x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 13 Agustus 2021 14:15 WIB

Cerpen | Suara Tikus di Dalam Gudang

Pak Subayu - seorang kepala desa - telah mengorupsi dana bantuan sosial, sehingga membuat bencana di desanya semakin parah. Sampai-sampai ada seorang warga yang mengirim kutukan kepadanya, sehingga Pak Subayu sering bermimpi buruk dan mendapati suara koloni tikus di dalam gudangnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di suatu tempat yang berada di wilayah Banten, terdapat sebuah desa yang dikenal makmur, bernama Desa Melati. Banyak warganya yang sukses dalam profesinya sebagai seorang petani dan pekebun. Ditambah dengan keadaan alamnya yang subur, sehingga membuat hasil panen mereka menjadi berlimpah-limpah. Semua itu tidak lepas dari kepemimpinan Pak Basuki - seorang kepala Desa Melati - yang mampu menjalankan amanatnya dengan baik. Dia tidak hanya dikenal sebagai seorang pemimpin yang tegas dan dermawan, tapi juga seseorang yang berhasil membangun perekonomian Desa Melati hingga menjadi desa yang maju daripada desa-desa tetangganya. Alhasil, banyak warga Desa Melati yang sangat menghormati dan mengagumi beliau.

Walakin, setelah beberapa tahun berlalu - di mana Pak Basuki sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala desa dan telah wafat - kini posisi kepala desa digantikan oleh putra tunggalnya yang bernama Pak Subayu. Tetapi, bagaikan langit dan bumi, karakter Pak Subayu tidak sama dengan ayahnya. Dia sangat angkuh dan tamak, terutama setelah dia menjabat sebagai kepala desa. Bahkan, dia tega mengorupsi dana bantuan sosial, saat Desa Melati sedang dilanda bencana kemarau panjang. Di mana setiap kali datangnya dana bantuan sosial ke Desa Melati, hanya sedikit warga yang menerimanya, dan itu-pun hanya orang-orang yang dekat dengan Pak Subayu. Perihal tersebut terus berulang, sehingga banyak warga yang mulai bertanya-tanya. Keadaan semakin diperkuat, setelah mereka mendapati desa tetangga - Desa Sari - telah mendapatkan dana bantuan sosial dengan jumlah yang besar, serta itu semua diterima oleh hampir semua warganya. Walhasil - karena merasa syak - akhirnya mereka semua mendatangi kantor balai desa dan menanyakan perihal tersebut ke Pak Subayu. Tetapi pertanyaan mereka dijawab dengan mudah;

"Para bapak dan ibu sekalian, saya tahu keresahan kalian. Tetapi kalian juga harus tahu, bahwa keadaan di desa kita dengan Desa Sari sangatlah berbeda. Para petani di Desa Sari, rata-rata sering mengalami gagal panen. Sawah dan ladang mereka sering kekeringan dan terserang hama. Jadi dana bantuan yang datang ke desa mereka jelas lebih besar daripada ke desa kita. Sedangkan desa kita adalah desa yang subur. Rata-rata penghasilan penduduk kita cukup besar. Jadi tidak mungkinlah pemerintah memberi bantuan lebih besar ke desa kita! Mereka juga melihat tempat yang tepat untuk diberi bantuan!"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alhasil, para warga yang mendengar penjelasan tersebut langsung mempercayainya; karena pernyataan Pak Subayu sangatlah masuk akal. Sebab Desa Sari juga dikenal dengan kondisi alamnya yang tidak sesubur Desa Melati, sehingga keadaan para petani dan pekebun di desa itu lebih memprihatinkan. Arkian, para warga mulai membubarkan diri dan pulang ke rumahnya masing-masing.

Walakin, setelah beberapa bulan kemudian, pemerintah kembali mengirimkan dana bantuan sosial ke Desa Melati. Namun nahas, tidak ada satu-pun warga yang mendapatkannya. Berbeda dengan Desa Sari; di mana warganya menerima dana bantuan sosial secara menyeluruh. Walhasil, mereka jadi bertanya-tanya, sehingga mereka memutuskan untuk kembali datang ke kantor balai desa untuk meminta kejelasan dari Pak Subayu. Setibanya di sana, Pak Subayu hanya menjelaskan;

"Dana bantuan yang datang ke Desa Sari itu disebabkan oleh gagal panen. Sudah dua kali mereka panen dan gagal. Lalu pemerintah kembali memberi bantuan untuk menggarap sawah, beserta membeli bibit dan benih untuk diternak."

Kali ini, beberapa warga merasa kurang puas dengan jawaban Pak Subayu, sehingga rasa curiga mulai merasuki pikiran mereka. Rasa curiga itu semakin diperkuat saat mendapati kehidupan Pak Subayu yang telah berubah total. Di mana dulu dia hanya memiliki sepeda motor bebek, sekarang dia sudah punya sebuah mobil impor yang mewah. Apabila dulu rumah Pak Subayu hanyalah sebuah rumah yang sederhana, sekarang dia sedang merenovasi rumahnya menjadi istana yang megah dan modern. Belum lagi dengan aksesoris dan benda-benda mewah yang melekat di tubuh Pak Subayu dan keluarganya.

Tetapi nahasnya, masih banyak warga yang menyangkal kecurigaan tersebut. Alasannya karena mereka sangat menghormati ayahnya - Pak Basuki - yang telah berjasa untuk Desa Melati. Belum lagi kedekatannya dengan beberapa tokoh agama di Desa Melati, sehingga membuat mereka menjadi sangsi terhadap kecurigaan itu. Mereka berpikir bahwa sangatlah mustahil bagi seorang yang beragama dan memiliki ayah yang terpandang dapat melakukan hal-hal buruk dan nista. Walhasil, para warga yang menaruh syak kepada Pak Subayu memilih untuk berdiam diri. Sebab mereka sadar bahwa tidak ada orang yang akan percaya dan mendukungnya.

****

Satu tahun telah berlalu; akibat kemarau panjang yang terkutuk telah membuat keadaan di Desa Melati bertambah buruk. Jumlah petani yang gagal panen semakin bertambah, sehingga membuat keadaan ekonomi warga semakin memburuk. Tidak banyak dari mereka yang jatuh miskin, hingga akhirnya meninggal akibat kelaparan. Sedangkan dana bantuan sosial yang telah dikirim pemerintah, tidak pernah sampai ke tangan mereka. Sedangkan kehidupan Pak Subayu sangat berbanding terbalik dengan keadaan warga desa. Dia semakin terlihat glamor dan suka mengekspos kehidupan mewahnya ke publik secara terang-terangan. Sifat angkuh, tamak, dan apatis juga semakin menjamur di dalam diri Pak Subayu, sehingga tidak sedikit warga yang membencinya. Tidak jarang ada warga yang berniat melaporkannya ke pemerintah pusat dan lembaga anti korupsi. Tetapi nahasnya, mereka tidak tahu cara melakukannya; mereka tidak memiliki koneksi atau informasi; mereka juga tidak memiliki kekuatan; belum lagi jumlah orang yang masih membela Pak Subayu juga tidak sedikit. Alhasil, mereka - yang membencinya - tidak dapat berbuat apa-apa, selain mengelus dada dan mengutuk Pak Subayu dari balik bayangannya.

Petaka mengerikan ini terus melanda warga Desa Melati; tak terkecuali seorang janda beranak dua yang bernama Bu Malika. Suaminya telah lama meninggal, sehingga membuat dirinya harus bekerja sebagai petani untuk tulang punggung keluarganya. Awalnya kehidupan Bu Malika masih baik; terutama saat Pak Basuki masih memimpin desa Melati; tapi sekarang keadaannya sangat memprihatinkan. Musim kemarau panjang telah merusak sawah dan hasil panennya, sehingga pemasukannya ikut menurun setiap waktu. Alhasil, dia hanya bisa berharap pada dana bantuan sosial yang terkesan mustahil untuk diterimanya. Sekarang anak-anaknya telah menderita suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi, sedangkan Bu Malika tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya dia memberanikan diri untuk menemui Pak Subayu untuk meminta pertolongannya. Meskipun Bu Malika merasa ragu dan sering mendengar gosip tentang Pak Subayu, tapi dia berusaha menaruh harapan kepadanya demi menyelamatkan anak-anaknya.

Lantas, di pagi hari yang dingin dan menusuk, Bu Malika bergegas pergi ke kantor balai desa. Tetapi - setiba di sana - permintaannya ditolak oleh anak buah Pak Subayu, dengan dalih sedang sibuk kerja. Tetapi mereka masih memberi sedikit harapan, dengan meminta Bu Malika untuk membuat surat izin bertemu. Walakin, proses pembuatan surat izin tersebut sangatlah berliku-liku; melewati berbagai macam pertanyaan yang rumit; hingga pemungutan biaya yang tidak murah. Nahasnya Bu Malika tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar pembuatan surat izin itu, sehingga membuat dirinya gagal bertemu dengan Pak Subayu. Walaupun begitu, Bu Malika masih tetap ingin bertemu dengan Pak Subayu dan menunggunya di depan gerbang kantor balai desa.

Setelah hari sudah siang menjelang sore; terlihat Pak Subayu yang sedang keluar dari kantor balai desa; sejam sebelum jam kerjanya usai; memasuki mobil mewahnya. Bu Malika yang melihat itu langsung berlari sambil berteriak memanggilnya. Tetapi Pak Subayu tidak menghiraukannya dan langsung menjalankan mobil; melaju dengan kecepatan tinggi; melintasi tubuh Bu Malik, hingga hampir menabraknya. Beruntung dia berhasil menghindar dan ditolong oleh beberapa orang yang ada di pekarangan kantor balai desa. Walakin, Bu Malika masih tidak berhenti dan bergegas melaju ke rumah Pak Subayu.

Setibanya di sana, dia mendapati rumah Pak Subayu yang telah selesai direnovasi; terlihat seperti bangunan istana megah dan modern; satu-satunya rumah yang bagus di Desa Melati; bagaikan rumah konglomerat di kota besar; sehingga memberi kesan yang sangat mencolok. Di sana jugalah, Bu Malika dihadang oleh para satpam penjaga rumah Pak Subayu. Mereka berusaha mengusir Bu Malika, tapi dia tetap bersikeras untuk menemuinya, sehingga menciptakan kegaduhan yang memancing Pak Subayu keluar dari dalam rumah. Lantas dia memberi perintah ke para satpam untuk segera mengusir Bu Malika dengan nada yang tidak bersahabat. Akhirnya upaya Bu Malika gagal total, sehingga dia pulang dengan perasaan murung dan penuh keputusasaan; hatinya sangat terluka dan menangis di sepanjang jalan menuju rumahnya.

Keadaan semakin memburuk, setelah Bu Malika tiba di rumahnya dan mendapati anak-anaknya telah meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Lantas tangis pilu Bu Malika pecah tak keruan sembari memeluk kedua anaknya dengan hati yang hancur. Tetapi itu tidak berlangsung lama, karena seketika hati Bu Malika berganti menjadi amarah dan dendam. Dia sangat murka kepada Pak Subayu dan mulai merancang sebuah pembalasan yang mengerikan.

Kalakian Bu Malika bergegas pergi ke halaman belakang rumahnya; menuju ke sebuah pintu gudang yang terkunci; lalu membukanya. Di dalam gudang itu terdapat banyak sekali benda-benda aneh dan mengerikan yang telah disembunyikan selama bertahun-tahun, dan semua itu adalah alat praktek ritual mengerikan yang telah lama ditinggalkan setelah menikah dan memiliki anak. Tidak ada yang pernah tahu, bahwa Bu Malika adalah seorang mantan dukun santet yang sangat berbahaya di Desa Melati.

Untuk melakukan ritual santet; dia mengambil seekor tikus hitam besar; kemudian dipaku di atas meja ritual dan mencongkel keluar kedua bola matanya; merobek perut dan mengambil isinya; lalu - bola mata dan isi perut tikus - dicampurkan ke dalam rempah-rempah yang telah tercampur oleh empat embrio ayam kampung. Arkian, Bu Malika membuatnya menjadi sebuah sesajen, dengan menjadikan bangkai tikus sebagai mangkuknya. Dia juga tidak lupa untuk pergi ke rumah Pak Subayu - di tengah malam hari - untuk mengambil sekantong tanah di pekarangan rumahnya. Arkian, dia menaruhkan tanah itu ke dalam sesajen. Lantas dia membakar dupa dan mulutnya berkomat-kamit membacakan sebuah mantra; sampai akhirnya dia menghunus sebuah pisau keris kecil dan merobek urat nadinya, lalu meneteskan ke dalam sesajen hingga menciptakan serangkaian cahaya aneh dan bayangan abstrak yang menyeramkan. Dia melakukannya hingga tubuhnya tumbang dan tewas akibat kehabisan darah. Arkian, bayangan dan cahaya itu terbang ke langit dan melaju ke rumah Pak Subayu, lalu masuk ke dalam atap rumahnya. 

****

Di malam kematian Bu Malika; Pak Subayu mendapatkan sebuah mimpi buruk; di mana dia mendapati dirinya sedang berada di suatu tempat dengan langit berwarna merah darah; seperti bangkai candi yang dikuasai oleh koloni tikus hitam dengan rupa yang cacat menakutkan. Di tengah bangkai candi itu, dia mendapati seorang perempuan yang mengenakan gaun merah sedang berdiri membelakangi dirinya; menyisir rambutnya yang panjang dan hitam; bersenandung seperti sinden, dengan intonasi nada yang merindingkan. Setelah perempuan itu selesai bersenandung, dia mengeluarkan suara tikus yang menakutkan, sehingga membuat Pak Subayu lari terbirit-birit tanpa arah. Namun, langkahnya berhasil ditangkap dan ditahan oleh para tikus dan langsung merayapi tubuhnya. Setelah itu Pak Subayu langsung terbangun dari tidurnya dengan nafas yang berat.

Mimpi buruk itu terus terjadi setiap malamnya; hingga pada hari ketujuh, mimpi itu hilang dan berganti menjadi suara gaduh dari balik langit kamarnya; di dalam sebuah gudang yang terletak di loteng rumah. Suara riuh itu terdengar seperti jeritan koloni tikus agresif yang mengganggu, sedang mengacak-acak seisi gudang. Perkiraan jumlah mereka sekitar lebih dari 20 ekor. Walhasil, Pak Subayu tidak dapat tertidur di malam itu.

Ketika matahari telah terbit - sebelum pergi ke kantor balai desa - Pak Subayu menyempatkan diri untuk memeriksa isi gudang itu, bersama beberapa pekerja rumah tangganya. Di dalam sana, dia tidak menemukan apa-apa selain ruang gudang yang berisi perabotan rumah. Tidak ada yang ganjil; tidak ada yang rusak; tidak ada tanda-tanda keberadaan koloni tikus; seolah memang tidak ada apa-apa di dalam sana. Tidak puas dan kurang yakin; Pak Subayu memerintahkan para pekerja rumah tangganya untuk segera memburu tikus yang ada di dalam gudang. Kemudian dia lekas pergi ke kantor balai desa dengan suasana hati yang buruk.

Seusai pulang dari kantor balai desa, Pak Subayu mendapat laporan dari para pekerja rumah tangganya, bahwa mereka berhasil menangkap tiga ekor tikus; berukuran kecil; terlihat tidak agresif. Pak Subayu sangat tidak puas dengan hasil itu dan mencaci mereka. Namun para pekerja rumah tangganya berusaha menjelaskan, bahwa mereka hanya menemukan tiga ekor tikus itu di dalam gudang. Masih tidak puas dengan penjelasan tersebut, lantas Pak Subayu memberi perintah untuk menyebarkan perangkap tikus di dalam gudang itu.

Hingga malam kembali tiba, suara koloni tikus kembali terdengar di langit kamar Pak Subayu. Kali ini suaranya terdengar lebih rusuh dan liar daripada malam sebelumnya. Alhasil, Pak Subayu menjadi geram dan bergegas memanggil para pekerja rumah tangganya. Saat itu hanya ada seorang pekerja rumah tangga pria bertubuh gemuk - bernama Kiki - yang masih terjaga, sehingga Pak Subayu memintanya untuk menemani dirinya memeriksa isi gudang.

Setiba di depan gudang, suara tikus-tikus itu semakin menjadi-jadi dan terkesan mengamuk. Tetapi setelah pintu gudang dibuka, suara tersebut langsung hilang secara gaib. Lantas mereka segera menyalakan lampu gudang yang remang, serta mendapatkan perihal yang aneh. Keadaan di dalam gudang itu sangat rapi dan tidak ada kecacatan. Mereka tidak menemukan tanda-tanda dari kehadiran tikus-tikus yang agresif.  Seolah-olah suara tersebut bagaikan ilusi atau mimpi dalam keadaan terjaga yang sulit dijelaskan.  Lantas mereka segera menelusuri seluruh gudang dan menemukan semua perangkap tikus dalam keadaan rusak. Tetapi anehnya, tidak ada jejak atau darah tikus yang tertinggal di dalam gudang itu. Walhasil, penemuan tersebut telah menciptakan kebimbangan, sekaligus kengerian yang tidak masuk di akal sehat.

Seketika Pak Subayu mencium aroma kemenyan yang amis - muncul entah dari mana - menyelimuti seisi gudang. Aroma tersebut juga diiringi oleh suara perempuan yang bersenandung sinden, dengan suara yang tidak asing di telinga Pak Subayu. Alhasil, fenomena itu membuatnya bergidik. Tiba-tiba Kiki menjerit ketakutan dan terjatuh pingsan, setelah menatap ke salah satu sudut ruang gudang yang gelap. Pak Subayu yang melihat kejadian itu, secara spontan menoleh ke arah tempat yang dilihat Kiki, dan dia sontak terkejut bukan main.

Dia mendapati sosok perempuan bergaun merah yang sedang berdiri membelakangi dirinya, sambil menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna hitam. Perempuan itu dikelilingi oleh beberapa makhluk dengan tinggi sekitar 5'25 kaki; memiliki rambut panjang - berwarna gelap - dan tubuh berbentuk tikus; wajahnya yang berjanggut dan bergigi tajam adalah manusia yang jahat; memiliki cakar seperti tangan manusia; mengeluarkan suara tikus yang menakutkan dan menjijikan; sehingga terkesan seperti makhluk paling buruk yang pernah ada. Kemudian perempuan bergaun merah itu mulai menoleh ke arah Pak Subayu dan menatap murka. Aslinya perempuan itu adalah Bu Malika dengan rupa yang buruk tidak menyenangkan; memiliki wajah dari gabungan antara manusia dan tikus. Dia lantas menyeringai menyeramkan ke Pak Subayu, sehingga membuat tubuhnya jatuh di hadapannya. Kalakian, para makhluk di sekeliling perempuan itu langsung melompat ke atas tubuh Pak Subayu; mengerumuninya dengan beringas; menahan tubuhnya di atas lantai. Arkian, perempuan itu mulai berbicara dengan suara lantang yang merindingkan;

"Haruskah kau hidup bahagia... di atas penderitaan orang lain? Ini adalah balasan dariku... karena kau telah membunuh anak-anakku! Terkutuklah kau... manusia biadab! Aku akan mengajarimu... untuk hidup dalam kegilaan dan kengerian... yang tidak pernah kau rasakan semasa hidupmu! Kau tidak akan pernah bisa kembali seperti semula!"

Kemudian perempuan itu mulai melafalkan sebuah mantra kutukan ke Pak Subayu, dengan bahasa yang belum pernah dia dengar sebelumnya; gabungan dari bahasa Sansekerta, Ibrani, Latin, dan Arab. Arkian, para makhluk itu mulai mengeluarkan suara tikus yang menyeramkan; lalu membawa Pak Subayu yang menjerit histeris; melompat ke dalam jurang kegilaan dan kengerian. 

****

Setelah beberapa waktu kemudian, istri Pak Subayu - dengan ditemani oleh beberapa pekerja rumah tangga lainnya - datang ke dalam gudang, setelah mendengar suara jeritan Kiki dan suaminya. Setibanya di sana, mereka mendapati sebuah pemandangan mengerikan; di mana Pak Subayu sedang berjongkok di atas tubuh Kiki; menggeramus tubuh gemuknya yang sudah setengah termakan. Ketika hendak didekati, Pak Subayu langsung melempar tatapan tak manusiawi ke orang-orang di sekitarnya, sambil mengeluarkan suara tikus yang ganas dan menakutkan. Istrinya menjerit panik dan terjatuh pingsan, sedangkan para pekerja rumah tangganya berusaha memisahkan mayat Kiki dari Pak Subayu dan mengamankannya.

Tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi dengannya. Tidak ada yang tahu juga cara menyembuhkannya. Seakan-akan itu adalah penyakit ghaib yang langka dan mematikan. Kini dia terlihat seperti seekor tikus ganas yang kelaparan, dan siap memangsa orang yang ditemuinya. Karena keadaan Pak Subayu sangat membahayakan, maka mereka segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa yang berada di kota dan mengurungnya di sana. Pihak rumah sakit mencegahnya untuk bertemu dengan orang lain selain perawat yang bertugas, sekaligus memantau seharian penuh dirinya. Bahkan, mereka juga harus mengikat kedua tangannya, serta memasang pengaman di mulutnya; karena - jika Pak Subayu tidak mendapatkan orang untuk dimangsanya - dia akan memakan tubuhnya sendiri.

Semenjak Pak Subayu diisolasi di rumah sakit jiwa, jabatan kepala Desa Melati jadi kosong. Alhasil, para warga sepakat untuk memilih sekretaris atau asisten dari Pak Subayu - bernama Pak Wulyono - untuk menjabat secara sementara sebagai kepala desa. Beruntungnya, Pak Wulyono adalah orang yang jujur dalam mengabdi kepada masyarakat. Bahkan, sejak dia menjabat, para warga Desa Melati mulai mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah secara menyeluruh. Selain itu, Pak Wulyono juga berhasil menjalankan amanatnya dengan baik, sehingga dia berhasil membangun keterpurukan Desa Melati selama kepemimpinan Pak Subayu. Seolah-olah, dia adalah orang yang bisa melanjutkan tongkat estafet dari pendahulunya - Pak Basuki - dalam membangun Desa Melati.

Alhasil, setelah pemilihan kepala desa selanjutnya, Pak Wulyono telah terpilih - secara resmi - sebagai kepala Desa Melati. Kemudian dari situlah mulai terbongkar kasus-kasus korupsi dana bantuan sosial di zaman Pak Subayu. Banyak warga yang tercengang dan tidak percaya dengan kenyataan pahit tersebut. Walakin, nasi telah menjadi bubur, para warga merasa tidak ada gunanya melaporkan kasus itu ke pemerintah pusat atau lembaga anti korupsi. Sebab Pak Subayu - si pelaku korupsi - sudah mendekam di rumah sakit jiwa dalam keadaan mengerikan; menjerit-jerit seperti tikus ganas; tamak akan darah dan daging; tidak pernah bisa kenyang dan terus kelaparan. Semua harta kekayaannya telah dijual untuk biaya perawatan dirinya. Bahkan rumah mewahnya juga ikut dijual dan keluarganya telah pindah ke kota, demi mengurusi Pak Subayu yang malang dan terkutuk itu. Entah Pak Subayu akan sembuh atau tidak? Tidak ada yang tahu. Yang pasti warga Desa Melati sangat mensyukuri atas karma menyeramkan yang menimpanya.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler