x

Takut

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 16 Agustus 2021 06:49 WIB

Mengapa Ada yang Takut Kehilangan?

Mengapa harus takut kehilangan yang bukan milik? Harus tutup mata dan hati mempertontonkan keserakahan dan kekuasaan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sorotan rakyat, baik sebelum maupun kini dalam situasi pandemi, ternyata tak pernah lepas dari berbagai masalah yang terus dibuat oleh pemerintah dan parlemen, yang tentu saja aktornya para politisi.

Masyarakat juga dapat membaca dan menebak sutradara di belakang mereka siapa, untuk kepentingan apa, bagaimana intriknya, kapan waktunya, di mana tempatnya, dan siapa yang membawakannya.

Sekitar 7 tahun ini

Sehingga, praktis dari sekitar tujuh tahun lalu hingga sekarang, negeri ini terus diterpa masalah dan sengkarut tak berujung. Herannya, meski masalah-masalah dan sengkarut dibuat oleh mereka, namun bila rakyat memberi masukan, mengkritik, sampai melakukan demonstrasi, mereka tidak bergeming dan tetap asyik masuk menjalankan skenario dan penyutradaraannya sesuai ambisi dan program mereka.

Sampai-sampai, sering saya jumpai di berbagai media massa maupun media sosial, ada rakyat yang membela mereka dengan kalimat yang tak asing yaitu sepertinya tidak ada yang benar yang dilakukan oleh mereka. Selalu saja salah.

Pada suatu kesempatan, sempat saya jumpai ada rakyat yang membela luar biasa kepada junjungannya, dan kurang lebih mengucapkan kalimat yang sama demi membela mereka. Padahal, pokok bahasannya saat itu jelas hanya dalam satu topik/tema, yang membikin berbagai pihak dan rakyat kecewa, marah, sedih dan ungkapan sejenisnya, atas kebijakan dan peraturan yang dibikin oleh pemimpin yang diberi amanah oleh rakyat.

Tetapi, pemuja abadi tetap saja ngeyel dan mencampuradukkan dengan masalah lain, yang juga menjadi masalah bagi rakyat.

Sampai-sampai saya bilang, bila mata hati sudah dibutakan, maka misalnya melihat warna hitam pun akan disebut putih. Padahal dalam kesempatan itu, sampai dijelas-jelaskan bahwa, sejak pemimpin Indonesia pertama siapa, sampai sebelum pemimpin Indonesia sekarang siapa, berbagai pihak dan rakyat juga sudah memberi kritik sampai demonstrasi kepada pemimpin negeri karena kebijakan dan aturannya bikin rakyat menderita.

Terlebih sejak kran reformasi di buka. Berbagai pihak dan rakyat pun memaknai momentum tersebut dengan menjadi pendamping pemimpin dengan kritik dan sarannya agar tak salah arah dan salah jalan.

Namun, sejak tujuh tahun lalu hingga sekarang, secara statistik dan matematis, nyatanya masalah dan sengkarut di negeri ini bisa dibilang unggul telak dari periode kepemimpinan sebelumnya dan tak pernah tuntas dan tak berujung dalam  persoalan sengkarut yang mereka bikin.

Keserakahan, kekuasaan, takut kehilangan

Lebih ironis, nafsu keserakahan dan ambisi kekuasaan pun ditunjukkan tanpa rasa malu di hadapan rakyat, meski kondisi rakyat sangat menderita akibat skenario dan penyutradaraan mereka. Bahkan tanpa malu dan mengukur diri, menjadikan seantero negeri ini menjadi seperti milik mereka sendiri. Mereka sangat takut kehilangan yang bukan milik mereka.

Sejatinya melihat fakta dan fenomena tentang ketakutan kehilangan, keserakahan dan ambisi mereka, rakyat jelata sudah malas meski untuk sekadar komentar kecil. Pasalnya, rakyat jelata tahu, bahwa saat para ahli, akademisi, dan berbagai pihak di negeri ini telah memberikan kritik, masukan, saran, hingga teguran, mereka akan tetap saja menjalankan aksi sesuai skenario dan penyutradaraannya. Dan, selalu punya jawaban ngeles yang sebenarnya dangkal, tapi seolah paling hebat dan benar.

Bila dikalkulasi, sebelum corona datang, sudah ada berapa masalah yang dibikin mereka dan mendapat perlawanan rakyat Saat ada pihak dan rakyat? Lalu, kira-kira mana kebijakan dan aturan yang dipermasalahkan kemudian ditiadakan, dibatalkan karena akhirnya mendengarkan keluhan dan jeritan rakyat?

Lalu, saat pandemi corona datang? Kira-kira ada berapa masalah yang mereka bikin? Ada berapa kebijakan dan aturan yang tetap tak pernah mendengarkan rakyat? Sampai-sampai alat tes corona pun menjadi lahan bisnis dan harganya mahal. Pun tak pernah ada audit?

Mirisnya, apa pun masalah yang dibikin, apa pun kebijakan dan aturan yang diteriaki rakyat. Mereka selalu piawai ngeles. Bahkan ada bersembunyi pada kata-kata kebenaran dan kebaikan. Apakah kebenaran dan kebaikan itu untuk rakyat? Atau untuk diri mereka sendiri?

Ketakukatan kehilangan, ambisi keserakahan dan kekuasaan yang kini sedang dipertontonkan tanpa rasa malu, dilakukan dengan berbagai intrik demi mereka kokoh menjadi penguasa. Ada cara membikin pandemi baliho untuk iklan dan survei. Meski mereka beralasan tak mencari pemimpin survei. Tak ada kaitan dengan 2024.

Cara lain pun di tempuh di parlemen dengan upaya membikin kekuasan tiga periode. Nampaknya memang itulah sandiwara yang sengaja digelontorkan dengan itikad aji mumpung. Mumpung masih menguasai maka semua cara mereka halalkan sendiri. Tak peduli rakyat sedang hidup di bikin susah oleh mereka juga.

Ingatlah, bila tak sakit mata dan tak buruk hati, maka warna hitam akan tetap hitam. Mustahil dibilang putih. Sebab, yang benar itu sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah, tidak berat sebelah adil, lurus (hati), dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya), tidak bohong, sah, sangat, sekali, dan sungguh.

Dan, yang baik itu elok, patut, teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dan sebagainya), mujur, beruntung, berguna, tidak jahat (tentang kelakuan, budi pekerti, keturunan, dan sebagainya), sembuh, pulih, selamat (tidak kurang suatu apa), selayaknya, dan sepatutnya.

Jadi, mengapa harus takut kehilangan yang bukan milik? Harus tutup mata dan hati mempertontonkan keserakahan dan kekuasaan?


 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler