Cerpen | Perjanjian

Selasa, 29 Juni 2021 06:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat putus asa, manusia bisa nekat berbuat apa saja. Termasuk membuat perjanjian dengan Iblis.

"Bisakah kamu membayangkan seseorang yang mengetahui bahwa dia sedang menjalani tahun terakhir dalam hidupnya?"

Penanya sedang duduk di kursi roda di seberangku–seorang pria antara akhir empat puluhan hingga awal lima puluhan, berdada bidang, pakaiannya kasual, rambut hitam dengan garis-garis kelabu, mata cokelat gelap dan dagu dicukur bersih.

"Tahu persis sampai ke tanggal, jam menit, detik," lanjutnya, "dan apa yang menjadi penyebab kematiannya?"

Dia menatapku penuh tanya, senyum misterius di wajahnya yang pucat dan tampan.

"Aku yakin kamu tidak mengacu pada dirimu sendiri," balasku tersenyum.

Dia menyeringai lebar dan terkekeh, "Yah, sedikit sarkasme tidak akan merusak pembicaraan kita." Dia menekan salah satu tombol di lengan kursi rodanya dan mendekat. “Apakah kamu benar-benar yakin menginginkannya?”

Aku diam.

Kini dia menatapku tajam tanpa berkedip. "Sekali lagi, Apakah kamu tetap dengan keputusanmu?"

“Dengar,” kataku, “selama apa yang dikatakan iklan itu benar, aku dengan senang hati menjalaninya.”

“Yah, jika kamu bersikeras, aku harus memperingatkanmu. Setelah harga disepakati, tidak ada cara untuk kembali–kamu harus menerima hasilnya, apa pun yang terjadi. Tunggu sebentar!" Dia memberi isyarat padaku untuk tetap diam.

“Ada satu hal yang harus kamu ingat. Tanggal kedaluwarsa produk–harus kami sampaikan—tergantung pada lama hidup yang telah direncanakan untukmu.”

Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Meskipun tidak ada yang tahu kapan tepatnya, mungkin saja menjadi lebih singkat–lima puluh lima adalah usia yang cukup ….”

Senyap beberapa detik.

Akhirnya dia menghela nafas, “Sepertinya itu saja. Jadi .…"

Aku mengepalkan tangan, menarik napas dalam-dalam dan menjawab, "Sebutkan harganya!"

"Ini ..." dia membuat jeda singkat, "... satu tahun produk sebagai ganti setiap lima tahun yang direncanakan."

"Ya," kataku tak sabar, "laksanakan saja dan cepatlah!"

Dalam beberapa detik aku mulai merasakan produknya bekerja–tubuhku tidak lagi sakit, penglihatan sempurna. Aku merasakan kesemutan di kulit kepala saat rambut mulai tumbuh kembali. Aku merasa lebih muda, bugar dan gesit ....

Ekspresi puas di wajahnya saat melihat perubahanku, dia bertanya dengan lembut, "Ada pertanyaan?"

Aku ingat apa yang membuatku terkejut saat pertama kali melihatnya.“Mengapa kursi roda? Kamu tidak cacat.”

Pertanyaan itu sepertinya membuatnya geli. Dia berdiri. Tingginya lebih dari dua meter, dan, sambil terkekeh dia menjawab, “Yah, untuk menambah efek dramatis. Ada yang lain?"

“Ya, satu pertanyaan terakhir. Berapa tahun yang direncanakan untukku?”

Mendadak wajahnya berubah muram. Tersenyum sedih, dia menjawab, “Maaf. Hanya Tuhan yang tahu."

 

Bandung, 28 Juni 2021

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Anak-anak Malam Minggu

Sabtu, 2 September 2023 17:05 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler