x

KH Noer Ali. Dok.Istimewa

Iklan

Adam Dimyati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Januari 2020

Selasa, 8 Juni 2021 19:07 WIB

Pejuang Kedaulatan Karawang-Bekasi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KH Noer Alie

Ulama, pendidik, pejuang, politisi dan negarawan ini memiliki peran penting dalam mempertahankan kedaulatan RI di kawasan Karawang-Bekasi sekitar tahun 1945-1950. Perjuangan Pahlawan Nasional yang dijuluki Singa Karawang-Bekasi ini tercatat dalam Perang Sasak Kapuk dan Pembantaian Rawagede.

Kyai kelahiran Desa Ujungharapan Bahagia, Babelan pada 15 Juli 1914 ini merupakan putera dari pasangan Anwar bin Layu dan Maimunah bin Tarbin. Saat Noer Alie lahir, Ujungharapan Bahagia masih bernama Desa Ujungmalang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap Meester Cornelis, Residensi Batavia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak kecil dia dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai mengaji. Saat masih berusia di bawah lima tahun, ia telah mampu menghapal surat-surat pendek dalam Al-Qur’an yang diajarkan oleh orangtua dan kakaknya. Pada usia tujuh tahun, Noer Alie mengaji pada guru Maksum di kampung Ujung Malang Bulak. Beranjak remaja, Noer Alie pindah ke Klender, mondok di sebuah pesantren dan menuntut ilmu pada guru Marzuki.

Pada 1934, Noer Alie menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di kota Mekkah, Saudi Arabia. Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, bersama Hasan Basri, ia membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB) Almanhajul Khoiri dan menduduki jabatan sebagai ketua. Beberapa kegiatan diselenggarakan PPB, seperti unjuk rasa pembatalan penarikan pajak oleh Pemerintah Saudi Arabia terhadap pelajar asing. Sebagai Ketua Persatuan Pelajar Betawi (PPB), Noer Alie juga aktif dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Melayu (Perindom).

Setelah enam tahun menetap di Mekkah, Noer Alie pulang ke kampung halaman di Ujungmalang, Bekasi. Kecintaan pada dunia pendidikan mendorong Noer Alie mendirikan Pondok Pesantren Attaqwa di Ujungmalang, Bekasi (sekarang bernama Ujung Harapan, kini ponpes sudah memiliki lebih dari 50 cabang). Ia juga menikah dengan Siti Rohmah binti Mughni. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan.

Saat Rapat Ikada digelar pada 19 September 1945 di Monas, Noer Alie mengerahkan massa untuk hadir. Noer Alie kemudian membentuk Laskar Rakyat pada November 1945 dan menjalin kerjasama dengan TKR Bekasi dan Jatinegara guna memobilisasi pemuda dan santri untuk mengikuti pelatihan militer di Teluk Pucung. Ia juga mengeluarkan fatwa: “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah.”

Pada pertempuran Sasak Kapuk, 9 November 1945, di Pondok Ungu, Bekasi, Noer Alie menunjukkan keberaniannya dengan memimpin Laskar Rakyat melawan pasukan Sekutu. Dalam pertempuran itu, puluhan pasukan gugur, sehingga Alie pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Akhir 1945, dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat itu, Abu Ghozali sebagai komandan resimen Hizbullah Bekasi (badan pejuangan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia/Masyumi) menunjuk Noer Alie sebagai komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.

Peranan Noer Alie dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan makin terlihat. Seusai berakhirnya Agresi Militer Belanda I, Juli 1947, Noer Alie menemui Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. Setelah pertemuan di Yogyakarta, Noer Alie kembali ke Jawa Barat lalu mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.

Perjuangan melawan Belanda kemudian berlanjut di Rawagede. Saat itu, Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawagede untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil terbuat dari kertas. Ribuan bendera tersebut ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan untuk membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.

Tentara Belanda (NICA) yang sebelumnya berpikir bahwa tentara RI sudah tidak ada, menjadi murka saat melihat bendera-bendera itu. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komando Mayor Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Belanda berusaha memburu pasukan Lukas namun gagal. Di tengah kefrustrasian,

Belanda mengumpulkan sekitar 400 orang rakyat Rawagede lalu membunuh mereka semua. Tragedi yang terjadi di Karawang, 9 Desember 1947 ini mendapat kecaman dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkesimpulan aksi militer di Rawagede disengaja, tanpa belas kasihan dan diyakini sebagai tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949. Pembantaian keji ini baru diakui dunia pada 14 September 2011 melalui putusan Pengadilan Den Haag yang mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat. Kerajaan Belanda diharuskan membayar kerugian bagi sekitar 400 keluarga korban yang dibantai dalam peristiwa berdarah tersebut.

Peristiwa pembantaian di Rawagede membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang bergabung dengan MPHS. Sekitar 600 orang pasukan MPHS bergerilya antara Karawang dan Bekasi, menyerang pos-pos Belanda. Saat perang gerilya itulah, Noer Alie digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ia juga dijuluki Si Belut Putih karena konon ia selalu bisa lolos/menghilang ketika ditangkap belanda. Nama Noer Alie juga kian dikenal di kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.

Pada 10 Januari 1948, Noer Alie dipercaya menjabat sebagai Koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Tidak lama kemudian, tepatnya 17 Januari 1948, berlangsung Perjanjian Renville yang mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari Kompi Syukur. Saat beristirahat di Cipayung, di tengah perjalanannya ke Banten, ia sempat ditangkap tentara Belanda, namun berhasil meloloskan diri. MPHS kemudian diresmikan menjadi satu batalyon TNI di Pandeglang, Banten. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Alie pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem Royen.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu pun berbuah manis dengan diakuinya kedaulatan RI dalam Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Di tahun yang sama, ia diminta membantu Muhammad Natsir sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam Konferensi Indonesia-Belanda. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS dibubarkan. Selanjutnya, KH Noer Alie diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara, kemudian Ketua Masyumi Bekasi.

“Mengenang KH Noer Alie adalah mengenang pejuang sepanjang hayat, di bidang manapun diperlukan bangsa dan umat. Nama beliau mesti tercatat di ‘tugu syuhada’ Indonesia sebagai ulama teladan yang selalu bersama rakyat dan umat.” – Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution.

Pada Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman-teman dan anak buahnya membentuk Panitia Amanat Rakyat. Panitia Amanat Rakyat kemudian menghimpun sekitar 25.000 rakyat Bekasi dan Cikarang di Alun-Alun Bekasi pada 17 Januari 1950. Mereka mendeklarasikan resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh Perdana Menteri Muhammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.

Masih di tahun yang sama, KH Noer Alie mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa. Pada 1953, KH Noer Alie membentuk organisasi pendidikan dengan nama Pembangunan Pemeliharaan Pertolongan Islam (P3) yang dijadikan induk bagi SRI, pesantren dan kegiatan sosial.

Pada Pemilu I tahun 1955, Masyumi Bekasi berhasil memperoleh suara terbanyak. Dengan perolehan itu, pada Desember 1956, KH Noer Alie ditunjuk oleh Pengurus Masyumi Pusat sebagai salah seorang anggota Dewan Konstituante. Pada saat terjadi pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965, bersama rekan-rekan seperjuangan di organisasi Islam, KH Noer Alie turut berperan menumpas gerakan tersebut terutama di wilayah Bekasi dan sekitar Jakarta.

KH Noer Alie berpulang ke Rahmatullah pada 29 Januari 1992 di Bekasi dan dimakamkan di Masjid Ghairu Jami’Albaqiyatussalihat, Bekasi. Ia meninggalkan dua isteri dan sepuluh anak. Dari isteri bernama Siti Rohmah binti Mughni, lahir 12 anak namun hanya sembilan yang bertahan hidup. Sedangkan dari isteri bernama Rohmani, lahir 2 anak namun hanya satu yang bertahan hidup.

Pengakuan KH Noer Ali sebagai sebagai pahlawan nasional rupanya melewati jalan yang panjang. Sejak tahun 1994, nama KH Noer Alie mulai diajukan untuk menjadi pahlawan. Tahun demi tahun, namanya terus diajukan namun belum juga berhasil. Presiden Soeharto saat itu hanya memberikan penghargaan Bintang Nararya, sebuah tanda kehormatan tertinggi untuk menghargai pihak yang secara luar biasa menjaga keutuhan Indonesia. Penghargaan ini levelnya masih satu tingkat di bawah pahlawan nasional. Hingga akhirnya, pada 2006, KH Noer Alie berhasil mendapatkan predikat sebagai pahlawan nasional sekaligus penghargaan Bintang Mahaputra Adipadana berdasarkan SK Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006, tanggal 3 November 2006.

Namanya pun diabadikan dalam sejumlah proyek infrastruktur di Kota Bekasi, seperti Jalan Raya KH Noer Alie Kalimalang, Jembatan Layang Summarecon KH Noer Alie, Auditorium KH Noer Alie di Kantor Pemkab Bekasi, dan nama gedung Islamic Center KH Noer Alie. Patriotisme dan keberanian Kyai Noer Alie dalam membela bangsa dan Negara bersama rakyat juga telah menginspirasi Chairil Anwar untuk menulis puisi berjudul Karawang Bekasi yang sangat terkenal. Bio TokohIndonesia.com | cid, red (berbagai sumber)

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Adam Dimyati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler