x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 12 Juli 2021 06:17 WIB

Keteladanan Buruk karena Pendidikan Masih Gagal

Pendidikan dari sekolah dan kuliah gagal, tetapi pendidikan perilaku dan teladan buruk dari beberapa manusia medsos dan para pemimpin negeri malah jitu. Mengakar, diteladani, dan ditiru rakyat. Luar biasa, berhasil. Menghssilkan SDM terdidik dan keteladanan yang benar, memang mahal!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hasil belajar mudah terlupa bila tak dipelajari lagi, hasil pendidikan terpatri di sanubari dan abadi. (Supartono JW.02052021)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata teladan adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya). Terkait diksi teladan ini, apakah para pemimpin negeri, sekarang benar-benar memahami apa yang kini diteladani oleh rakyat Indonesia di tengah pandemi corona yang belum berujung, plus di tengah keadilan dan hukum yang memihak, di tengah rakyat jauh dari sejahtera adil dan makmur?

Sementara sektor pondasi untuk membikin bangsa dan negara maju berkembang, yaitu pendidikan terus bermasalah, hingga Sumber Daya Manusia (SDM) rakyat Indonesia terus tertinggal. Sampai-sampai karena rakyat belum mampu, maka ada sektor usaha di tanah Indonesia, pekerjanya harus diimpor dari luar negeri? Bahkan berkali-kali menimbulkan pro dan kontra hingga kontroversi tak berujung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Teladan buruk

Mirisnya, di tengah pendidikan yang output SDMnya terus tak signifikan dengan tujuan dan harapan, karena salah satu faktornya masih sangat jelas, Indonesia masih terus berkutat dalam tahap belajar dan mengajar, tak sampai-sampai dalam tahap mendidik, maka jangankan rakyat yang belum sempat atau tak pernah sempat merasakan bangku sekolah dan kuliah, yang sudah merasakan bangku sekolah dan kuliah saja masih banyak yang belum terdidik, sebab saat mereka di bangku itu, lebih banyak hanya sampai tahap belajar, belum terdidik. Lihatlah perilakunya, sekarang di tengah masyarakat.

Guru, lebih fokus mengajar, memberi pelajaran. Menyampaikan materi dan teori. Sesuai tuntutan Kurikulum. Banyak guru yang tak mendidik, yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) soal akhlak dan kecerdasan. Padahal setiap materi ajar, tak ada yang tak terkait dengan tuntunan, pimpinan, akhlak, dan kecerdasan yang melahirkan manusia berkarakter, santun, berbudi, rendah hati, simpati, empati, peduli, dan tahu diri.

Bila hingga detik ini, di Republik ini, guru yang jadi ujung tombak kecerdasan dan kemajuan bangsa dan negara terus terjebak pada kasus mengajar, tetapi tak mendidik, bagaimana bangsa ini akan ke luar dari masalah pendidikan yang terus terpuruk? Cita-cita melahirkan manusia Indonesia yang cerdas otak dan emosi, serta kreatif, inovatif, pun berkarakter, santun, berbudi, rendah hati, simpati, empati, peduli, dan tahu diri, tentu hanya sekadar mimpi.

Awal kegagalan

Kegagalan dunia pendidikan kita, benang kusutnya adalah berawal dari diksi mengajar dan mendidik. Ingat, zaman Institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) masih ada, syarat untuk jadi guru, selain ijazah juga Akta IV. Akta IV inilah surat izin mengajar (SIM) menjadi guru.

Saat itu, untuk mendapat Akta IV, mahasiswa yang kuliah di IKIP ada latihan dan ujian khusus mengajar-mendidik. Tapi seiring waktu, tiba-tiba IKIP diubah jadi Universitas Negeri (UN). Saat masih ada IKIP saja, stok guru di Indonesia kurang, hasilnya pendidikan pun bermasalah. Begitu, IKIP berganti baju menjadi UN, guru pun sudah  hadir tak terbendung dari lulusan UN yang tak membekali lulusannya memperoleh Akta IV sebagai SIM menjadi guru. 

Lalu ada akal-akalan sertifikasi guru, demi menutupi kesalahan karena para guru banyak yang tak memiliki SIM untuk mendidik. Tapi lebih banyak hanya memiliki ijazah yang tarafnya hanya mengajar, membagi ilmu sesuai materi pelajaran yang diampu dan dibatasi oleh kotak bernama Kurikulum. Dan itu, terjadi sampai detik ini. Apa akibatnya? 

Setiap kali ada uji kompetensi guru (UKG), selalu gagal. Sebenarnya siapa yang menyebabkan guru gagal dalam UKG? Kalau UKG saja gagal, juga tak punya Akta IV, sementara sertifikasi guru juga lebih menjadi formalitas dan bisnis karena sertifikasi guru ujungnya ada uangnya. 

Lalu, sekolah kurang guru dan tak mampu membayar guru honorer. Tapi stok guru yang ada dan memiliki SIM saja tak cukup. Sudah begitu, banyaknya guru yang tidak memiliki SIM dan akhirnya hanya mengajar yang dibatasi Kurikulum, UKG pun tak lulus, pendidikan pun berputar-putar saja dalam keterpurukan.

Bagaimana akan lahir manusia Indonesia yang terpelajar dan terdidik, bila kondisi gurunya juga tak ada perubahan? Meski sekarang Mas Nadiem bikin terobosan ini-itu, SDM guru dan kawah candraimuka yang melahirkan guru berkompeten-profesional tak dipikirkan ulang, tak menjadi prioritas. Maka, pendidikan Indonesia tak akan bergerak.

Pendidikan buruk menjadi contoh

Lihatlah sekarang, di media sosial ada beberapa manusia Indonesia yang saya boleh sebut gagal saat dididik. Kini, ketika kembali dan berbaur dengan masyarakat justru mengambil pekerjaan nyinyir yang jelas tak ada pelajarannya di bangku sekolah dan kuliah.

Contoh manusia nyinyir ini, mirisnya malah sangat mudah diteladani oleh masyarakat dan risikonya sangat berbahaya, timbulkan disintegrasi bangsa. Tapi terus dibiarkan beraksi di negeri ini.

Lihat para pemimpin negeri ini, terus meneladani sikap inkonsistensi, menciderai perasaan rakyat dengan berbagai sikap dan kebijakannya, yang saat di bangku sekolah dan kuliah juga tak ada mata pelajaran dan mata kuliahnya.

Fenomena inilah yang kini sangat kental di NKRI, pendidikan dari sekolah dan kuliah gagal, tetapi pendidikan perilaku dan teladan buruk dari beberapa manusia medsos dan para pemimpin negeri malah jitu. Mengakar, diteladani, dan ditiru rakyat.

Karenanya memang fakta, bahwa hasil belajar mudah terlupa bila tak dipelajari lagi, hasil pendidikan terpatri di sanubari dan abadi.

Karena pendidikan dan teladan buruk di tengah kehidupan nyata rakyat dari para manusia medsos dan pemimpin negeri, maka rakyat pun membalas dengan sikap yang buruk karena sangat menyentuh hati  sanubari, terpatri. Hasil belajar yang sekadar dari mengajar di sekolah dan bangku kuliah pun lupa.

Lihatlah, akibat pandemi corona terutama yang datang dari Wuhan dan India, siapa yang jadi korban tertular? Rakyat! Karena pintu masuk negara ini dibuka oleh siapa?  Lihatlah, saat rakyat ditindak dan diancam denda dan hukuman akibat melanggar PPKM darurat, padahal kalau tak bekerja dan berusaha, diri dan keluarga tak makan, tapi malah terkena aturan pelanggaran PPKM darurat dan harus bayar denda di luar nalar. Misal, hanya jadi tukang bubur, melanggar PPKM, dendanya lima juta dan lainnya. Di mana perikemanusian dan perikeadilan.

Lihatlah, laporan dari Dinas Imigrasi, sepanjang 1-6 Juli 2021, saat PPKM darurat berlaku, rakyat disekat-sekat, ternyata lebih dari 24 ribu Warga Negara Asing (WNA) melenggang dengan alasan sudah memenuhi syarat masuk Indonesia. Di mana jalan pikirannya dan berdalih WHO, organisasi kesehatan dunia tak ada bikin larangan WNA masuk ke luar sebuah negara. Padahal, banyak negara yang menutup diri dari WNA karena WHO juga tak bikin larangan sebuah negara menutup masuknya WNA demi keselamatan rakyat? Sampai di sini, kira-kira bisa dipahami? Siapa yang bisa dan mau memahami?

Semua kejadian sandiwara dan drama di Indonesia, satu di antara sebabnya karena adanya manusia atau SDM yang baru belajar karena bangku sekolah dan kuliah hanya mengajar, bukan mendidik.

Ingat Taksonomi Bloom?

Seandainya Indonesia sudah mendidik, dan sekurangnya sudah teraplikasi dan terpatri tentang Taksonomi Bloom dengan benar di setiap pikiran dan hati insan yang bertugas mengajar dan mendidik khususnya di Indonesia, tentu akan sangat signifikan mengubah kompetensi SDM Indonesia.

Sekadar mengulang dan mengingat, Taksonomi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu tassein yang berarti mengklasifikasi dan nomor yang berarti aturan. Istilah ini kemudian digunakan oleh Benjamin Samuel Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan yang melakukan penelitian dan pengembangan mengenai kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran dan pendidikan.

LahirlahTaksonomi Bloom yang bermula pada tahun 1950-an dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, Bloom dan kawan-kawan mengemukakan bahwa dari evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah, ternyata persentase terbanyak butir soal yang diajukan hanya meminta siswa untuk mengutarakan hapalan mereka. Konferensi tersebut merupakan lanjutan dari konferensi yang dilakukan pada tahun 1948. 

Bloom menyebut, hafalan sebenarnya merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors) dan banyak level lain yang lebih tinggi yang harus dicapai agar proses pembelajaran dan pendidikan dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya. 

Akhirnya tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taksonomi Bloom, yaitu struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi, dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual (intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Taksonomi Bloom mengalami dua kali perubahan perubahan yaitu Taksonomi yang dikemukakan oleh Bloom sendiri dan Taksonomi yang telah direvisi oleh Andreson dan KartWohl. 

Berikut adalah versi Kreathwohl pada ranah kognitif yang terdiri dari enam level yaitu:  remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (menerapkan), analyzing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan creating (mencipta). 

Dalam menginterpretasikan piramida tersebut, secara logika adalah
1. Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih dahulu
2. Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu
3. Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya dulu
4. Sebelum kita mengevaluasi maka kita harus menganalisa dulu
5. Sebelum kita berkreasi atau menciptakan sesuatu, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi.

Pertanyaannya, hingga saat ini, sesuai Taksonomi Bloom, baru  di ranah kognitif, bagaimana SDM Indonesia dihasilkan dari bangku sekolah dan kuliah? Dari piramida tersebut, SDM kita apakah sudah bisa diandalkan dalam level menerapkan, menganalisa, mengevaluasi, berkreasi-mencipta? Pelajaran yang di dapat saja sangat mudah lupa, padahal itu hanya dipiramida 1? 

Bagaimana praktik pembelajaran dan pendididikan di Indonesia sesusai tataran Taksonomi Bloom hanya dari sudut kognitif? Belum afektif dan Psikomotor? Apa para petugas yang seharusnya mengajar dan mendidik, memenuhi syarat kompetensi sesusau tataran itu?

Lihat, pemerintah pun malah memberi bukti bahwa mereka menganggap SDM Indonesia belum memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman, makanya mengimpor WNA China, bekerja di Indonesia. Siapa yang sebenarnya gagal? Para guru? Sekolah dan Universitas? Tapi setelah hilang IKIP diganti UN, kini terbit pilihan Sarjana Akademik dan Sarjana Terapan. Kira-kira, jelas lah arahnya.

Atas kondisi ini, maka apakah salah bila pada akhirnya, SDM atau rakyat Indonesia meneladani pendidikan yang buruk.

Tak salah, fenomena inilah yang kini sangat kental di NKRI, pendidikan dari sekolah dan kuliah gagal, tetapi pendidikan perilaku dan teladan buruk dari beberapa manusia medsos dan para pemimpin negeri malah jitu. Mengakar, diteladani, dan ditiru rakyat. Luar biasa, berhasil.

Menghssilkan SDM terdidik dan keteladanan yang benar, memang mahal!

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler