A. J. Liem Sioe Siet - Sang Perintis Universitas Atmajaya Yogyakarta
Rabu, 12 Mei 2021 05:39 WIBSaya suka biografi yang ditulis dengan jujur, bukan yang hanya memuat bagian yang baik-baik saja atau glorifikasi si tokoh. Biografi yang jujur dan memuat kejadian-kejadian apa adanya --yang baik hingga buruk-- akan memberikan pelajaran berharga bagi pembacanya. Liem Sioe Siet (LSS) secara tegas menyampaikan di awal bahwa dia menulis memoar ini apa adanya. Sebab dia ingin pembaca belajar dari pengalaman hidupnya dari buku yang masuk ke cetakan kelima ini.
Judul: Bukan Lagi Dua, Melainkan Satu – Memoar A.J. Liem Sioe Siet
Penulis: A. J. Liem Sioe Siet
Tahun Terbit: 2019 (cetakan kelima)
Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tebal: x + 192
ISBN: 978-602-8817-91-2
Saya suka biografi yang ditulis dengan jujur. Sebab seringkali biografi hanya memuat bagian yang baik-baik saja. Bahkan beberapa biografi isinya hanya glorifikasi si tokoh. Biografi yang jujur dan memuat kejadian-kejadian apa adanya--yang baik, yang kurang baik dan bahkan yang buruk, akan memberikan pelajaran yang berharga bagi pembacanya. Liem Sioe Siet (LSS) secara tegas menyampaikan di awal bahwa dia menulis memoar ini apa adanya (hal. xi). Sebab dia ingin kita semua belajar dari pengalaman hidupnya sebagai pribadi maupun sebagai orang yang terlibat secara mendalam dalam pendirian dan merawat Universitas Atmajaya (hal xiv).
Memoar A. J. Liem Sioe Siet ini sudah memasuki cetakan kelima. Artinya memoar ini banyak dibaca oleh banyak pihak, sehingga harus dicetak berulang-ulang. Edisi pertama terbit tahun 2011. Pada edisi tahun 2013 dilakukan revisi dan pada edisi 2019 memoar ini dipecah menjadi dua buku. Tujuan dari pemecahan memoar tersebut supaya pembaca bisa fokus kepada pengalaman pribadi (buku 1) dan pengalaman mendirikan dan mengelola Universitas Atmajaya (buku 2).
LSS lahir di Jogja dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya bernama Liem Bing Tjiauw. Orangtuanya terpaksa pindah ke Jogja dari Rembang supaya bisa mandiri. LSS mengatakan bahwa kepindahan dari Jogja ini adalah karena “sangat terpaksa” (hal. 7). Sebelumnya mereka tinggal bersama nenek dari garis sang papa. Setelah jatuh bangun di Jogja dan saat mengungsi ke Semarang, akhirnya berhasil membangun bisnis jual beli palawija. Namun sayang, sang ayah terlalu cepat meninggal. Liem Bing Tjiauw meninggal karena serangan jantung pada usia 62 tahun pada tahun 1955. Sepeninggal sang ayah, bisnis diteruskan oleh sang Ibu.
Seperti halnya keluara tionghoa yang miskin, ayah LSS melakukan apa saja supaya keluarganya bisa tercukupi secara ekonomi. LSS menceritakan bahwa ayahnya pernah sampai menjadi penjual buntutan (toto gelap) demi kelangsungan ekonomi keluarganya. Perilaku rela melakukan apa saja dengan keluarganya adalah tipikal lelaki tionghoa miskin.
LSS sangat mengagumi ibunya. Dalam memoar ini LSS menjelaskan betapa peran seorang ibu begitu besar. Meski ibunya adalah anak dari keluarga yang kurang mampu dan tidak mempunyai pendidikan yang baik, namun Sang Ibu mampu menjadi kepala keluarga sepeninggal sang ayah. Sang Ibu adalah hero bagi keluarga LSS.
Salah satu yang dijelaskan oleh LSS di buku memoar ini adalah perhatian ayahnya akan pentingnya pendidikan. Orangtua LSS memilih untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda. Padahal pada waktu itu persekolahan tionghoa sudah ada. Alasan yang diberikan oleh orangtua LSS untuk tidak memilih sekolah tionghoa adalah ayahnya merasa sebagai bagian dari Hindia Belanda, bukan bagian dari Tiongkok. “Bukankah kita hidup dan akan mati di tanah Hindia Belanda,” kata ayahnya (hal. 19). Melalui pendidikan inilah anak-anak keluarga Liem Bing Tjiauw bisa berhasil dalam hidupnya.
Hal lain yang menarik dari memoar ini adalah tentang bagaimana situasi politik dan kebijakan negara berpengaruh terhadap kehidupan keluarga LSS. LSS secara rinci menuliskan pengalaman keluarganya berdasarkan situasi politik dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang serta-merta mempengaruhi kehidupan keluarganya. Ia menjelaskan situasi politik ketika kebangkitan nasionalisme Tiongkok muncul. Kebijakan sekolah tionghoa ini direspon dengan keputusan ayahnya untuk tetap menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Belanda.
Kemudian LSS menjelaskan nasib keluarganya saat Jepang datang dan kemudian agresi Belanda dan peristiwa pemberontakan PKI 1948. LSS juga menjelaskan bagaimana dampak dari sanering (pemotongan uang) di era Sokarno. Ketika Orde Baru “menganjurkan” orang cina untuk berganti nama, keluarga LSS juga terdampak. Namun LSS memilih untuk tidak mengganti nama. Penjelasan dampak politik dan kebijakan negara terhadap kehidupan keluarga ini mengingatkanku kepada buku Abad Bapak Saya karya Geert Mak.
LSS dibesarkan dalam keluarga yang penuh cinta kasih. Itulah sebabnya ketika dia berkeluarga juga menerapkan cinta kasih yang besar kepada kedua putrinya. Kehidupan suami istri LSS dan The Thian Hui penuh dengan kemesraan. The Thian Hui menjadi pendamping yang sepadan bagi LSS.
Seperti dijelaskan di atas, buku pertama ini menjelaskan kehidupan pribadi LSS. Pribadi yang sangat menarik yang dibesarkan dalam kerja keras, kejujuran dan kasih keluarga. Itulah sebabnya LSS tumbuh sebagai sosok yang bertanggung jawab dan peduli kepada sesama.
Sangat menarik untuk membaca bagian kedua dari memoar LSS. Sebab di bagian kedua ini LSS akan mengisahkan tentang perannya sebagai orang yang ikut menginisiasi berdirinya Universitas Atmajaya dan merawatnya. Sayangnya saya belum memiliki buku kedua ini. Semoga suatu hari saya bisa mendapatkannya.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
First Time in Beijing - Pergumulan Seorang Gadis Tionghoa yang Hidup di Beijing
Kamis, 28 November 2024 16:18 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler