x

Dasi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 26 Juni 2021 15:56 WIB

Esensi Lockdown bagi Rakyat, Mendidik!

Lockdown dan PPKM mikro jelas berbeda esensinya.  Sebab, lockdown akan mampu memaksa rakyat yang tak cerdas otak dan emosi, patuh kepada protokol kesehatan, karena ada tindakan paksa yang dijaga dan diatur ketat. Dan, itulah yang memang wajib dilakukan oleh pemerintah kepada rakyat agar patuh. Lockdown itu=mendidik rakyat tertib, disipiln, patuh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Menolong diri sendiri, maka menolong orang lain. (Supartono JW.25062021).

Rekor, luar biasa Indonesia, Penambahan kasus baru Covid-19 pada Kamis (24/6/2021) sebanyak 20.574 orang.

Masalah dan sebabnya ada di mana, sih?
Di pemerintah atau rakyatnya yang abai dan tak peduli? Tapi faktanya, pendidikan Indonesia terus terpuruk, jelas signifikan dengan kondisi sumber daya manusianya (SDM) yang masih jauh dari harapan cerdas intelegensi (otak) dan personaliti (emosi).

Sementara yang cerdas otak dan emosi, dan diberikan amanah sepertinya justru memaksimalkan kecerdasan otak dan emosinya (licik) demi kepentingan sendiri. Menolong dirinya sendiri, keluarganya, koleganya, dinastinya, oligarkinya, hanya melempar tanggungjawab dan kesalahan kepada orang lain, pihak lain.

Cerdas otak dan emosi

Dalam kasus corona, sejatinya kata kuncinya sederhana. Tolonglah dirimu sendiri, maka menolong orang lain. Artinya, bila setiap dari kita, seluruh rakyat Indonesia, mulai dari rakyat jelata hingga pemimpin bangsa, disiplin terhadap protokol kesehatan (prokes) Covid-19, itu adalah pencegahan dan pengendalian pandemi corona ter-terbenar dan ter-terbaik. Tak perlu ribut-ribut lagi masalah lockdown, PSBB, hingga PPKM.

Sayang, cara ter-terbenar dan ter-terbaik pencegahan dan pengendalian serta penanganan Covid-19 dengan prokes, justru tak tertib, tak disiplin, dan tak dipatuhi oleh masyarakat, karena pemerintah pusat sendiri juga plintat-plintut menjalankan aturan dan kebijakan. Mencla-mencle. Kepentingan terus yang dipikirkan. Pemerintah daerah dan rakyat yang jadi korban.

Mengapa masyarakat tak patuh? Rakyat yang terus diserang corona antara fakta dan rekayasa, rakyat yang terus dikenai tindakan kebijakan dan peraturan yang lebih banyak semena-mena, rakyat yang terus ditekan ketidakadilan, rakyat yang terbiasa menderita, terus menjadi segala obyek kepentingan. Hanya diambil suaranya, melawan ditindas dan dihukum,  dan terus dipersalahkan saat kasus corona meningkat. Nyatanya, tetap bernama rakyat, tak bisa berbuat apa-apa.

Rakyat yang menderita, mustahil menolong orang lain, agar tak ikut menderita, karena buat dirinya sendiri saja susah. Tapi, mereka yang berkepentingan, bergelimang harta, tahta, malah hanya sibuk memikirkan diri mereka, memupuk kekayaan dan berupaya mempertahankan, melanggengkan kekuasaan, dengan program dan kebijakan rekayasa dan korupsi. Bagaimana mereka menolong rakyat? Mereka juga sedang terjerumus sendiri.

Inilah sebenarnya problem Indonesia yang tidak sekadar berharap rakyat patuh prokes. Banyak hal yang melatar belakangi mengapa rakyat tak patuh, hingga tak sadar dan lupa menolong dirinya sendiri yang berakibat tak menolong orang lain.

Banyak rakyat yang positif Covid-19 malah merahasiakan, malu, menganggap aib, tetap beraktivitas normal, berbaur dengan masyarakat lain, saat masyarakat lain tak tahu ternyata sedang atau sudah kontak dengan orang yang positif corona. Bahkan, orang yang positif pun tak tahu dirinya positif karena tak melakukan test, meski dari gejalanya adalah tanda corona. Apalagi masyarakat yang positif, tapi tanpa gejala.

Menolong diri sendiri, maka menolong orang lain sangat tepat dianalogikan untuk kasus Covid-19 di Indonesia yang kini terus mengembang, melebihi berbagai bidang kehidupan masyarakat yang justru bertambah terpuruk, terutama  bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.

Bila masing-masing dari setiap individu masyarakat cerdas intelegensi dan personaliti (emosi), maka tentu akan mampu cerdas berpikir dan bijak bertindak menolong dirinya sendiri agar tidak terpapar virus corona, dengan selalu disiplin menjaga protokol kesehatan dengan selalu mengenakan masker, jaga jarak, dan tudak beraktivitas yang merugikan diri sendiri maupun keluarga dan orang lain.

Kesadaran masyarakat Indonesia memang signifikan dengan kondisi pencapaian pendidikan yang terus terpuruk. Sebab itulah, SDM Indonesia masih banyak sekali yang tak cerdas otak dan emosi.

Akibatnya, dalam menghadapi berbagai masalah, tentu akan mengalami kesulitan dan kendala, karena SDM yang demikian, akan sulit untuk diajak komunikasi dan bekerjasama. Di sisi lain, SDM yang diharapkan mampu memimpin bangsa ini, amanah untuk rakyat, juga terus sibuk dengan kepentingan politik, dinasti politik,  oligarki, membalas dan tanggungjawab kontrak kepada cukong yang telah memodali partai dan elitenya, hingga yang terus ada dalam hati dan pikirannya adalah kepentingan dan kepentingan, melupakan rakyat.

Sebab itulah, rakyat yang sudah cerdas intelegensi dan emosi pun berbaur dengan masyarakat lain, sama-sama mengabaikan pemerintah, tak peduli, dan tak berempati-simpati, karena yang diharapkan memimpin negeri dan amanah memang tak layak diteledani.

Lockdown, mendidik, lho?

Atas semua hal tersebut, maka tak heran bila sejak sebelum corona datang ke Indonesia, sampai corona menjangkiti rakyat Indonesia, para pemimpin negeri ini bak kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja kepada kehendak orang yang telah memodali (cukong) tanpa membantah karena bodoh atau karena tidak berdaya melawan. Karena juga sudah ada yang digadaikan.

Meski akibatnya fatal, Indonesia akhirnya menciptakan rekor penambahan kasus baru Covid-19 pada Kamis (24/6/2021) sebanyak 20.574 orang. Sebelum rekor ini tercipta, Presiden Republik Indonesia malah meminta berbagai pihak jangan mempertentangkan masalah lockdown dan PPKM mikro, karena katanya esensinya sama.

Lockdown dan PPKM mikro jelas berbeda esensinya.  Sebab, lockdown akan mampu memaksa rakyat yang tak cerdas otak dan emosi, patuh kepada protokol kesehatan, karena ada tindakan paksa yang dijaga dan diatur ketat. Dan, itulah yang memang wajib dilakukan oleh pemerintah kepada rakyat agar patuh. Lockdown itu=mendidik rakyat tertib, disipiln, patuh.

Tapi, ada tanggungjawab pemerintah dari lockdown. Nah, bagaimana?

Berbeda dengan PSBB dan PPKM, rakyat akan terus diberikan ruang dan mencari ruang tak patuh prokes. Faktanya, dengan PSBB maupun PPKM, kasus corona di Indonesia terus ada, naik turun, tak terkendali, hingga akhirnya mencipta rekor.

Mengapa Presiden tak mau lockdown? Berbagai pihak dan  rakyat juga tahu alasannya. Mengapa kasus corona tercipta rekor? Berbagai pihak dan rakyat juga tahu sebabnya. Sepertinya, kepentingan-kepentingan lah yang hingga kini berhasil mengendalikan pemimpin negeri ini tak mengambil kebijakan lockdown. Lalu, terus berputar-putar di pusaran PSBB atau PPKM yang istilahnya  juga dicipta mereka. Apa benar-benar demi ekonomi rakyat? Atau ekonomi siapa?

Rasanya susah, menyadarkan kesadaran yang sudah terbelenggu karena dalam kondisi terjerumus.

Sebagai rakyat jelata, tak ada lagi waktu mengeluh dan mengeluh, karena virus corona tak tidur. Sementara yang diharapkan dapat menolong juga sibuk menolong dirinya.

Yang benar dan baiknya, diri kita masing-masing memaksimalkan kecerdasan otak dan emosi diri kita sendiri. Lalu dapat menolong diri sendiri terhindar dari corona dengan ketat dan disiplin prokes, maka dengan demikian, saya dan diri kita masing-masing telah menolong orang lain. Keluarga, saudara, dan masyarakat. Mari kita lockdown diri kita sendiri. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu