x

Ikhlas rendah hati

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 21 Juli 2021 07:49 WIB

Ikhlas dan Rendah Hati Berbalas Hikmah dan Berkah

Berkorban adalah menyatakan kebaktian, kesetiaan, memberikan sesuatu sebagai korban, rela demi kejayaan nusa dan bangsa. Kemudian berperikemanusiaan, karena bersikap layak sebagai manusia, tidak bengis, suka menolong, bertimbang rasa. Serta berperikeadilan karena adil. Tidak memihak, tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar, dan tidak sewenang-wenang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bersih hati dan tulus hati, maka dengan sendirinya mengalir sikap dan sifat dalam diri yang tidak sombong dan tidak angkuh.

Sifat-sikap ikhlas dan rendah hati, dalam setiap langkah perbuatan seseorang, balasannya tentu akan ada hikmah, yaitu kebijaksanaan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam bentuk berkah. Berkah atau karunia Allah yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia, datangnya juga hanya Allah yang Maha tahu sesuai kebijaksanaanNya.

Sehubungan dengan sifat ikhlas dan rendah hati dalam diri manusia, serta hikmah dan berkah yang datangnya dari Allah, bila kita kaitkan dengan kondisi sekarang, tentu akan sangat signifikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pandemi corona masih menguasai dunia dan bahkan Indonesia. Indonesia malah  menjadi episentrum, titik pusat penyebaran Covid-19 yang terus belum dapat terkendali. 

Apakah nasib Indonesia terkini, akibat dari sifat-sikap para manusianya yang kurang dalam hal ikhlas dan rendah hati? Sehingga hikmah dan berkah dari Allah belum direalisasi, corona enyah dari Bumi Pertiwi? 

Karenanya, perayaan ibadah Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah pada 20 Juli 2021, pun harus tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang lebih bertambah ketat. Bahkan di tengah program PPKM darurat yang dibikin pemerintah.

Idul Adha=pengorbanan

Sejatinya, sudah sangat dipahami khususnya oleh umat muslim di seluruh dunia, bahwa hikmah dari Hari Raya Idul Adha adalah pengorbanan dan kemanusiaan.

Secara universal, dalam setiap Idul Adha, pengorbanan dan kemanusiaan menjadi pesan yang aktual, tak lekang oleh waktu, dan tetap sesuai di setiap perkembangan zaman.

Oleh karena itu, dalam momentum Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah, Indonesia yang kini menjadi episentrum penyebaran corona di dunia, pemerintah dan rakyat wajib mawas diri.

Mengapa Indonesia menjadi episentrum? Apakah kejadian ini adalah hikmah dan berkah yang diturunkan oleh Allah karena sifat-sikap para manusianya?

Atau karena peristiwa menggilanya Covid-19 di NKRI karena memang dari ulah para manusianya sendiri. Ada yang bikin skenario dan drama di baliknya? Tanpa ada campur tangan Allah?

Menjawab pertanyaan tersebut, sebab kita hanya manusia biasa, tentu mustahil memastikan mana yang benar. Sebagai manusia, kita hanya memiliki kemampuan membaca tanda-tanda dari fakta, lalu mengantisipasi dan membuat solusinya.

Fakta, corona telah membikin jutaan manusia di muka bumi ini menghadapNya. Sementara, yang masih terpapar, sedang berjuang melawan corona, sekaligus menjadi saksi betapa hebatnya corona yang memang nyata ada. Terlepas virus itu, memang datang dari hikmah dan berkah dari Allah untuk manusia. Atau benar, virus dibikin oleh manusia yang tak ikhlas dan tak rendah hati.

Yang pasti, kini corona terus menguji sifat  dan sikap manusia dalam hal pengorbanan dan perikemanusiaan. Siapa-siapa yang sudah nampak berkorban dan menunjukkan karakter perikemanusiaannya di Republik Indonesia hingga saat ini?

Bila pengorbanan dan perikemanusiaan memang dilakukan dengan ikhlas, mengapa corona malah terus beranak pinak? Tentu, menjadi episentrum corona di dunia, bukan hal yang kita semua inginkan. Tetapi apakah ini memang balasan hikmah dan berkahNya, karena perilaku manusianya?

Apakah saya sudah berkorban dan berperikemanusiaan? 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarakan, di tengah pandemi ini, maka jawabnya wajib dimulai dari diri kita sendiri.

Saya, sangat menyadari akan kondisi dan situasi bangsa dan negara yang dikendalikan oleh pemerintahan sekarang. Saya, sebagai rakyat biasa, dan dengan membaca tanda-tanda dan fakta-fakta yang ada, menjadi tahu siapa para pemimpin kita hingga kondisi siapa di balik mereka.

Saya, sementara juga menjadi tahu berdasarkan tanda-tanda dan fakta yang ada, sejauh mana pengorbanan dan perikemanusiaan para pemimpin negeri di pemerintahan dan parlemen. Pengorbanan dan perikememanusiaan mereka untuk diri sendiri dan kelompoknya? Atau untuk rakyat?

Setali tiga uang, saya juga memahami dari membaca tanda-tanda dan fakta-fakta, bagaimana kondisi pedagogi rakyat dan terklasifikasi menjadi berapa kelompok. Bagaimana kondisi pendidikannya, karena terus terpuruk. Bagaimana kindisi sosial dan ekonomi yang terus tak sejahtera. Bagaimana kondisi kenyamanan hidupnya karena terus dikendalikan hukum yang tak adil.

Deskripsi betapa malang nasib rakyat, apakah bisa disebut mereka sebagai golongan manusia yang rela berkorban dan penuh rasa perikemanusiaan didasari ikhlas dan rendah hati? Lalu, menjadi terus konsisten dikorbankan dan menerima ketidakadilan?

Memahami situasi, latar belakang, dan masalah yang ada baik pada manusia yang duduk di pemerintahan, parlemen, dan rakyat biasa, maka di manakah posisi diri saya selama ini? 

Apakah saya harus mentransfer karakter sifat dan sikap para pemimpin di pemerintahan dan parlemen pada bagian-bagian yang tak patut diteladani? Atau saya harus terseret arus kepada model sifat dan sikap sebagian masyarakat yang di tengah pandemi ini disimpulkan terus berbuat tak simpatik, tak empatik, tak peduli, tak mengukur diri,  tak tahu diri, dan tak peduli dengan pandemi?

Bahkan, dari tanda-tanda dan fakta, ada golongan rakyat yang saya sebut bandel karena memang kurang dalam kecerdasan intelegensi (otak) dan tak cerdas personaliti (mental, kepribadian, dan emosi).

Di sisi lain, kini juga ada golongan masyarakat yang sudah lelah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap setengah hati.

Jadi, mana yang harus saya ikuti dan teladani? Bila saya memahami masalah, sebab, akibat, konflik sesuai indentifikasi masalah dan latar belakang yang masalah yang valid, tentu saya akan mampu menyaring hingga saya dapat bersikap cerdas otak dan hati.

Untuk itu, saya dapat ikut andil berkorban dan berperikemanusiaan dengan sederhana dan murah. Saya tidak terbawa arus, tidak ikut bebal, tak patuh protokol kesehatan. Maka, tidak akan membahayakan dan merugikan diri dan keluarga, juga menyelamatkan orang lain.

Dengan demikan, saya sudah mengamalkan solidaritas, perasaan solider, memiliki sifat satu rasa, senasib, perasaan setia kawan. Bukan, mementingkan diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan.

Karena solidaritas adalah wujud dari sifat dan sikap ikhlas dan rendah hati yang datangnya dari pikiran dan hati manusia itu sendiri.

Berikutnya, dengan sikap solidaritas semampu saya, didasari upaya untuk terus mengasah diri dalam keikhlasan dan rendah hati, InsyaAllah, hikmah dan berkah akan mengiringi.

Bila sampai sekarang masih ada manusia yang berkorban dan berperikemanusiaan demi untuk pencitraan, bukan dari keikhlasan karena tak rendah hati. Bila sampai sekarang masih ada manusia yang korup dan tabiatnya mengambil hak orang lain. Dan, bila-bila yang lain. 

Maka semoga saya tidak seperti mereka dan semoga mereka lekas dapat hidayah, petunjuk dari Allah. Aamiin.

Intinya, hakikatnya, di Hari Raya Idul Adha 1442 Hijriah, umat manusia, khususnya rakyat Indonesia dapat memulai berkorban dan berperikemanusiaan yang benar-benar, benar. Di dasari sifat dan sikap ikhlas, rendah hati. Maka, hikmah dan berkah dari Allah InyaAllah akan mengiringi. Aamiin.

Semoga, Indonesia segera lepas dari prestasi episentrum corona, kasus corona segera menurun. Yang terpapar segera disembuhkan, dan yang telah dipanggNya, mendapat tempat di surgaNya.Orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengambil keuntungan di tengah penderitaan, dan memupuk kekayaan, diberi cahaya penyadaran. Pemimpin negeri amanah berkorban dan berperikemanusiaan, plus perikeadilan, rakyat meneladani. 

Sebab berkorban adalah menyatakan kebaktian, kesetiaan, memberikan sesuatu sebagai korban, rela demi kejayaan nusa dan bangsa. Kemudian berperikemanusiaan, karena bersikap layak sebagai manusia, tidak bengis, suka menolong, bertimbang rasa. Serta berperikeadilan karena adil. Tidak memihak, tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar, dan tidak sewenang-wenang.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB