Tarif Ppn Naik, Beban Hidup Makin Mencekik

Rabu, 19 Mei 2021 15:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasca lebaran akan dikebun pembahasan tentang kenaikan tarif Ppn bersama DPR. Sontak saja kebijakan untuk menaikkan tarif Ppn ini menuai kritikan dari sejumlah pihak. Bukankah kenaikan tarif Ppn hanya akan membebani rakyat?

Tarif Ppn Akan Naik, Beban Hidup Akan Makin Mencekik

Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)

Rencana kenaikan Ppn (Pajak Pertambahan Nilai) telah masuk Rancangan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan). Kenaikan Ppn akan dikebut pasca lebaran.

Wacana kenaikan Ppn ini masih menjadi bahan kajian di lingkungan Kementerian ekonomi dan keuangan. Belum ada pembahasan intensif antar lembaga negara.

DPR juga masih belum mendapat beleid RUU KUP tersebut. Kemungkinan besar saat sidang pembahasannya di Juli mendatang.

Sontak rencana kenaikan Ppn pada produk-produk konsumsi masyarakat ini menuai kritikan dari beberapa kalangan. Sebut saja salah satunya, Peneliti Indef, Yudhistira Abdinegara berkomentar bahwa kenaikan Ppn dalam kondisi pandemi ini akan membuat daya beli masyarakat menurun. Artinya kondisi pemulihan ekonomi akan makin sulit tercapai.

Menurutnya pula, mestinya pemerintah bisa menggunakan beberapa alternatif, lainnya. Menurut data Forbes bahwa di tahun 2019, aset 50 orang terkaya di Indonesia bisa mencapai Rp 1884 trilyun. Sedangkan penerimaan pajak di Nopember 2019 sekitar Rp 133 trilyun. Pajak dari orang kaya hanya menyumbang 0,8 persen senilai Rp 1,6 trilyun. Jadi pemerintah bisa menaikkan pajak bagi orang-orang kaya tersebut, imbuhnya.

Begitu pula insentif pajak pada perusahaan dan barang-barang mewah hanya menyebabkan terjadinya kontraksi penerimaan pajak hingga ratusan trilyun. Artinya pemerintah memberi subsidi yang tidak tepat sasaran.

Pernyataan senada dilontarkan oleh Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), kenaikan ppn hanya akan melemahkan daya beli masyarakat. Dengan kata lain, beban pengeluaran masyarakat semakin meningkat.

Begitu pula, kenaikan Ppn akan menyebabkan terjadinya inflasi semu. Inflasi yang terjadi bukan karena permintaan masyarakat terhadap sebuah produk meningkat tajam. Inflasi yang terjadi karena mahalnya harga produk tersebut. Akhirnya rakyat mengurangi pembelian produk tersebut. Permintaan menurun, penawarannya tetap. Yang ada adalah kelesuan ekonomi dan produksi.

Di sisi yang lain, akan muncul produk-produk tandingan yang serupa dengan Ppn yang sama. Tentunya dari segi kualitas menurun. Prinsip ekonomi liberal berlaku, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya guna mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Prinsip demikian berlaku baik bagi produsen maupun konsumen.

Jika kita menilik ketentuan Ppn di dalam UU KUP itu berada dalam rentangan 5-15 persen. Saat ini Ppn yang berlaku adalah 10 persen. Walhasil seharusnya rakyat selaku konsumen bisa mendapatkan barang-barang kebutuhannya dengan harga yang lebih murah, tanpa ada Ppn 10 persen tersebut. Akan tetapi demikianlah watak ekonomi Kapitalisme Liberal. Pajak menjadi instrumen utama pendapatan negara. Para pengusaha membayar pajak kepada negara melalui mekanisme Ppn ini. Artinya sebenarnya yang membayar pajak para pengusaha tersebut adalah rakyat selaku konsumen. Dengan demikian, yang terjadi dalam hal ekonomi, negara lebih berpihak kepada kelompok pengusaha dan korporasi ini. Dari sini timbul tanda tanya, di manakah tujuan berbangsa dan bernegara guna mencapai kesejahteraan umum?

Berbeda dengan ekonomi Kapitalisme Liberal. Ekonomi Islam tidak menjadikan pajak sebagai instrumen utama pemasukan negara. Harga-harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya didasarkan pada patokan harga pasar. Faktor permintaan dan penawaran di pasar yang menjadi tolak ukur. Tidak ada penambahan harga barang karena pajak. Kalaupun terjadi inflasi pada produk tertentu karena permintaan yang tinggi sementara penawarannya langka, maka negara akan menyediakan stok barang tersebut guna bisa mengendalikan inflasi. Negara tidak akan melakukan penetapan harga barang-barang kebutuhan masyarakat.

Sementara itu terkait dengan pajak. Lebih tepat dalam ekonomi Islam disebut dengan dharibah. Pajak dan dharibah memiliki terma khusus masing-masing. Dharibah dikenakan di saat kas negara tidak mampu mengkover kebutuhan-kebutuhan dalam melayani rakyat. Dharibah hanya dikenakan kepada rakyat yang mampu membayarnya. Periode waktunya hingga kebutuhan negara ter-cover. Jadi tidak untuk seterusnya negara menarik dharibah dari rakyatnya.

Adapun pemasukan negara diperoleh dari sumber-sumber yang melimpah yakni dari harta milik negara, harta milik umum, kharaj, fai, ghonimah, harta rikaz, usyr, zakat dan lainnya. Dengan begitu negara akan mampu dengan optimal dan sebaik-baiknya dalam melayani rakyatnya dan mewujudkan kesejahteraan umum.

# 19 Mei 2021

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mizan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Viral

Lihat semua