x

Kerendahan hati

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 18 Agustus 2021 16:37 WIB

Kerendahan Hati Eko, Raih Perak Masih Meminta Maaf, Tapi Tak Ada Pemerintah Minta Maaf dan Belasungkawa Akibat Corona

Terima kasih Eko, sudah meraih perak, mengibarkan Bendera Merah Putih harumkan bangsa dan negara Indonesia di kancah olahraga dunia saja masih rendah hati, bahkan kamu masih meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Bangganya kami padamu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tepat di Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76, 17 Agustus 2021 ternyata setelah saya kalkulasi, baik di media massa maupun media sosial, berbagai pihak justru banyak yang berkomentar dan berbagai konten yang mempertanyakan arti merdeka karena merasa masih dijajah di berbagai bidang oleh anak bangsa sendiri.

Mawas diri, penjilat

Terlebih, bila sebelumnya rakyat bersuara sampai berdemonstrasi menentang pemerintahan sekarang, atas berbagai peraturan dan kebijakan yang tak memihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat, kini sasaran berbagai pihak pun sudah sampai menukik langsung kepada pemimpin negeri ini.

Mulai dari pemberian julukan oleh para mahasiswa, ada mural, hingga mengenakan baju adat suatu daerah pun tetap bisa dijadikan bahan untuk kritik. Namun, atas fenomena ini, pihak pendukung pemimpin/pemerintah justru mencari kambing hitam lain seperti seolah ada merendahkan ini dan itu, dan mencoba membela tanpa mau melihat fakta bahwa yang melakukan tindakan demikian itu adalah representasi dari sikap masyarakat dan berbagai pihak yang sudah gerah dengan situasi yang diciptakan oleh pemerintah, khususnya pemimpin itu sendiri.

Harus disadari dan sewajibnya menjadi refleksi dan evaluasi bagi pemerintah dan stakeholder pendukungnya, mengapa kini rakyat kritiknya langsung kepada Presiden. Dan, pihak di lingkaran Presiden pun juga tetap berupaya melakukan pembelaan, yang istilah umumnya kini sangat dihafal rakyat, sebagai pihak penjilat.

Bahkan kini pun, muncul satu sosok yang disepadankan dengan salah satu sosok di Istana, yang begitu luar biasa menjadi pembela, meski masyarakat juga tahu apa latar belakang sosok ini sebelumnya. Ternyata, kini di Istana menjadi ada dua sosok pembela yang dulunya penentang.

Jadi, bila mereka semua mawas diri atas sikap rakyat yang masif menyerang dengan kritik yang sudah mengarah ke personal dan kelompok mereka, maka tentu yang seharusnya ada adalah sifat dan sikap ksatria yang diteladankan oleh para pahlawan perebut kemerdekaan RI yang tanpa pamrih dan tak ada kontrak dengan pihak berkepentingan, tapi rela berkorban nyawa demi Indonesia merdeka.

Kerendahan hati Eko


Atau, mereka juga seharusnya malu terhadap pahlawan Indonesia yang berjuang di kancah dunia tanpa pamrih, di dadanya hanya untuk Indonesia tanpa syarat, dan dalam 3 kali Olimpiade selalu mengharumkan nama Indonesia dengan garansi medalinya.

Dia adalah pahlawan Indonesia dari cabang olahraga angkat besi bernama Eko Yuli Irawan yang membuktikan kapasitasnya sebagai jaminan medali bagi kontingen Indonesia pada Olimpiade Tokyo 2020.

Namun, meski terus menyumbangkan medali, jiwa ksatria dan rendah hatinya terpancar. Di kancah dunia, perolehan medali baik itu perunggu, perak, atau Emas, maka otomatis bendera negara peraih medali akan sama-sama dikibarkan. Jadi, jangankan perak, meraih perunggu saja sudah sangat disyukuri.

Tapi apa yang dilakukan oleh Eko selepas dipastikan meraih perak, dan rakyat Indonesia yang menonton siaran langsung perjuangan Eko dari televisi langsung terharu.

Dalam siaran persnya, Eko malah secara tak terduga meminta maaf kepada masyarakat Indonesia karena hanya mampu persembahkan medali perak padahal meraih perunggu saja tak mudah.

Kembali ke masalah pemimpin dan pemerintah dan para pendukungnya, mengapa tidak bersikap seperti Eko. Eko jelas sudah berprestasi, tetapi tetap meminta maaf, lho.

Bila sekarang rakyat langsung mengarahkan kritik kepada pemimpin negara, wajib dipahami konten dan fakta-fakta mengapa lahir kritik itu.

Tak meminta maaf, tak berbelasungkawa

Sebelum pandemi datang, sengkarut dan kisruh di negeri ini terus diproduksi oleh mereka, dan korbannya jelas rakyat. Kini, begitu pandemi corona datang, rakyat juga terus jadi korban sampai ratusan ribu nyawa melayang. Tidak berhenti di situ,  rakyat juga masih harus memikul beban akibat aturan dan kebijakan yang mereka buat, padahal yang tak tegas dan plin-plan menangani corona siapa?

Yang sangat miris, di luar rakyat terus dihujani kebijakan dan aturan yang mereka buat berjilid-jilid dan mereka juga tak sepandan mengganti kerugian rakyat khususnya untuk makan dan hidup, ternyata, pemimpin dan pemerintah benar-benar tak punya hati, karena tak pernah meminta maaf kepada rakyat, khususnya berbelasungkawa karena ratusan ribu nyawa rakyat melayang. Banyak anak-anak yatim dan yatim piatu baru di Indonesia.

Sangat berbeda dengan pemimpin negara lain, yang di media massa sudah tersiar bahwa mereka meminta maaf kepada rakyat atas penganan corona yang belum sesuai harapan dan mengucapkan belasungkawa sedalamnya karena rakyatnya banyak yang meninggal.

Bagaimana dengan Indonesia? Saya mencatat, Presiden sekali mengucapkab belasungkawa saat 100 Nakes meregang nyawa akibat corona. Namun, setelah itu, hingga kini, permintaan maaf dan belasungkawa untuk rakyat, sekali pun belum pernah diucapkan oleh Presiden.

Ada harapan saat momentum Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021), di situlah Presiden berkesempatan menyampaikan pidato kenegaraan. Lalu, akan dijadikan momentum oleh Presiden untuk meminta maaf kepada rakyat khususnya di bidang corona, karena pemerintah masih gagal menangani corona dan membuat rakyat menderita.

Sayang, ucapan maaf itu tak pernah terucap. Ucapan belasungkawa pun seperti tak pernah merasuk dalam pikiran dan hati, meski sekitar seratus duapuluh ribu nyawa rakyat melayang akibat corona. Akibat dari ketidaktegasan Presiden dan pemerintah yang lebih membela ekonomi daripada nyawa, karena sesuatu.

Alih-alih meminta maaf dan mengucap belasungkawa, Presiden malah meminta masyarakat meningkatkan kesadaran dan gotong royong soal protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan agar pandemi bisa terkendali. Itu saja yang diulang-ulang.

Rakyat juga bingung, saat berbagai pihak dan masyarakat menggugat harga alat tes corona karena di India sangat murah. Presiden malah sudah tampil di layar televisi dengan membikin kesimpulan meminta harga alat tes corona turun  tapi sudah membikin ketentuan batasan antara 450 ribu sampai 550 ribu. Sontak masyarakat pun menanggapi bahwa itu juga masih kemahalan.

Tetapi yang menjadi penting, mengapa Presiden mendahului menentukan harga, sementara di media massa stakeholder terkait masih hitung-menghitung.

Inilah, sekadar catatan manis saya, persis di usia Indonesia 76 tahun. Masyarakat benar-benar merasakan masih dijajah oleh pemimpin dan pemerintah/parlemen. Kerendahan hati pemimpin juga masih mahal harganya, tapi penderitaan rakyat siapa yang bikin, tidak ada yang minta maaf. Nyawa ratusan ribu rakyat melayang pun tak berharga, tak ada belasungkawa.

Terima kasih Eko, sudah meraih perak, mengibarkan Bendera Merah Putih harumkan bangsa dan negara Indonesia di kancah olahraga dunia saja masih rendah hati, bahkan kamu masih meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Bangganya kami padamu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB