x

Iklan

Sujana Donandi Sinuraya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2019

Rabu, 7 Juli 2021 17:14 WIB

Kontrak dan Bahasa

Artikel ini menyajikan mengenai bahasa dalam kontrak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sujana Donandi S, Dosen Program Studi Hukum, Universitas Presiden

Kontrak merupakan ikatan antara dua orang atau lebih yang akibat keinginan mereka saling mengikatkan diri, kemudian muncullah hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Meskipun pada prinsipnya kontrak dapat dibuat secara lisan, demi meminimalisir resiko hukum di kemudian hari, maka kontrak sebagaiknya didokumentasikan secara tertulis. Dalam upaya mendokumentasikan kontrak dalam suatu dokumen tertulis. Maka dibutuhkan daya mengolah Bahasa yang tepat agar hal-hal yang disepakati oleh para pihak dapat dirumuskan secara benar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembuatan suatu kontrak dan bahasa yang digunakannya tentu sangat diepngaruhi oleh regulasi yang berasal dari negara darimana pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak berasal . Di Indonesia misalnya, sesuai ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Artinya, apabila salah satu atau seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian merupakan entitas yang berasal dari Indonesia, maka dokumen perjanjian wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia. Apabila ada pihak luar Indonesia yang terlibat dalam perjanjian, maka sesuai ketentuan Ayat (2) dalam Pasal 31, kontrak itu ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Penjelasan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa penyusunan suatu kontrak, patut memenuhi aspek formalitas dalam Bahasa. Adapun yang dimaksud aspek formalitas sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya berkaitan dengan kewajiban kontrak untuk memenuhi persyaratan hukum sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau beririsan dengan kontrak tersebut. Dalam konteks, ada pihak yang berasal dari Indonesia di dalamnya, maka undang-undang mensyaratkan adanya versi Bahasa Indonesia dari kontrak tersebut.

Permasalahan aspek formalitas hanya akan dapat terpenuhi sepanjang pembuatan kontrak dilakukan dengan mengikuti persyaratan regulasi yang ada. Sementara itu, ada aspek materiil dari kontrak yang tidak diatur secara rigid oleh peraturan perundang-undangan, sehingga para pihak bebas menyusunnya sesuai dengan kesepakatan para pihak. Dengan demikian, kontrak secara substansi, sepanjang tidak menyalahi aspek formalitas yang telah ditentukan, bebas untuk disusun, tentunya dengan memperhatikan pula bahwa substansi dari kontrak yang disusun itu tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Apabila melanggar, maka substansi kontrak tersebut menjadi batal demi hukum.

Lantas, bagaimana Bahasa yang baik dalam menyusun substansi kontrak? Sesungguhnya tidak ada standar baku dalam Bahasa substansi kontak mengingat regulasi tidak mengatur secara terbatas mengenai bagaimana substansi kontrak dirumuskan dalam Bahasa. Meskipun demikian, patut diingat bahwa perumusan kontrak dalam suatu dokumen memiliki tujuan penting bagi kepentingan para pihak, yaitu untuk memininalisir resiko hukum di masa depan. Resiko hukum itu sendiri bisa muncul atas adanya multiinterpretasi dalam kontrak, yang menyebabkan para pihak memiliki pandangan yang berbeda mengenai isi kontrak, maupun akibat kegagalan merumuskan apa yang sesungguhnya dimaksud oleh para pihak ke dalam Bahasa kontrak. Oleh karena itu, penyusunan suatu kontrak harus dilakukan secara seksama dan penuh kehati-hatian.

Guna mengantisipasi potensi masalah-masalah di masa depan sebagaimana dijelaskan dalam bagian sebelumnya, maka kontrak harus dibuat dengan jelas dan terukur. Kejelasan yang dimaksud berkaitan dengan makna, dimana dalam membuat kontrak, para pembaca hendaknya disajikan dengan rumusan Bahasa yang memudahkan mereka untuk memahami apa maksud dari ketentuan yang ditulis di dalam kontrak, Untuk itu, Bahasa yang rumit bukanlah sesuatu yang Penuli sarankan dalam menyusun kontrak. Semakin rumit dan padatnya diksi yang digunakan dalam tiap klausul kontrak tidak menjadi ukuran kualitas penyusunan suatu kontrak. Hal itu justru dapat menyebabkan para pihak menjadi bingung dalam menangkap isi kontrak. Gunakan Bahasa yang jelas dan tidak ‘mengambang’ ataupun ambigu. Hal ini tidak selalu berarti tiap klausul dalam kontrak harus selalu dibuat singkat karena bisa jadi perihal tersbut memang memiliki detail yang banyak. Dalam hal ini perancangan kontrak harus tetap mampu memasukkan semua detail yang disepakati, namun harus mampu menyajikannya secara jelas, ringkas, dan mudah dipahami.

Salah satu saran Penulis dalam menyusun kontrak dalam menghadapi detail yang cukup kompleks ialah dengan membagi detail tersebut ke dalam beberapa pasal. Dalam hal ini, diperlukan kejelian dalam membagi detail tersebut. Misalkan, dalam pembayaran, tentu aka nada banyak detail, mulai dari nilai pembayaran, mekanisme pembayaran, hingga sanksi. Meskipun semuanya merupakan bagian perihal pembayaran, agar tidak menyebabkan ketentuan mengenai ;pembayaran’ menjadi sesuatu yang rumit karena banyaknya ketentuan mengenai itu, maka dapat diatur per sub hal mengenai pembayaran dalam pasal-pasal tersendiri. Misalkan, soal harga menjadi satu pasal, kemudian perihal mekanisme pembayaran menjadi pasal tersendiri, begitu pula sanksi keterlambatan pembayaran disusun dalam pasal tersendiri. Menggabungkan begitu banyak perihal dalam satu pasal, selain membuat pembaca menjadi sulit mengerti, secara estetika, juga tidak indah dan cenderung membuat orang malas membacanya, karena terlalu padat.

Dalam tatanan nilai kontrak yang tidak terlalu besar, mungkin saja memang nilai resiko yang muncul tidak terlalu besar. Akan tetapi, dalam kontrak bernilai besar, kegagalan membahasakan kontrak secara benar bisa membawa kerugian besar. Oleh karena itu, perlu adanya seorang penyusun kontrak yang berkualitas agar bahasa dalam kontrak menjadi tepat dan minim resiko. Untuk itu, apabila seseorang menyusun sendiri kontrak bisnis yang dijalaninya, guna menghindari biaya jasa professional, maka ia harus memiliki cukup skill dan kemampuan dalam menyusun Bahasa kontrak yang baik dan benar. Bagi professional penyusun kontrak, maka perlu kemauan untuk terus belajar dan memperbaharui kemampuan Bahasa melalui training maupun pendidikan pendukung di bidang kebahasaan. Selain itu, melakukan kolaborasi juga dapat menjadi salah satu solusi. Misalkan, seorang advokat yang juga memberikan jasa penyusunan kontrak, maka ia dapat berkolaborasi dengan ahli Bahasa guna menghasilkan Bahasa kontrak yang baik dan benar serta minim resiko hukum.

Ikuti tulisan menarik Sujana Donandi Sinuraya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler