x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 6 Mei 2021 17:09 WIB

KPK di Hadapan Mahkamah Hati Nurani  

Hati nurani para hakim mestinya juga peka terhadap tuntutan keadilan yang diajukan oleh masyarakat untuk menegakkan hal yang baik dan benar. Kearifan hakim seyogyanya mampu menembus  kedalaman dan melampaui fakta-fakta persidangan serta melihat potensi dampak buruk undang-undang hasil revisi itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mahkamah Konstitusi, yang digadang-gadang sebagai benteng terakhir pencarian keadilan bagi kepentingan masyarakat luas dan tumpuan harapan terakhir masyarakat, ternyata menolak uji formil atas Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang diajukan oleh Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang—bersama 11 orang lainnya. Sebagai orang yang selama beberapa tahun menjabat pimpinan KPK, Agus dan kawan-kawan tahu benar bagaimana dampak buruk yang bakal ditimbulkan oleh hasil revisi undang-undang antirasuah yang dimotori dan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR. Karena itu, mereka mengajukan uji formil.

Dalam penyusunan revisi itu, tidak ada kekuatan lain yang mampu menandingi bersekutunya kedua lembaga negara itu, yang memiliki kepentingan yang sama dalam isu-isu korupsi. Rakyat telah turun ke jalan menyuarakan kehendaknya karena cemas UU KPK No 19 tahun 2019 tersebut akan melemahkan lembaga antirasuah khususnya dan pemberantasan korupsi umumnya, namun pemerintah dan DPR bergeming dengan sikap mereka. Revisi berlangsung cepat, pemerintah dan DPR tak peduli terhadap berbagai kritik yang disuarakan unsur-unsur masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hingga kemudian, rakyat berpaling kepada Mahkamah Konstitusi untuk meminta keadilan agar para hakim konstitusi membukakan jalan untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. Apa mau dikata, para hakim yang mulia dan cerdik pandai itu ternyata menolak permohonan yang diajukan Agus, meskipun permohonan tersebut mewakili aspirasi rakyat pada umumnya. Spirit yang diusung pemohon ialah menyelamatkan negeri ini dari rongrongan korupsi yang terus menghantui. Namun para hakim Mahkamah Konstitusi menolak seluruh alasan permohonan ini.

Sungguh menyedihkan bahwa pada akhirnya keputusan-keputusan hukum lebih didasarkan pada fakta-faktar prosedural, namun kurang menyelami fakta-fakta substansial di dalam prosedur yang dilalui dalam menyusun undang-undang revisi itu—di antaranya kurangnya transparansi dan keterbukaan kepada masyarakat. Para hakim konstitusi, seperti diberitakan oleh media massa, menyebut bahwa DPR telah mengundang berbagai pihak untuk mendengarkan pendapat mereka, bahwa memang ada demonstrasi menentang revisi namun yang mendukung juga ada. Para hakim tampaknya tidak melangkah lebih jauh untuk mendalami keprihatinan rakyat melalui demonstrasi.

Hakim konstitusi Wahiddudin Adams, yang memiliki pandangan berbeda [dissenting opinion] di antara para hakim lainnya, menyebut perihal penggarapan revisi yang berlangsung dalam waktu sangat singkat dan pada momentum yang spesifik, padahal revisi tersebut menurut Wahid telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. Sayangnya, hanya Wahid satu-satunya hakim konstitusi yang berbeda pandangan dan berusaha memahami substansi persoalan yang diajukan oleh pemohon. Para hakim terkesan kurang mempedulikan suasana batin ketika pembahasan revisi undang-undang itu berlangsung.

Sebagai hakim, kearifan dan kebijaksanaan—yang merupakan terjemahan kata hakim dalam bahasa Arab—seyogyanya mewarnai keputusan hukum. Di dalam keputusan itu mestinya dapat dirasakan betapa jauh pandangan para hakim dan betapa dalam pemahaman mereka terhadap aspek-aspek yang mungkin terdampak oleh peraturan revisi itu. Hati nurani para hakim mestinya juga peka terhadap tuntutan keadilan yang diajukan oleh masyarakat untuk menegakkan hal yang baik dan benar. Kearifan hakim seyogyanya mampu menembus  kedalaman dan melampaui fakta-fakta persidangan serta melihat potensi dampak buruk undang-undang hasil revisi itu.

Namun, para hakim juga manusia—yang mungkin punya pandangan sendiri, pertimbangan sendiri, alasan sendiri, termasuk mungkin alasan-alasan yang hanya mereka sendiri yang mengetahui. Apakah alasan serta pertimbangan para hakim itu sejalan dengan suara hati nurani mereka, merekalah yang mengetahui. Di hadapan mahkamah hati nurani, terbuka kemungkinan bahwa keputusan yang dilahirkan akan berbeda. Tentu saja, bila hati nurani mereka tidak tersaput awan hitam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler