x

Ilustrasi mencari pemimpin di TTS

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 2 Juni 2021 05:50 WIB

Capres 2024: Aspirasi Rakyat atau Elite?

Pasangan capres seharusnya terbentuk mengikuti aspirasi rakyat, bukan menuruti kehendak elite politik-ekonomi. Bila pilpres 2024 nanti ternyata memang hanya mempertahankan status quo, maka rakyat sesungguhnya hanya menjadi pemilih pasif yang tidak memiliki daya untuk menentukan pemimpin yang sesuai dengan aspirasinya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menguji riak air alias testing the water mulai dipakai untuk melihat respons berbagai pihak terhadap isu strategis: pemilihan presiden 2024. Wacana yang dilontarkan politisi mulai beraroma pilpres, misalnya Sekjen PDI-P Hasto menyatakan partainya terbuka untuk berkoalisi dengan Gerindra, tapi menutup pintu untuk Demokrat dan PKS. Walaupun perhelatan baru akan berlangsung tiga tahun lagi, sinyal-sinyal mulai dilempar ke arena.

Dengan hasil dua kali pemilu, PDI-P tampak percaya diri untuk meraih kemenangan lagi. Lontaran Sekjen Hasto yang menyatakan partainya terbuka untuk Gerindra menunjukkan hal itu. Alasannya niscaya bukan sekedar kesamaan ideologi, melainkan juga karena Prabowo Subianto selalu menempati posisi teratas dalam berbagai survei. Di saat yang sama, Puan Maharani belum mampu bertengger di tiga besar survei-survei tadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Prabowo mungkin berminat untuk berkoalisi dengan PDI-P. Dalam kalkulasi, perolehan kursi kedua partai dalam pileg yang lalu berada di dua teratas. Karena itu, boleh jadi, Prabowo memperkirakan peluangnya untuk menang dalam pilpres 2024 akan lebih besar. PDI-P pun mungkin akan mengusung Puan dan dipasangkan dengan Prabowo sebagai cawapres. Bagi kedua politis ini, 2024 merupakan momentum untuk menjadi RI-1 dan RI-2.

Bila mereka berpasangan, lantas siapa lagi yang akan maju ke gelanggang pilpres? Rakyat sebenarnya berharap bahwa pasangan capres-cawapres yang akan berkompetisi pada 2024 bukan hanya dua. Jika hanya ada dua pasang, dan Prabowo-Puan jadi berpasangan, berarti hanya ada satu pasang lagi calon. Siapa? Benarkah cukup dua pasang?

Siapa dan berapa pasang merupakan pertanyaan krusial yang tidak lepas dari aturan presidential threshold. Aturan ini sangat membatasi peluang calon-calon pemimpin baru untuk maju ke tingkat nasional, karena peluang partai-partai untuk mengusung calon mereka masing-masing serba terbatas. Partai dipagari oleh aturan presidential threshold yang membuat mereka tidak leluasa mengusung calon sendiri.

Apabila kemudian hanya ada dua pasang calon, maka potensi pembelahan rakyat seperti yang pernah terjadi dalam pilpres 2019 dapat terulang. Pengalaman pilpres yang lalu sungguh tidak mengenakkan bila diulang kembali meskipun mungkin latar belakangnya berbeda. Untuk memulihkan pembelahan masyarakat karena perbedaan pilihan dan dukungan dalam pilpres terbukti memakan waktu dan tidak mudah.

Dua pasang calon saja juga membuat pilihan masyarakat jadi terbatas, apa lagi jika calon yang maju adalah figur yang itu-itu juga, dari lingkungan elite politik yang itu-itu juga. Rakyat menghendaki penyegaran pada calon-calon yang tampil agar pilpres dapat menjadi ajang kompetisi yang inspiratif bagi masyarakat, bagi proses demokrasi, bagi cara kita menjalin relasi setelah kompetisi usai. Jangan sampai pengelompokan kawan dan lawan berlanjut hingga merugikan kohesivitas masyarakat.

Kehadiran lebih banyak pasangan calon, setidaknya tiga pasang, dapat membantu mengurai ketegangan di tengah masyarakat. Pembelahan masyarakat menjadi kami dan kalian dapat lebih dihindari. Masyarakat juga lebih leluasa menentukan pilihan, terlebih lagi apabila muncul calon-calon alternatif di luar elite politik yang itu-itu saja. Sekali lagi, penyegaran kepemimpinan diperlukan dengan menghadirkan lebih banyak calon.

Presidential threshold yang tinggi itu jelas membatasi munculnya pemimpin-pemimpin baru, karena elite politik saat ini segan melepaskan pengaruhnya. Para ketua umum partai, maupun elite  lain yang berpengaruh karena jabatannya, cenderung menghendaki status quo demi terpeliharanya kekuasaan mereka. Meskipun mereka sudah berpuluh tahun berada di jenjang teratas komunitas politik, mereka masih enggan membuka peluang bagi lahirnya pemimpin baru dari generasi yang lebih muda, terlebih lagi bila pemimpin potensial ini tidak sesuai dengan keinginan elite.

Pasangan capres seharusnya terbentuk mengikuti aspirasi rakyat, bukan menuruti kehendak elite politik-ekonomi. Bila pilpres 2024 nanti ternyata memang hanya mempertahankan status quo, maka rakyat sesungguhnya hanya menjadi pemilih pasif yang tidak memiliki daya untuk menentukan pemimpin yang sesuai dengan aspirasinya sendiri. Rakyat pemilih diminta datang ke tempat pemungutan suara hanya untuk memilih pemimpin yang sudah disaring lebih dahulu dan dipilih lebih dahulu oleh elite politik dan sejawat ekonominya. Maknanya, presiden-wapres terpilih mewakili aspirasi elite politik-ekonomi, bukan aspirasi rakyat banyak. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu