sempit tak jauh dari Masjid Jama. Kalau tak salah nama tempat ini Chawri Bazar Road. Di ruas jalan yang tak cukup untuk dua mobil ini suasana demikian crowded. Kios pedagang berderet di kiri-kanan jalan, gerobak-gerobak kaki-lima, pengunjung yang memenuhi lintasan, dan rickshaw yang berkelebat lincah di tengah lautan manusia. Aku merasakan setiap orang di kawasan yang, ”100 persen penghuninya orang muslim,” kata Ali, ini, begitu mengairahkan.

Kami susuri kawasan sepanjang sekitar 1,5 kilometer ini bolak-balik, dan kucecap daya hidup yang meruyakdi jalanan tak jauh dari masjid peninggalan Dinasti Mughal abad 17 itu. Daya hidup yang berdenyut dari para pedagang, penarik rickshaw, para santri, penjual makanan, dan lain-lain. Di depan sebuah toko aku dikenalkan Ali pada Hasmi, seorang terapis kesehatan pria. ”Jika ada masalah seksual, katakan saja padaku,” kata Hasmi blak-blakan sedetik setelah kami salaman. Ali kulirik menahan senyumnya.

Jika sore itu seperti ada api menghangatkan jiwaku, bukan karena tawaran Hasmi. Tetapi secuil percakapan dengan Sarjit Ali ditengah keriuhan jalanan ini. Sempat kutanyakan apakah ia sudah naik haji, ia menggeleng pelan seraya mengatakan semua saudara dan orang tuanya sudah berhaji. Kutepuk bahunya dan kukatakan semoga ia segera bisa menjalankan ibadah yang menjadi impian setiap muslim tersebut.

Sejurus kemudian giliran aku menggelengkan kepala ketika ia balik menanyakan hal yang sama. Ia lalu menggenggam erat tanganku dan bergumam pelan,”Aku berdoa untukmu, brother.” Jalanan masih riuh, dan kurasakan tenggorokanku sedikit tercekat. Ini lebih dari sekedar puisi. Ini adalah doa.

Kami mengakhiri perjalanan sore itu di sebuah mushala kecil di sudut Old Delhi. Kurasa aku tahu persis doa apa yang akan kupanjatkan kali ini...

 

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler