Vlog Dzawin Nur di Desa Penglipuran, Layaknya Free-diving: Review Kritis

Senin, 21 Juni 2021 15:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Review kritis atas vlog Dzawin Nur di Desa Penglipuran. Travel vlog yang dipublikasikan oleh seorang stand-up comedian Indonesia ini jauh lebih mendalam dibandingkan dengan travel vlog serupa, namun juga memiliki beberapa kekurangan.

Di era digital dengan segala kemudahan dan beragamnya pilihan, media untuk mempromosikan tempat wisata tidak lagi terbatas. Memikat wisatawan untuk berkunjung tidak lagi hanya seputar iklan di media massa atau media-media konvensional lain. Kini telah ada beragam pilihan yang dikemas dalam wujud digital yang kemudian berimplikasi pada mudahnya akses bagi wisatawan untuk memeroleh informasi mengenai tempat wisata yang akan dikunjunginya. Salah satunya media tersebut adalah vlog.

Vlog dapat dikreasikan sesuka hati serta merepresentasikan identitas vlogger yang membuatnya berbeda dan mencolok dari vlogger lain yang serupa. Vlog pun tidak hanya dikhususkan bagi seorang individu atau kelompok yang sudah memiliki latar belakang pendidikan perfilman atau sudah lama jam terbangnya sebagai seorang vlogger. Kini siapapun bisa dan boleh menjadi bagian dari kreativitas vlogger.

Salah satu kanal Youtube yang banyak menelurkan travel vlog yang berkualitas adalah Dzawin Nur. Seorang stand-up comedian kondang di Indonesia ini seringkali berkelana ke banyak tempat di Nusantara untuk mengulik fakta sekaligus menemani pemirsa untuk menikmati keindahan tempat wisata. Dalam daftar putar di kanal Youtube-nya, ia telah mengunjungi banyak destinasi di Pulau Jawa dan setidaknya 3 pulau di luar Pulau Jawa, di antaranya Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Travel vlog yang Dzawin produksi didominasi oleh video yang memperlihatkan kultur budaya tempat yang ia kunjungi. Tak jarang juga ia melakukan wawancara kepada orang-orang yang terlibat langsung dalam kebudayaan setempat.

Pada akhir tahun 2020 lalu, Dzawin mengunjungi Pulau Dewata Bali. Ia melakukan liputan mendalam di dua dari tiga desa adat di Bali, yakni Desa Trunyan dan Desa Penglipuran. Ia juga mengunjungi kapal karam milik Amerika di Tulamben dan menelusuri ritual menyucikan diri di Bali yang bernama Melukat selama berwisata di Bali.

Kali ini saya akan mengulas vlog dari Dzawin episode Desa Penglipuran. Vlog yang diunggah pada tanggal 7 Desember tahun lalu ini telah memeroleh lebih dari 690 ribu kali tayangan dan kemungkinan besar akan terus bertambah. Secara garis besar, alur vlog yang dibuat oleh Dzawin tak berbeda dari mayoritas vlog yang bisa kita temukan di situs berbagi video, Youtube. Videografi yang menampilkan pemandangan kota Denpasar saat berkendara dengan mobil hingga akhirnya sampai di destinasi wisata menjadi suguhan bagi para penikmat vlog-nya. Lalu penonton akan diajak berkeliling ke sekitar tempat wisata.

Tak luput pula penjelasan dari sang vlogger mengenai tempat wisata yang sedang ia kunjungi. Namun berbeda dari kebanyakan vlogger yang sekadar mengajak penontonnya untuk segera cus ke tujuan atau meminta pemirsa untuk terus stay tune, Dzawin memberikan banyak informasi berharga yang mungkin belum pernah diketahui oleh penonton sebelum mereka menonton vlog-nya.

Apabila dibandingkan dengan vlog serupa yang mengambil latar Desa Penglipuran, seperti kanal milik Krisna Adhy dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, vlog milik kanal Dzawin Nur jauh lebih mendalam. Ia tidak hanya menjelajahi tempat wisata dari permukaan semata, tapi juga menyelami sejarah dan konteks sosial-budaya. Sebelum tiba di Desa Penglipuran, Dzawin terlebih dulu mencari informasi yang ia dapatkan dari banyak sumber dan kemudian ia konfirmasikan kepada warga asli Penglipuran.

Di Desa Penglipuran Dzawin bergegas menuju Karang Memadu, bagian dari desa yang memang sangat ingin ia kunjungi. Ia melakukan verifikasi atas informasi yang telah ia dapatkan sebelum datang ke Penglipuran pada Yudha, penduduk asli Desa Penglipuran. Karang Memadu adalah tempat pengasingan bagi seseorang yang melakukan poligami. Letaknya yang berada di sudut desa dan adanya ancaman sanksi sosial menjadi penyebab tidak adanya penduduk Penglipuran yang berani melakukan poligami hingga kini.

Ajaran Hindu sangat memuliakan istri dan ibu sehingga melaksanakan poligami dapat disamakan dengan perbuatan yang hina. Selain itu, posisi Karang Memadu yang jauh dari perkampungan utama membuatnya cukup angker, sebelum akhirnya renovasi banyak dilakukan dan Karang Memadu menjadi lebih indah. Dikelilingi oleh hutan bambu, Karang Memadu banyak dipoles sehingga lebih menyerupai destinasi wisata, lengkap dengan spot foto, warung, dan tempat bercengkerama yang nyaman.

Apabila kita menelusuri gambar Desa Penglipuran di mesin pencari, maka sebagian besar hasil foto yang ditampilkan adalah jalan lurus dengan rumah-rumah di kiri-kanan jalan tersebut. Dapat kita lihat bahwa setiap bagian depan dari rumah di Penglipuran memiliki bentuk yang sama. Dzawin yang berkeliling dengan Jebret dan Yudha pun menggarisbawahi fenomena ini. Kesamaan bagian pagar depan atau yang disebut sebagai angkul-angkul ini juga terjadi pada bagian rumah lainnya. Rumah di Penglipuran terdiri dari unsur yang sama, dengan atapnya yang berasal dari bambu, begitu juga dengan dinding rumah dan gerbang. Peletakan bagian rumah pun sama dan modifikasi baru boleh dilakukan pada bagian belakangnya.

Terkait dengan tata ruang, Dzawin sempat menyebutkan konsep Tri Mandala sebagai asas yang dipakai dalam melakukan pembagian desa dan hunian. Menurut studi yang dilakukan oleh Priyoga dan Sudarwani yang diterbitkan dalam jurnal bertajuk “Kajian Pola Ruang dan Rumah Adat Desa Penglipuran Bali” disebutkan bahwa tata ruang di Penglipuran dibagi menurut konsep Tri Mandala. Sama seperti yang disebutkan oleh Dzawin, Tri Mandala terbagi atas Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Ketiganya berasal dari filosofi Tri Hita Karana. Bagian Utama Mandala dalam rumah dan desa dikhususkan sebagai bagian paling suci dan digunakan untuk sembahyang. Utama Mandala bisa diidentifikasi melalui pura di bagian utama. Kemudian Madya Mandala digunakan sebagai tempat warga beraktivitas sehari-hari, seperti pekarangan rumah dan wilayah desa utama. Terakhir, Nista Mandala sebagai tempat yang memiliki nilai terendah dari dua bagian lainnya digunakan sebagai wilayah untuk makam dan tempat ‘kotor’ dalam bagian rumah, seperti kamar mandi, tempat menjemur pakaian, dan peternakan hewan.

Pengembangan wisata dan kelestarian budaya cukup seimbang jika dilihat dari satu vlog milik Dzawin saja. Namun jika ditilik lebih jauh, pengembangan wisata di Penglipuran ini cukup menuai polemik. Menurut jurnal berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah” yang ditulis oleh Andriyani, Martono, dan Muhamad, generasi muda dan tua memiliki perbedaan pendapat dalam hal pengembangan wisata ini. Anak muda Penglipuran ingin melakukan modifikasi dan modernisasi atas beberapa situs, salah satunya rumah, dengan tujuan agar desa menjadi lebih molek dan dapat menarik lebih banyak pengunjung. Di sisi lain, masyarakat yang sudah lebih lama tinggal menginginkan agar orisinalitas yang ada di dalam Penglipuran tetap dipertahankan sebagaimana aslinya.

Sebenarnya Desa Penglipuran telah mengalami transformasi di sana-sini. Selain Karang Memadu yang menjadi lebih ‘ramah’ dan tidak lagi seseram tempat pengasingan yang awalnya peruntukkannya seperti itu, setiap rumah di Penglipuran sudah terpapar modernisasi dengan melakukan sistem penomoran modern. Rumah yang berada di sisi timur jalan akan mendapatkan nomor ganjil, sementara rumah di bagian barat memperoleh nomor genap. Namun dalam vlog-nya, Dzawin tidak menyebutkan hal ini. Ia lebih banyak menyoroti dan mengupas beragam keunikan Penglipuran dari segi arsitektur dan kebudayaan.

Dzawin memang mengulas banyak hal menarik dari Desa Penglipuran yang hampir tidak bisa ditemukan di vlog lain yang mengambil tempat serupa. Namun hal yang luput dari vlog Dzawin adalah absennya perhatian pada konservasi Desa Penglipuran sebagai desa adat dan desa wisata. Aturan yang ditetapkan sebagai langkah untuk menjaga kelestarian Desa Penglipuran tak dibahas dalam vlog tersebut.

Memang perlu diakui bahwa kualitas vlog Dzawin memang lebih baik, tak hanya dari sisi videografi, tapi juga kedalaman informasi yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata serta bagaimana pelestarian akan tempat wisata tersebut dilakukan. Jika laut diibaratkan sebagai kedalaman ulasan akan tempat wisata yang dikunjungi, vlog Dzawin laksana freediving. Freediving atau selam bebas merupakan salah satu olahraga air yang ekstrem karena penyelamnya menuju ke kedalaman tanpa menggunakan bantuan alat pernapasan.

Vlog milik Dzawin menyelami Desa Penglipuran secara mendalam, tapi di saat-saat tertentu ia kembali ke permukaan dan tidak mampu mencapai kedalaman informasi. Keterbatasan perhatiannya akan beberapa bidang menjadikannya sering naik ke permukaan. Namun bila ia memaksakan diri untuk memasukkan semua informasi yang ingin ia peroleh ke dalam satu episode vlog, napasnya akan tersendat-sendat. Ini jauh lebih ‘mending’ karena vlog lain yang serupa bisa dibilang seperti melakukan snorkeling atau bahkan hanya melihat permukaan laut dari atas kapal.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Noor Annisa Falachul Firdausi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler