x

cover buku Konglomerat Oei Tiong Ham

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 27 Mei 2021 13:25 WIB

Konglomerat Oei Tiong Ham

Pandangan Kunio Yoshihara tentang faktor-faktor yang membuat Oei Tiong Ham berhasil membangun konglomerat bisnis di Semarang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Konglomerat Oei Tiong Ham – Kerajaan Bisnia Pertama di Asia Tenggara

Judul Asli: Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Shouteast Asia

Penyunting: Yoshihara Kunio

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: A. Dahana

Tahun Terbit: 1991

Penerbit: Pustaka Utama Grafiti                                                                           

Tebal: viii + 392

ISBN: 979-444-108-1

 

Oei Tiong Ham Concern adalah sebuah konglomerasi pertama di Asia Tenggara. Pusat dari Oei Tiong Ham Concern ada di Semarang – Hindia Belanda yang sekarang adalah bagian dari Indonesia. Kian Guan atau Oei Tiong Ham Concern mempunyai bisnis yang teritegrasi, dari mulai sektor produksi, distribusi, pembiayaan sampai ke pemasaran hilir. Kian Guan mempunyai berbagai bisnis dan kantor di kota-kota dagang dunia, seperti Singapura, Hong Kong, Shanghai, Amsterdam, Noe York dan sebagainya. Mengapa bisa muncul perusahaan dengan skala dunia di Semarang dan tidak di tempat lain? Buku karya Yoshihara Kunio ini membeberkan dari berbagai sisi keberhasilan Oei Tiong Ham membesarkan Kian Gwan sehingga menjadi perusahaan trans-nasional.

Yoshihara menggunakan beberapa bahan tulisan dan wawancara untuk mengambil kesimpulan tentang faktor-faktor yang membuat Oei Tiong Ham Concern menjadi sebuah perusahaan kelas dunia. Pertama, ia menggunakan tulisan karya Oei Hu Lan, anak perempuan kedua Oei Ting Ham. Dalam tulisan Oei Hu Lan ini kita mendapat gambaran bagaimana Oei Tiong Ham hidup sehari-hari; bagaimana hubungan Oei Tiong Ham dengan anaknya; rumah besar yang dihuninya. Oei Hu Lan juga menggambarkan kantor bapaknya yang dipenuhi contoh-contoh komoditas yang bisa ditunjukkan kepada para calon relasi yang datang. Selain itu Oei Hu Lan menjelaskan tentang sang kakek – Oei Tjie Sin yang datang dari Tiongkok dan merintis Kian Gwan di Semarang. Melalui bahan-bahan tersebutlah Yoshihara membuat kesimpulannya yang dituangkan di bagian Pendahuluan buku ini.

Rujukan kedua yang dipakai oleh Yoshihara adalah tulisan karya Onghokham yang berjudul “Kapitalisme Cina di Hindia Belanda.” Salah satu yang memungkinkan orang Cina di Jawa membangun bisnis skala besar adalah karena kebijakan Belanda yang menerapkan Hukum Dagang Belanda bagi orang-orang Cina (hal. 88). Faktor kedua yang ditunjukkan oleh Onghokham adalah hak monopoli penarikan pajak dan perdagangan di pedesaan (dan perdagangan candu). Melalui hak penarikan pajak dan perdagangan di pedesaan ini orang-orang Cina bisa membangun kekayaan yang besar (hal. 95). Ketika Belanda pada tahun 1900-an mulai membebaskan orang-orang peranakan untuk bepergian, maka akses orang-orang Cina ke masyarakat pedesaan menjadi semakin besar. Hal ini membuat pasar perdagangan orang-orang Cina Peranakan menjadi semakin luas (hal. 109). Meski demikian, semua kondisi tersebut belum memungkinkan orang Cina membangun perusahaan skala besar. Sebab menurut Onghokham, bisnis orang Cina bersifat jangka pendek dan berfokus kepada pengumpulan kekayaan semata. Selanjutnya Onghokham menyimpulkan bahwa Oei Tiong Ham bisa menjadi konglomerat adalah karena Oei Tiong Ham inovatif dalam mencari kesempatan baru untuk menanam modal dan merasionalisasi organisasi bisnisnya serta tidak terlibat dengan bisnis yang berbau politik (hal. 111).

Sedangkan Tjoa Soe Tjong dalam tulisannya berjudul “Seratus Tahun Perusahaan Oei Tiong Ham menyoroti keberanian Oei Tiong Ham untuk mengadopsi management barat modern dalam bisnisnya. Oei Tiong Ham menerapkan management Barat dalam berbisnis. Ia tidak segan-segan menyita debitur yang gagal bayar, meski mereka adalah sesama pengusaha Cina (hal 122). Oei Tiong Ham mempekerjakan orang orang barat yang saat itu belum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Cina lainnya (123). Pendapat Tjoa Soe Tjong ini selaras dengan pendapat Liem Tjwan Ling (hal 221). Soe Tjong juga menyoroti keberanian Oei Tiong Ham dalam berinventasi kepada mesin-mesin modern. Keberanian untuk berinvestasi pada mesih modern ini dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat Kian Guan semakin besar dan berjangka panjang. Pendapat ini juga disampaikan oleh Panglaykim dan Palmer, dimana di pabrik-pabrik gulanya, Oei Tiong Ham juga mempekerjakan teknisi Eropa yang bisa mengoperasikan mesin-mesin baru tersebut (hal. 180). Selain itu Oei Tiong Ham tidak menonjolkan diri menjadi tauke (majikan besar), sehingga management perusahaannya bisa berjalan baik (hal. 125).

Yoshihara juga memuat karya seorang wartawan bernama Liem Thian Joe, yang belum diterbitkan. Liem Thian Joe mempersiapkan tulisan tentang 100 tahun Kian Guan, tetapi tulisan tersebut, entah karena alasa apa kemudian tidak jadi diterbitkan. Naskah yang tersipan di Perpustakaan Universitas Monash di Australia itu dikupas oleh Charles A. Coppel. Dua hal yang menarik dalam tulisan Liem Thian Joe ini adalah tentang bagaimana Kian Guan menghadapi situasi turunnya harga gula. Kian Guan berhasil mendapatkan untung yang sangat besar karena keberaniannya untuk menarik stok gula dari para perantaranta pada saat harga turun (204). Hal kedua yang menarik dari tulisan Liem adalah tentang betapa murah hatinya Oei Tiong Ham. Oei Tiong Ham senantiasa memperhatikan perut para pekerjanya dan sering menjamu mitra bisnisnya dengan makanan. Ia juga suka menyumbang badan-badang sosial termasuk sekolah-sekolah Tionghoa (hal. 205).

Oei Tiong Ham Concern yang sudah melebarkan sayap ke berbagai negara itu sebenarnya akan bisa bertahan lebih dari 100 tahun. Namun kematian Oei Tiong Ham yang mendadak di Singapura dan kematian Oei Tjon Hauw, penerus Oei Tiong Ham yang juga mati muda, membuat Kian Guan mengamai kesulitan. Apalagi situasi politik Indonesia pasca kemerdekaan yang beraliran sosialis, semakin membuat Kian Guan terjepit. Sebagai sebuah perusahaan yang dianggap agen kapitalisme, Kian Guan akhirnya disita oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1961. Yoshihara menggunakan tulisan Tjoa Soe Tjong, tulisan Liem Twan Ling serta hasil wawancara dengan Oei Tjong Ie dan Oei Tjong Tjay untuk memotret masa akhir Oei Tiong Ham Concern.

Meski Oei Tiong Ham adalah seorang yang berpikir secara barat, namun ia adalah seorang yang masih sangat taat pada tradisi Cina. Ia memilih untuk kawin lagi saat istri pertamanya tidak memberikan anak lelaki. Dari istri pertamanya Oei Tiong Ham hanya dikaruniai dua anak perempuan, dimana salah satunya adalah Oei Hu Lan yang di kemudian hari menikah dengan Wellington Koo, seorang diplomat Cina. Oei Tiong Ham sampai harus pindah ke Singapura supaya bisa mewariskan perusahaannya hanya kepada anak-anak lelakinya. Sebab jika ia tetap di Semarang atau di Hindia Belanda, makai a harus tunduk kepada peraturan Negeri Belanda dimana semua anak mempunyai hak waris. Sedangkan di Singapura yang memberlakukan hukum Inggris, hal tersebut tidak berlaku.  Oei Tiong Ham juga masih percaya feng shui dan horoskop serta memegang ajaran Kong Hu Cu. 595

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler