Gerakan masyarakat dalam geliat literasi berbagai macam, di antara gerakan itu melalui pendidikan nonformal. Berdasarkan UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (4), disebutkan bahwa satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sejak tahun 2020, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) didaftarkan sebagai salah satu satuan pendidikan non formal. Secara resmi berada dalam naungan Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PPMK) Kemdikbud.
Menurut buku Taman Bacaan Masyarakat: Pedoman Penyelenggaraan (2009:1) mendefinisikan TBM sebagai sebuah tempat/wadah yang didirikan dan dikelola baik masyarakat maupun pemerintah untuk memberikan akses layanan bahan bacaan bagi masyarakat sebagai sarana pembelajaran seumur hidup dalam rangka peningkatan kualitas hidup masyarakat di sekitar TBM. Berdasar buku pedoman pelaksanaan bantuan pemerintah penyelenggara Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tahun 2020, definisi TBM semakin luas, yaitu layanan pengembangan keberaksaraan masyarakat yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan minat/kegemaran membaca guna mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat (2020:2). Peran TBM yang semula terbatas pada penyedia layanan bahan bacaan kemudian berkembang menjadi pengembangan keberaksaraan masyarakat.
Bila merujuk pada sejarah, berdirinya taman baca menurut Mulyana (2008) dalam Al Ayyubi (2018) sejak 1910-an, Balai Pustaka yang tugasnya sebagai badan penerbit sekaligus badan sensor bahan bacaan milik pemerintah kolonial, memfasilitasi berdirinya lebih dari 1000 perpustakaan rakyat (volksbibliotheek). Menilik laman donasibuku.kemdikbud.go.id yang dikelola oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, TBM telah hadir sejak masa pra-kolonial yaitu dimulai dari persewaan buku oleh imigran Cina yang kemudian ketika memasuki masa kolonial, muncul gerai buku berjalan yang diinisiasi oleh Balai Pustaka pada 1940. Gerakan ini terus berjalan sampai 1945-1966 dengan melahirkan Taman Pustaka (TPR). Sebagai gerakan Pemberantasan Buta Huruf yang sedang digencarkan oleh pemerintah saat itu.
Selain inisiasi pemerintah, ada juga yang dilakukan oleh masyarakat. Tahun 1970 ke1980-an muncul model perpustakaan komunitas yang sifatnya komersil seperti persewaan buku dan komik dan perpustakaan komunitas non komersil yang menjadikan anak-anak sebagai fokus perhatian dari layanannya. Kemudian 1992-2004, TPR berubah menjadi TBM dan kembali menjadi ujung tombak pemerintah melalui pembentukan TBM di desa-desa. Barulah awal tahun 2000-an menjadi masa di mana taman bacaan independen mulai bergeliat kembali.
Tercatat, ada 4.415 TBM yang teregistrasi dalam data Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PPMK) Kemdikbud se-Indonesia. Sementara di Sumatra Utara ada 150 TBM, dan 10 TBM di Kabupaten Asahan. Salah satunya TBM Azka Gemilang beralamat di Jl. Paria Siumbut-umbut Kec. Kisaran Timur Kabupaten Asahan.
Di masa pandemi, beliau juga menjadi mentor kepenulisan bagi para Guru Literat Kabupaten Asahan. Selain itu selama bulan Ramadan tahun 2021 beliau membuat kelas berbicara di depan umum khusus siswa kelas 4-6 SD di TBM Azka Gemilang.
Kegiatan-kegiatan yang diinisiasi beliau, mengakibatkan Balai Bahasa Propinsi Sumatera Utara harus mengganjar beliau menjadi peraih anugerah pegiat literasi Sumatera Utara pada Tahun 2018.
Ikuti tulisan menarik Saufi Ginting lainnya di sini.