x

Corona

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 9 Juli 2021 16:49 WIB

Terlambat Wuhan, Terlambat Delta India, Inkonsistensi, Bikin Corona Betah di +62

Virus corona memang tak bisa hanya diantisipasi oleh kepekaan rasa, tapi memang wajib dengan tindakan tepat dan terstruktur yang tegas menyeluruh serta tak dinodai oleh inkonsistensi pembuat kebijakan sendiri. Setelah terlambat Wuhan, terlambat Delta India, apa akan terlambat berikutnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia semakin tak terbendung. Rekor dan rekor lonjakkan terus saja terjadi. Setelah rekor A, A pun dikalahkan oleh rekor B. Setelah B, muncul rekor C, begitu seterusnya hingga untuk sementara, catatan kasus harian Covid-19 di Indonesia pada Kamis (8/7/2021) bertambah 38.391 orang. Total kumulatif kasus positif Covid-19 di Indonesia sejak yang pertama diumumkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada awal Mei 2020, pun menjadi 2.417.788 orang. Apakah rekor kasus Kamis (8/7/2021) akan dikalahkan oleh rekor baru berikutnya?

Selain bicara rekor, pembicaraan tentang antisipasi, pencegahan, dan penangannya pun sudah disuarakan oleh berbagai pihak sampai berbuih-buih. Namun, berbagai pihak pun sepertinya sudah kehilangan akal, sebab yang diberikan masukan dalam hal ini pemerintah, terkesan hanya melewatkan saja kritik, saran, dan masukan berbagai pihak, masuk telinga kiri langsung ke luar dari telinga kanan. 

Tak digubris. Yang di dengar hanya kata hati dan pikiran mereka sendiri dan kata hati dan pikiran dari pihak yang ada kaitan dengan mereka dan ada memiliki kepentingan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lamban  atau skenario?

Andai saja yang bertanggungjawab dan diberi kepercayaan serta amanah memimpin negeri ini, tak terhalang dan tak terbentur oleh kepentingan-kepentingan, masyarakat yakin, dalam kasus corona ini kejadiannya akan secepat kemampuan binatang di pegunungan yang memiliki indra keenam dalam mencium dan mengantisipasi akan hadirnya bahaya.

Jadi, berbagai pihak dan masyarakat pun berpikir, jangan-jangan sikap lamban, santainya pemerintah ini karena memang pemerintah tak mampu? Atau sebaliknya ini hanyalah skenario?

Kembali ke kisah kemampuan binatang yang cepat mengantisipasi akan hadirnya bencana, secara ilmiah pun sudah dibuktikan bahwa binatang dalam mengantisipasi bencana dan bahaya sudah ada kepekaan. 

Selama ini kisah tentang turunnya hewan-hewan dari gunung api menjelang letusan sering dijadikan pertanda masyarakat lokal untuk turut mengungsi. Binatang sering dianggap memiliki ”indra keenam” yang bisa mendeteksi sesuatu yang tak mampu diraba manusia.

Saat itu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono seperti dilansir beberapa media massa pada (24/1/2012) pun mengungkapkan bahwa fenomena tersebut bisa terjelaskan secara ilmiah. Surono berkisah,  menjelang letusan Kelud pada tahun 1990, Surono memasang alat pemantau akustik di gunung itu untuk kepentingan disertasinya di Universitas Grenoble, Perancis. 

”Saya memasang tiga alat pendeteksi frekuensi itu untuk mengetahui mekanisme yang terjadi di tubuh Kelud saat kegiatannya meningkat,” katanya. Menjelang Kelud meletus pada 1990, gunung ini sangat tenang dan sepi dari gempa sehingga diperlukan indikator lainnya, yaitu suara.

”Sebelum gunung meletus, ada tekanan fluida (bisa berupa gas, uap air, atau magma) yang mendorong sumbat gunung,” katanya. Namun, tekanan ini masih bisa ditahan sumbat gunung itu. Batuan juga memiliki daya elastisitas tertentu. Ketika ditekan, dia akan melentur sebelum pada suatu titik akan jebol.

Dorongan tekanan tinggi yang membentur sumbat gunung itulah yang memunculkan frekuensi tinggi yang suara bisingnya hanya bisa didengar hewan tertentu. 

”Pada saat itulah hewan-hewan yang tak tahan suara bising ini berlarian turun dari gunung,” kata Surono. Suara dengan frekuensi tinggi ini tidak bisa didengar manusia yang hanya mampu mendengar suara dengan frekuensi 20 Hz- 20 kHz. 

Berbeda dengan binatang, misalnya kelelawar atau lebah, yang bisa menangkap suara dengan frekuensi hingga di atas 100 kHz.

Ketika kemudian, batuan penyumbat ini jebol, barulah letusan akan terjadi. Jadi, ketika hewan-hewan mulai turun gunung, bisa dianggap sebagai penanda gunung itu akan meletus.

Dari penelitiannya, Surono menemukan, bising frekuensi tinggi mulai meningkat pada 16 Desember 1989, kemudian melonjak tinggi dan mencapai titik maksimum pada 28 Desember 1989, lalu konstan sejak 10 Januari 1990. Dengan mencocokkan data dari Indyo Pratomo yang disengat tawon pada akhir Desember, Surono berkesimpulan, perilaku aneh binatang itu disebabkan peningkatan frekuensi tinggi di gunung itu.

Atas kisah Surono, coba kita bandingkan dengan kasus corona di Indonesia. 

Jelas, masalah corona ini bukan seperti letusan gunung berapi yang sebelum meletus tandanya bisa terdeteksi dini oleh para binatang. Karena kemampuan indra keenamnya, binatang yang tinggal di gunung dan hutan saja bisa menyelamatkan diri dan menjauh dari gunung yang diketahui akan menimbulkan bahaya dan bencana bagi para binatang ini.

Karena binatang turun dari gunung, maka masyarakat pun jadi tahu bila sesuatu akan terjadi dan masyarakat jadi bisa segera ikut menyelamatkan diri, karena turunnya binatang dari gunung bukan mitos, tapi terbukti secara ilmiah, bahwa akan ada bencana gunung meletus dari frekuensi bising yang hanya bisa didengar oleh binatang.

Terlambat Wuhan, terlambat India

Untuk kasus corona, tanda-tanda corona menjadi pandemi secara ilmiah pun sudah terbaca, sejak corona muncul di Wuhan. Sayang, pemerintah Indonesia sejak awal terlambat merespon Virus Covid-19. Padahal, negara-negara tetangga sudah lebih dulu melakukan kewaspadaan terhadap warga negaranya yang berada di Kota Wuhan, dengan merespon cepat adanya penyebaran virus covid-19. Saat itu, hampir semua negara tetangga kita yang memiliki interaksi perjalanan langsung dari Wuhan ke negara-negara tersebut sudah melaporkan adanya kasus positif.

Bagaimana pemerintah kita? Malah bikin kejanggalan, karena sejak awal Desember hingga Januari 2020, pemerintah menyatakan belum sama sekali mendeteksi Virus Corona atau Covid-19 masuk ke Indonesia.

Saat itu, sudah banyak teriakan dari berbagai pihak agar pemetintah bersikap seperti negara tetangga lain. Sewajibnya, ada atau tidaknya, masuk atau tidaknya virus ini, pemerintah tetap wajib dan harus melakukan pemeriksaan dengan baik. Antisipasi dan pencegahan dengan benar dan terstruktur.

Nasi sudah jadi bubur, pemerintah tetap dengan cara dan maunya sendiri menyikapi pandemi corona ini. Sikap pemerintah yang tak membikin respon positif berbagai pihak dan masyarakat ini,  di tambah sikap dan tindakan mereka yang hanya berpikir kekuasaan, oligarki, politik dinasti, hingga kepentingan, semakin menebalkan sikap negatif masyarakat karena perbuatan mereka sendiri yang dianggap tak amanah.

Lalu muncullah paradigma masyarakat abai, tak simpati, tak empati, tak peduli, dll. Masyarakat akhirnya jadi kambing hitam dan obyek kesalahan hingga terus hidup dalam ancaman dan penjara karena dianggap melawan, melanggar aturan, dll.

Tapi masyarakat juga tahu siapa sebenarnya yang andil menumpuk kesalahan demi kesalahan, pelanggaran demi pelanggaran dan seterusnya. Ujungnya, corona pun benar-benar sulit dikendalikan di Indonesia. Saat WNI dibebani PSBB hingga PPKM darurat, siapa pula yang justru terus melanggar dan menabrak aturan? WNI harus berbenturan dengan pihak keeamanan, WNI asyik masyuk nyelonong ke +62. 

Meski sudah disiapkan dalihnya oleh mereka, mereka lupa, ada ketidakadilan yang lekat di dalamnya yang sangat bertentangan dengan amanah Pembukaan UUD 1945.

Lalu, bagaimana bisa kasus corona menggelembung, padahal mudik dilarang, hari libur dikurangi, hingga kini rakyat juga jadi korban PPKM darurat yang jelas mematikan ekonomi sektor non esensial dan kritikal?

Jelas, kini varian corona yang mengganas terbukti varian delta yang asalnya dari mana? Ingat bagaimana sikap pemerintah mengantisipasi masuknya varian delta yang dari India itu?

Nyatanya, sikap pemerintah sama saja dengan kejadian pertama virus wuhan. Santai dan membiarkan saja pintu masuk Indonesia diserbu warga India.

Tentu berbagai pihak dan masyarakat juga tak akan lupa saat akhir April 2021, banyak orang India kabur ke luar negeri, termasuk ke Indonesia, guna menghindari tsunami virus corona di negaranya.

Luar biasanya, kok bisa ada 132 WN India yang masuk ke Indonesia dengan pesawat carter melalui Bandara Soekarno-Hatta. Dan, hebatnya belasan orang di antaranya, saat itu, menurut Kementerian Kesehatan, mengalami positif Covid-19.

Ratusan WNA asal India tersebut sebagian besar adalah ibu rumah tangga dan anak-anak yang memiliki kartu izin tinggal terbatas (Kitas) yang dijadikan alasan bisa masuk Indonesia.

Berikutnya apa yang terjadi? Setelah peristiwa 132 WN India masuk ke Indonesia dengan pesawat carter melalui Bandara Soekarno-Hatta, belasan orang di antaranya, terdeteksi mengalami positif Covid-19, virus corona varian Delta pun mulai tercatat hadir di Indonesia.

Varian Delta atau B.1.617.2 yang awalnya ditemukan di India, akhirnya sukses pula berkembang biak di Indonesia karena Indonesia belum benar-benar memperhatikan pintu masuk, terutama memantau warga negara asing yang masuk dari wilayah yang menjadi perhatian dunia seperti India.

Setelah belasan WN India terdeteksi positif, mulailah virus ini terdeteksi di Jakarta. Saat itu ditemukan dua kasus.
Lalu, varian Delta menyebar ke Kabupaten Kudus, Kabupaten Bangkalan, hingga mendominasi di sejumlah wilayah di Indonesia saat ini.

Kini, varian delta pun seperti menjadi tuan rumah di NKRI. Terus menyerang dan bikin kasus corona setiap hari memecahkan rekornya sendiri.

Virus corona jelas sudah terdeteksi dan terjadi di negara lain dan negara tetangga, tapi saat itu pemeeintah Indonesia santai-santai saja. Begitu corona merajalela, rakyat disalahkan dan diancam dengan hukuman.

Saat varian delta dari India juga menghebohkan dunia, WN India malah dibiarkan masuk Indonesia. Akhirnya, selamat datanglah si delta di Indonesia. Kini si delta pun sukses menjajah Indonesia.

Untungnya, pandemi corona ini tak menjangkiti binatang. Bagaimana bila corona juga menyerang binatang, bisa jadi tak akan ada binatang yang selamat karena tak segera turun dari gunung. Indra keenam merekalah yang mampu mendengar suara bising gunung berapi sebagai tanda gunung akan meletus namun tak bisa mendeteksi bisingnya virus corona yang adanya dalam berita-berita dan peristiwa di seluruh dunia yang tak kan mampu dibaca oleh binantang.

Artinya, Virus corona memang tak bisa hanya diantisipasi oleh kepekaan rasa, tapi memang wajib dengan tindakan tepat dan terstruktur yang tegas menyeluruh serta tak dinodai oleh inkonsistensi pembuat kebijakan sendiri. Setelah terlambat Wuhan, terlambat Delta India, apa akan terlambat berikutnya?

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler