x

cover buku Siau Ling

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 15 Mei 2021 07:54 WIB

Siau Ling - Drama Musikal yang Relevan dengan Akhir Masa Orde Baru

Siau Ling adalah drama musikal karya Remy Sylado yang mengambil latar Kota Semarang tahun 1414. Namun kisahnya sangat relevan dengan situasi masa akhir Orde Baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Siau Ling

Penulis: Remy Sylado

Tahun Terbit: 2003 (Cetakan ketiga)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia                                                         

Tebal: xv + 136

ISBN: 979-9023-47-5

 

Semarang dan komunitas Tionghoa adalah dua sosok yang tak terpisahkan. Sebab kota yang sekarang menjadi ibukota Provinsi Jawa Tengah itu memang tumbuh bersama dengan komunitas Tionghoa. Drama musical “Siau Ling” karya Remy Sylado ini memberi bukti betapa dua sosok – Semarang dan Tionghoa memang begitu erat berjabat. Remy Sylado mendasari drama musikalnya dengan sejarah Semarang tahun 1414. Artinya situasi Semarang sebelum para kolonialis Eropa masuk ke Jawa. Namun jangan keliru. Sebab Semarang adalah kota pelabuhan yang disinggahi dan dihuni oleh berbagai bangsa. Itulah sebabnya dalam drama ini Remy Sylado juga memasukkan tokoh Daeng Bajika pelaut sekaligus pedagang Bugis yang selalu membawa badik.

Kisah yang dibangun sesungguhnya amatlah sederhana. Sebuah kisah percintaan dua muda-mudi yang terhalang yang digunakan untuk menggambarkan sebuah rezim culas. Lay Kun, sang gadis yang sebenarnya suka dengan Samik, sang pemuda cintanya tak kesampaian. Sebab Tan Kim Seng, sang jago Kungfu sudah terlanjur menerima pinangan seorang bupati – Wilotikto si Bupati Tuban. Alih-alih memberi pintu kepada Samik, Tan Kim Seng malah menghajar Samik sampai babak belur. Tan Kim Seng memang jago Kungfu, tetapi sesungguhnya dia adalah lelaki yang sangat takut kepada istrinya.

Sementara Adipati Tuban Wilitikto adalah seorang penguasa lalim yang menikahi banyak perempuan. Para bawahannya tidak suka, tetapi terpaksa menjilat di depannya. Sedang di belakang, mereka mencari cara untuk menyingkirkannya.

Sesungguhnya Samik datang merayu Lay Kun hanyalah untuk mengemban permintaan sang Ibu. Sang Ibu yang ingin membalas kesewenang-wenangan suaminya yang meninggalkannya begitu saja. Diragukan bahwa Samik sebenarnya benar-benar mencintai Lay Kun. Namun demi melaksanakan amanat Renggonis - Sang Ibu, babak belur pun dilakukan juga. Meski sudah pernah babak belur dan kapok untuk mendapatkan Lay Kun, tetapi Samik ternyata masih juga mau datang menemui Lay Kun yang pingsan ketika Sang Adipati melamar gadis cina itu.

Lay Kun yang pingsan karena shock mendapat lamaran dari Adipati yang lebih cocok menjadi ayahnya itu hanya bisa bangun dan sembuh jika mendengarkan alunan suling dari Samik. Samik pun menyamar sebagai Santang, karena ia datang dari Cirebon. Meski sudah tidak lagi pingsan, tetapi Lay Kun seperti kehilangan kesadaran. Ia buta. Melalui sebuah ritual di sebuah kamar, Santang berhasil menyembuhkan Lay Kun. Namun keduanya sudah terlanjur jatuh cinta. Keduanya pun sudah terlanjur tidur bersama. Lay Kun sembuh dan persiapan pernihakannya dengan Adipati Wilitikto pun berlanjut.

Saat pesta pernikahan Lay Kun dengan Adipati Wilotikto, rahasia bahwa Lay Kun sudah tidur dengan Santang terbongkar. Maka Adipati membunuh Samik alias Santang dengan badik yang diberikan oleh Daeng kepada Samik. Kematian Samik membuat para bawahan Adipati menyerang Sang Adipati. Pringgoloyo, Tarub dan Bondan para bawahan yang suka menjilat saat dekat Sang Adipati, tetapi sesungguhnya sedang mencari cara untuk meruntuhkannya, seperti mendapat momentum.

Sebelum mati Sang Adipati baru tahu bahwa Samik adalah anak kandungnya dari Renggoning. Mayat Adipati Wilotikto pun dibakar di pantai.

Dalam kesedihannya Lay Kun pun akhirnya memilih untuk mati. Lay Kun bunuh diri.

Di pengantar Eka Budianta menghubungkan Siau Ling dengan akhir kisah Orde Baru. Sebab drama ini dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah tahun 2001, ketika Orde Baru tumbang. Eka Budianta menemukan bahwa dalam drama ini tidak didapati seorang pun sebagai pahlawan. Semuanya mati. Dan…Eka Budianta bertamsil bahwa sesudah Orde Baru masyarakat Indonesia tak perlu lagi berharap kepada seorang pahlawan. Kita harus berani hidup meski tak ada pahlawan.

 

Eh…tetapi apa sesungguhnya arti judul drama musikal ini? Bukankah tak ada satu pun tokoh bernama Siau Ling? Ah…ternyat Siau Ling adalah bahasa asli dari Tiongkok yang berarti Suling atau seruling. Konon alat musik inilah yang digunakan oleh Ling Lun untuk mengobati Raja Wu 2000 tahun yang lalu. Jadi jangan salah sangka bahwa gadis cina yang cantik jelita dalam drama ini bernama Siau Ling. Bukan. Bukan itu namanya. 591

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler