x

cover buku Go Tik Swan Jawa Sejati

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 8 Juli 2021 06:32 WIB

Go Tik Swan: Tionghoa Sejati, Jawa Sejati, Indonesia Sejati

Judul buku ini, "Jawa Sejati", benar-benar menggambarkan sosok Go Tik Swan. Seorang yang berdarah Tionghoa tetapi hidup sebagai seorang Jawa tulen. Buku ini menggambarkan proses bagaimana Go Tik Swan menjadi Jawa secara runtut, mulai dari masa kecil sampai masa tuanya. Oleh penmulis buku ini, Go Tik Swan digambarkan sebagai 100% Tionghoa, 100% Indonesia dan 100 % Jawa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Jawa Sejati – Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro

Penulis: Rustopo

Tahun Terbit: 2008

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Yayasan Nabil

Tebal: xxiii + 352

ISBN: 978-979-3472-86-7

Saya sangat suka dengan judul buku ini, Jawa Sejati. Judul itu benar-benar menggambarkan sosok Go Tik Swan yang berdarah Tionghoa tetapi hidup sebagai seorang Jawa tulen. Rustopo - sang penulis biografi Go Tik Swan, menggambarkan proses bagaimana Panembahan Hardjonagoro menjadi Jawa secara runtut mulai dari masa kecil sampai dengan masa tuanya. Rutopo menjelaskan bahwa Go Tik Swan adalah 100% Tionghoa, 100% Indonesia dan 100 % Jawa.

Go Tik Swan adalah 100% Tionghoa. Selain dari namanya yang menyandang marga dan terdiri atas tiga suku kata, dalam buku ini bisa dibuktikan silsilah Go Tik Swan sebagai Tionghoa. Go Tik Swan adalah anak dari Go Dhiam Ik. Kakek Go Dhiam Ik adalah Go Kiem Liong, seorang Letnan Tionghoa di Boyolali pada jaman Belanda. Sedangkan dari garis ibu, kakek Go Tik Swan adalah seorang Cina totok. Tjan Khay Sing - kakek Go Tik Swan, baru datang ke Solo awal abad 20 (hal. 20). Ibunya adalah cucu dari Mayor Tionghoa di Surakarta bernama Tjan Sie Ing (hal. 24). Dari silsilah ini jelaslah bahwa Go Tik Swan memang 100% Tionghoa. Go Tik Swan besar bersama keluarga kakek dari ibunya dalam sebuah keluarga pengusaha batik yang sukses di Solo.

Go Tik Swan 100% Indonesia. Hal ini dibuktikan dari kedekatannya dengan Bung Karno dan karyanya dalam menciptakan Batik Indonesia. Keputusannya untuk memilih Fakultas Sastra daripada memilih Fakultas Ekonomi seperti yang diamanatkan oleh orangtuanya (hal. 69) adalah langkah awal Go Tik Swan mengenal Sukarno. Orangtuanya mengirimnya ke UI supaya ia belajar ekonomi. Dengan mendalami ilmu ekonomi diharapkan Go Tik Swan akan semakin piawai mengelola usaha batik orangtuanya. Namun kecintaannya pada seni tari, membuat Go Tik Swan membangkang. Tanpa memberi tahu keluarganya ia malah masuk Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jawa pada tahun 1953. Keaktifannya di Dewan Mahasiswa UI seksi kebudayaan membuatnya berkesempatan tampil menari di Istana Negara. Tarian Gambir Anom yang dibawakannya memikat hati Sukarno (hal. 65). Sejak itu Go Tik Swan menjadi “kawan akrab” Bung Karno. Ia dengan bebas bisa bertemu Sang Presiden kapan saja.

Sukarno yang tahu bahwa Go Tik Swan besar dalam keluarga pembatik, memintanya untuk membuat Batik Indonesia. Sukarno memintanya membuat batik Indonesia dalam sebuah santap malam. “Djo, kamu kan dari keluarga pengusaha batik. Mbok coba kamu buat untuk bangsa ini ‘Batik Indonesia.’ Bukan batik Solo, batik Yogya, batik Pekalongan, batik Cirebon, batil Lasem, dan lain-lainnya, tetapi ‘Batik Indonesia’!” Demikian Sukarno bertitah (hal. 74). Melalui perjalanan fisik dan jiwa, Go Tik Swan melaksanakan tugas yang diberikan oleh Sukarno. Ia mengunjungi berbagai sentra batik. Namun ia tidak mendapatkan ide seperti apa Batik Indonesia itu. Baru saat ia menyepi di Bali, gagasan tentang batik Indonesia itu seperti diwahyukan kepadanya. Ia memadukan batik gaya pedalaman (Solo dan Jogja) dengan batik pesisiran (Cirebon, Pekalongan dan Laesm). Batik pesisiran (Pekalongan) yang warna-warni tetapi klowongannya masih putih, dikombinasikan dengan gaya Solo/Jogja yang klowongannya telah diberi warna soga (hal. 91).

Hubungan Go Tik Swan dengan Sukarno terputus sama sekali sejak Orde Baru berkuasa. Go Tik Swan masih sempat mengunjungi Sukarno saat menjadi tahanan rumah di Istana Bogor (hal. 122). Sejak itu ia betul-betul kehilangan kontak dengan Sukarno dan keluarganya.

Ketia ia diajak oleh Orde Baru untuk mengembangkan kebudayaan, ia menolak dengan halus. Walaupun ia tidak pernah menjelaskan alasan yang sesungguhnya, tetapi ia merasa bahwa ia dibesarkan oleh Sukarno. Jadi menjadi kewajibannya untuk mikul dhuwur Bung Karno (hal. 124). Namun ia dengan senang hati mendukung Iwan Tirta untuk menjadi disainer batik keluarg Suharto (hal 126). Iwan Tirta adalah murid Go Tik Swan dalam hal batik.

Go Tik Swan adalah Jawa Sejati. Buku ini memang menonjolkan Go Tik Swan sebagai seorang Jawa sejati. Rustopo menjelaskan perjumpaan Go Tik Swan dengan Jawa dari sejak masa kanak-kanak sampai dengan saat masa tuanya. Perkenalan Go Tik Swan dengan Jawa dimulai dari rumah kakeknya. Tjan Khay Sing memiliki gamelan di rumahnya. Gamelan ini dipakai untuk merayakan ulang tahun Nyonya Tjan Khai Sing setiap tahun (hal. 22). Go Tik Swan kecil begitu akrab dengan gending-gending klenengan di rumah kakeknya ini. Go Tik Swan sangat menyukai wayang, tarian Jawa dan menabuh gamelan (hal. 48). Ia bahkan punya guru tari privat, yaitu Prabuwinata, Kodrat dan Wiradat (hal 49). Ia juga belajar menari dari Jagamataya. Kelak Go Tik Swan menjadi penggagas lahirnya beberapa tarian Jawa.

Perjumpaan kedua Go Tik Swan dengan Jawa adalah karena keluarga dari garis ayahnya yang berasal dari Boyolali selalu membuat upacara pengiriman kain mori beruluh-puluh meter untuk mengganti kain selubung makam Sunan  Bayat (hal. 28). Keluarga dari garis ayah ini percaya bahwa mereka adalah keturunan Sunan Bayat yang dimakamkan di Klaten. Go Tik Swan sangat yakin bahwa dia adalah keturunan dari Sunan Bayat. Itulah sebabnya ia sering melakukan tarakbrata (meditasi) di makam Sunan Bayat, ia menyimpan cincin berlambang “Jin Bun” yang hanya dimiliki oleh keturunan keluarga Kerajaan Demak Bintoro dan menyusun buku yang salah satunya memuat silsilah Boyolali (hal. 32). Go Tik Swan memilih Islam sebagai agama yang dianut, salah satunya adalah karena keyakinannya bahwa ia adalah keturunan Sunan Bayat.

Kecintaannya kepada Budaya Jawa ditunjukkan melalui pengabdiannya kepada budaya adi luhung ini. Ia aktif mengelola Musium Radya Pustaka. Musium Radya Pustaka adalah lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menyediakan sumber-sumber atau bahan-bahan untuk pembelajaran dan penelitian (hal 128). Musium ini mempunyai koleksi buku, dokumen dan benda-benda tentang Jawa yang luar biasa. Go Tik Swan pernah menjadi Ketua Musium Radya Pustaka (hal. 131).

Go Tik Swan sangat menyukai keris. Ia bukan saja mengoleksi keris, tetapi berupaya untuk menghidupkan kembali baselan (tempat pembuatan keris). Ia rajin menyelenggarakan sarasehan tentang keris melalui Bawarasa Tosan Aji (BTA) dan mendukung pihak-pihak yang mendirikan baselan (160). Bahkan ia membuat baselan di rumahnya yang diberi nama Baselan Surolayan (hal. 170). Melalui Baselan Surolayan lahirlah beberapa jenis keris baru yang disainnya disesuaikan dengan kebutuhan jaman.

Go Tik Swan adalah satu-satunya keturunan Tionghoa yang mendapatkan gelar Panembahan dari Kraton Kasunanan Surakarta. Gelar tertinggi ini dianugerahkan oleh Pakubuwono XIII kepada Go Tik Swan Hardjonagoro pada tanggal 8 September 2005 (hal. 228). Gelar Panembahan dianugerahkan kepada Go Tik Swan karena Pakubuwono XIII melihat pengabdian Go Tik Swan kepada Keraton Kasunanan Surakarta. Sejak muda, Go Tik Swan telah terlibat di banyak acara Keraton. Anugerah gelar dari Keraton diawali saat Go Tik Swan diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung oleh Pakubuwono XII pada tanggal 11 September 1972 (hal. 181). Pada tahun 1984 ia diangkat menjadi Bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung, tahun 1994 menjadi Kanjeng Raden Hariyo Tumenggung. Gelar Pangeran dianugerahkan berturut-turut dari Kanjeng Pangeran Tumenggung (tahun 1994) kemudian menjadi Kangjeng Pangeran Aryo pada tahun 1998  (hal. 183). Gelar Pangeran dianugerahkan kepada Go Tik Swan oleh Pakubuwono XII. Gelar tersebut diberikan karena keaktifan Go Tik Swan dalam mendukung kegiatan Keraton diantaranya dalam acara Jumenengan, Kirab Pusaka, Grebeg Mulud dan menjadi guide para tamu dari Pemerintah Pusat maupun manca negara (hal. 185).

Karya lain dari Go Tik Swan yang tak bisa diabaikan adalah getolnya beliau mengumpulkan patung-patung kuno. Kegilaannya untuk menyelamatkan patung-patung kuno ini bahkan sempat menjadi masalah dengan keluarganya. Sebab Go Tik Swan menghabiskan banyak waktu dan uang untuk berburu patung-patung tersebut. Koleksi patung kuno di kemudian hari dihibahkan kepada Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia (hal. 237).

Dari paparan Rustopo, berdasarkan apa yang dicatatnya saat mewawancarai Go Tik Swan dan dari berbagai sumber kita menjadi tahu bagaimana seorang yang 100% Tionghoa secara bersamaan bisa menjadi 100% Indonesia dan 100% Jawa. 607

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler