x

cover buku Kisah Hidup Queeny Chang

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 17 Juni 2021 21:16 WIB

Kisah Hidup Queeny Chang

Paparan Queeny Chang, anak Tjong A Fie, tentang kehidupan keluarga Tionghoa di Medan. Queeny Chang menulis buku ini di Berastagi saat usianya sudah 83 tahun. Queeny berkisah tentang ibunya dan kehidupannya dari masa kecil sampai masa tuanya. Queeny Chang menyebut ibunya sebagai seorang gadis yang keras kepala tetapi rajin belajar. Queeny menganggap ibunya sangat pantas mendampingi sang suami yang menjadi tokoh Tionghoa dan mempunyai pergaulan luas dengan Sultan dan Belanda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Queeny Chang – Anak Tjong A Fie

Penulis: Queeny Chang

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama        

Tebal: xvi + 259

ISBN: 978-602-03-3442-4

 

Saya pernah menulis tentang Tjong A Fie berdasarkan kunjungan saya ke istana yang terletak di jalan Jenderal Ahmad Yani No.105, Kesawan Medan. Tulisan saya tersebut terbit di Majalah Jade edisi 3 Bulan Juni 2013 halaman 73-77. Saya merangkai penjelasan-penjelasan yang ada di setiap ruangan atau benda peninggalan Tjong Afie menjadi tulisan yang seakan-akan Tjong A Fie yang berkisah sendiri. Saya baru menyadari bahwa penjelasan-penjelasan di setiap ruang dan benda yang menjadi sumber tulisan saya itu bersumber dari buku karya Queeny Chang yang sedang saya baca ini. Queeny Chang adalah anak perempuan kesayangan Tjong A Fie. Saya harus berterima kasih kepada Didi Kwartanada yang telah memberikan buku bagus ini kepadaku.

Tjong A Fie, bersama dengan sang kakak Tjong Yong Hian yang lebih dulu datang ke Medan, adalah perantau dari Tiongkok yang berjasa membangun Kota Medan menjadi kota modern. Kedua kakak adik ini membangun bisnis perkebunan dan memodernkan kota dengan membangun jalur kereta api dari Belawan ke Deli Tua dan mendirikan bank yang melayani perdagangan internasional yang sangat ramai. Tjong A Fie mengambil alih kepeimpinan orang Tionghoa dan bisnis keluarga saat Tjong Hong Hian meninggal dunia secara mendadak.

Tjong A Fie juga dikenal sebagai seorang yang dermawan. Sahabat Akrab Sultan Deli ini banyak menyumbang sekolah dan rumah ibadat. Ia membiayai pembangunan masjid, pura, gereja dan kelenteng. Bahkan patungnya tersimpan di salah satu kelenteng di Kota Penang karena jasanya membantu kelengteng tersebut. Tjong A Fie bersama dengan beberapa orang Tionghoa yang sukses di Medan juga mendirikan rumah sakit untuk melayani siapa saja yang membutuhkan dukungan medis moden.

Queeny Chang menulis buku ini di Berastagi saat usianya sudah 83 tahun. Queeny Chang adalah anak Tjong A Fie dari istri ketiga. Saat Tjong A Fie datang ke Deli Tua (Medan) pada tahun 1880, ia sudah menikah. Ia meninggalkan istrinya di desanya di Tiongkok sana. Setelah sukses berbisnis Tjong A Fie menikah dengan anak seorang gadis bermarga Chew dari Penang (hal. 17). Dari pernikahannya dengan gadis Penang ini Tjong A Fie memiliki 2 putra dan 1 putri. Namun sayang, istri Tjong A Fie meninggal muda. Tjong A Fie mencari istri supaya bisa mengurusi 3 anaknya yang masih muda. Ia menikahi anak perempuan marga Lim dari Binjai. Lim Koei Yap adalah ibu dari Queeny Chang alias Tjong Foek Yin.

Queeny Chang berkisah tentang ibunya dan kehidupannya dari masa kecil sampai masa tuanya. Queeny Chang menyebut ibunya sebagai seorang gadis yang keras kepala tetapi rajin belajar. Queeny sangat bangga akan ibunya. Ia menganggap ibunya sangat pantas mendampingi suaminya yang menjadi tokoh Tionghoa dan mempunyai pergaulan yang luas dengan Sultan dan Belanda. Queeny menggambarkan pernikahannya cukup bahagia. Ia dijodohkan dengan seorang jejaka dari Amoi bermarga Lim. Namanya Lim Chong Tee. Sebagai seorang gadis yang masih sangat muda (saat menikah Queeny berumur 16 tahun) dan dilahirkan di negeri selatan, Queeny menghadapi perbenturan budaya saat harus masuk ke keluarga suaminya di Amoi (hal. 129). Untunglah ia dicintai oleh ibu mertuanya. Nasip membawa pasangan Lim Chong Tee dengan Tjong Foek Yin kembali ke Medan. Chong Tee berupaya membangun bisnis di Medan tetapi tidak cukup berhasil. Akhirnya mereka memilih untuk menikmati hidup saja.

Selain mengupas kehidupannya, tulisan Queeny Chang ini memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan orang Tionghoa di Medan dan di Penang. Queeny menunjukkan betapa orang-orang perantauan ini bekerja keras dari saat muda untuk menjadi berhasil. Keberhasilan para perantau ini diwujudkan dengan membangun istana semewah mungkin. Dalam buku ini Queeny mengambarkan beberapa rumah para perantau sukses yang ada di Penang, rumah pamannya dan tentu saja rumah Tjong A Fie. Queeny memberikan deskripsi sangat rinci tentang keindahan rumah-rumah tersebut dan perabot yang ada di dalamnya.

Melalui buku ini saya mendapatkan gambaran betapa eratnya hubungan Meda-Penang-Singapure-Hongkong-Tiongkok di akhir abad 19 dan awal abad 20. Queeny mengisahkan beberapa perjalanan dari keluarganya ke kota-kota tersebut. Kunjungan mamanya ke desa asal Tjong A Fie, kedatangan dan kepulangan Memeh (istri pertama Tjong A Fie) dari Swatow - Tiongkok (hal. 32), perjalanan ke Penang (hal. 65) untuk mengunjungi para sahabat Tjong A Fie, perjalanan Queeny ke rumah suaminya di Tiongkok (hal. 129) adalah beberapa perjalanan antarkota antarnegara yang menunjukkan betapa lancarnya hubungan antar kota-kota tersebut.

Meski masih memegang erat budaya Tiongkok, keluarga Tjong A Fie memilih pendidikan barat bagi anak-anaknya. Queeny belajar di sekolah Belanda. Ia juga mempunyai guru privat bahasa Inggris. Queeny belajar bermain piano. Ia berkawan dengan anak-anak Belanda. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga Tjong A Fie sangat akrab dengan budaya barat.

Queeny juga mencatat tentang masuknya dunia kedokteran modern di kalangan orang Tiongha kaya. Pada umumnya mereka menerima pengobatan barat. Namun dalam berbagai kasus, seringkali mereka masih mempercayai pengobatan tradisional Tiongkok dan bahkan percaya kepada dukun. Proses pengobatan adik Queeny yang sakit-sakitan (hal. 33), kecelakaan yang menimpa adik Queeny (hal. 176), pengobatan suami Queeny yang terkena serangan jantung dan operasi usus buntu adalah contoh persinggungan keluarga Queeny Chang dengan kedokteran modern.

Buku karya Queeny Chang ini sangatlah penting artinya bagi sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Khsususnya tentang Tionghoa yang tinggal di Medan. Selain memperkenalkan bagaimana kehidupan keluarga perantau Tionghoa yang sukses, Queeny juga memberikan gambaran hubungan orang-orang Tionghoa perantau di Medan, Penang, Singapura dengan tanah leluhurnya di Tiongkok. 600

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler