x

Iklan

Puji Handoko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2020

Jumat, 30 April 2021 15:25 WIB

Syarat untuk Memanfaatkan Harta Karun Indonesia secara Optimal

Indonesia kaya sumber panas bumi, namun pemanfaatannya belum optimal. Dua Badan BUMN, yakni PT Pertamina dan PT PLN kompak mengungkapkan bahwa tarif listrik panas bumi menjadi penyebab belum tergarapnya potensi tersebut. Persoalan tarif inilah yang membuat panas bumi kurang seksi untuk dilirik. Kini Pemerintah merancang peraturan terkait harga listrik energi baru terbarukan, termasuk tarif listrik panas bumi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia kaya sumber panas bumi, namun pemanfaatannya sama sekali belum optimal. Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) kompak mengungkapkan, bahwa tarif listrik panas bumi menjadi penyebab belum tergarapnya potensi energi panas bumi di Tanah Air. Persoalan tarif inilah yang membuat panas bumi kurang seksi untuk dilirik.

Padahal, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 mega watt (MW), di bawah Amerika Serikat (AS) yang memiliki sumber daya sebesar 30.000 MW. Tapi sayangnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih belum optimal, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Kabar baiknya, Pemerintah sedang merancang peraturan terkait harga listrik energi baru terbarukan (EBT), termasuk tarif listrik panas bumi, guna memperbaiki isu tarif yang telah diatur saat ini. Peraturan terkait harga listrik EBT, termasuk tarif listrik panas bumi, ini berupa Peraturan Presiden (Perpres). Saat ini Rancangan Perpres tersebut masih di Kementerian Keuangan untuk dikaji ulang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Perpres EBT masih di Kementerian Keuangan, masih di-review," ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, Rabu 28 April 2021.

Beberapa wilayah kerja panas bumi (WKP) saat ini terkendala karena aspek keekonomian. Untuk itu, strategi lainnya yang akan didorong yaitu mengembangkan panas bumi pada area yang sudah beroperasi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil (small scale) dan sistem biner (binary system), sehingga tidak memerlukan pembangunan infrastruktur baru.

"Pada akhirnya, keekonomiannya menjadi lebih baik, tarifnya akan lebih kompetitif," ujarnya.

Tarif listrik panas bumi yang akan diatur di Perpres ini berupa harga patokan tertinggi (ceiling price) dengan dibagi ke dalam dua tahap, yakni 10 tahun pertama harga listrik akan mempertimbangkan faktor lokasi, dan pada tahap kedua setelah 10 tahun pertama sejak beroperasi, tarif listrik akan turun.

"Harga geothermal menggunakan ceiling price, harga dibagi dua tahap. 10 tahun pertama mempertimbangkan faktor lokasi," tutur Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, harga patokan tertinggi pada tahap pertama atau 10 tahun pertama PLTP ini berlaku untuk semua kapasitas dengan mempertimbangkan faktor lokasi. Yang dimaksud faktor lokasi, yaitu mempertimbangkan tingkat kesulitan implementasi proyek berdasarkan wilayah. Selain itu, ketentuan harga pembelian tenaga listrik akan dievaluasi paling lama tiga tahun.

Adapun untuk pelaksanaan pembelian tenaga listrik, akan ada penunjukan langsung untuk ekspansi PLTP maupun kelebihan pasokan (excess power). Selain itu, penunjukan langsung berupa penugasan juga diterapkan pada pembelian tenaga listrik dari PLTP. Periode kontrak jual-beli listrik bisa mencapai hingga 30 tahun dan transaksi dilakukan dalam rupiah dengan nilai tukar JISDOR.

Aturan terkait harga listrik panas bumi saat ini masih diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No.50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan selama dua tahun terakhir memang pengembangan panas bumi di Indonesia mandeg. Hal itu karena persoalan tarif listrik di sektor panas bumi yang masih kerap dikaitkan dengan BPP daerah.

"Ini menjadi salah satu stoper. Kami menilai perlu adanya regulasi yang membuat pengembangan panas bumi sesuai dengan angka keekonomian proyek. Sehingga ini bisa menarik bagi investor," ujar Nicke, Senin 26 April 2021.

Nicke mencontohkan salah satu instrumen pendukung untuk mengembangkan panas bumi adalah skema cost recovery yang merupakan skema yang sama di hulu migas. Selain itu, dengan adanya proyek goverment drilling ini juga bisa meningkatkan minat investor untuk bergerak ke pengembangan panas bumi.

"Bisa juga melalui skema cost recovery seperti di industri migas. Juga perlu ada terobosan seperti government drilling. Secara data eksplorasi sudah matang. Investor pasti tertarik," ujar Nicke.

Pertamina berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam pemanfaatan panas bumi. Nicke mencatat, Pertamina saat ini sudah berkontribusi dalam pengembangan panas bumi sebesar 7 persen dari potensi yang ada.

"Panas bumi ini merupakan potensi yang besar dan menarik untuk dikembangkan," ujar Nicke.

Pertamina telah mendorong pemanfaatan panas bumi secara optimal. Sekarang tinggal menunggu regulasi yang ditetapkan pemerintah. Akankah panas bumi itu nantinya tersia-siakan sebagaimana yang sudah-sudah? Atau ia dimanfaatkan demi kepentingan orang banyak? Jangan sampai anugerah alam yang luar biasa itu tidak digunakan sebagainya mestinya. Sungguh sangat disayangkan.

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Puji Handoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler