x

cover buku Pinangan Dari Selatan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 19 Agustus 2021 08:30 WIB

Renungan Tentang Hubungan Jawa Luar Jawa dan Etnis Tionghoa dalam Masa Depan Indonesia

Pinangan Dari Selatan adalah novel yang menggabungkan kehidupan nyata dengan kehidupan mistik tentang kondisi Indonesia saat ini. Diwarnai dengan pembunuhan-pembunuhan lelaki yang menjahati perempuan dan kemanusiaan, Indra J. Piliang mengajak kita merenungi masa depan Indonesia, khususnya dari sisi hubungan Jawa (Selatan), Luar Jawa (Utara) dan etnis Tionghoa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pinangan Dari Selatan

Penulis: Indra J. Piliang

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Sang Gerilya Indonesia            

Tebal: 420

ISBN: 978-602-7449-0-4

Ada dua hal menarik yang saya renungi dari novel ini. Pertama adalah tentang tokoh-tokoh beretnis Tionghoa yang cukup menonjol dari cerita rekaan IJP. Kedua adalah tentang hubungan Jawa-Luar Jawa dalam perpolitikan dan masa depan Indonesia.

Namun sebelum membahas tentang dua topik yang saya renungkan, sebaiknya kita lihat dulu bagaimana alur kisah novel setebal hampir 500 halaman ini.

Novel berjudul “Pinangan Dari Selatan” karya Indra J. Piliang (IJP) ini membahas kehidupan malam di Jakarta yang dibalut dengan kisah-kisah mistik. Kisah berawal dengan para perempuan keturunan orang Samun yang mendapat tugas membunuh lelaki-lelaki yang berbuat jahat bagi perempuan dan kemanusiaan. Tugas mistis ini dilaksanakan dalam dunia yang penuh gebyar yang berpusat pada sebuah diskotik di Jakarta Utara yang bernama Diskotik Kurva.

Novel ini agak lambat di bagian awal. Sebab IJP mengawali kisahnya jauh ke jaman Perang Diponegoro. Kisah tentang sosok William, tentara bayaran asal Afrika Selatan yang ternyata adalah anak dari Setyo Karsono seorang prajurit sandi Diponegoro (hal. 11). Ibu William yang mengandung benih Setyo Karsono dipaksa pergi ke Afrika Selatan demi menyelamatkan nama baik keluarganya. Sosok William inilah yang kemudian menjadi bagian dari suku Samun yang menghadirkan para perempuan pembunuh lelaki yang mendholimi para perempuan dan kemanusiaan. Sementara di Utara (Sumatra Barat) terjadi kesepakatan dengan pihak selatan untuk memerangi pengaruh asing dan pergolakan pusat daerah (hal. 32).

Cerita di novel ini baru mengalir lebih cepat ketika kisah sudah berada di sekitar Jakarta. Hendaru, seorang pemuda yang menjadi anggota jemaat Ustaz Noval terbunuh saat melakukan sweeping ke Diskotik Kurva (hal. 57). Terbunuhnya Hendaru ini menjadi titik awal bertemunya kisah mistis orang-orang Selatan (para perempuan Samun) dengan tokoh Tentra, pemuda dari Sumatra Barat yang menjadi mahasiswa di Universitas Depok.

Tentra yang berbakat menjadi wartawan terseret untuk ikut menyelidiki kematian seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang bernama Kokoh Leo (Leonardus) yang mati di Ancol, di dalam mobilnya. Mobilnya berada tak seberapa jauh dari Diskotik Kurva (hal. 177). Tentra menduga bahwa kematian Kokoh Leo berhubungan dengan kehidupan malam di Diskotik Kurva. Dari sinilah kemudian kisah mengalir dengan menghadirkan tokoh-tokoh perempuan pembunuh tersebut. Tokoh-tokoh perempuan yang muncul dalam novel IJP adalah Uleta (adik angkat Hendaru) dan Ritmi yang bekerja sebagai LC (Ladies Companion - gadis yang menemani tamu di diskotik); Cecillia dan Rabita para Mami yang mengelola para LC  dan Umangi Siberuti yang menjadi adik kelas Tentra saat SMA di Sumatra Barat. Para perempuan itu bertugas untuk membunuhi para lelaki yang menjahati para perempuan dan kemanusiaan. Pembunuhan selalu dilakukan saat bulan Purnama penuh.

Cerita menjadi sangat terburu-buru saat menjelang akhir. Pembunuhan yang dilakukan para perempuan itu dikisahkan terjadi secara serentak di berbagai kota. Kejadian-kejadian itu dikisahkan hanya dalam beberapa halaman.

Novel diakhiri dengan terbunuhkan tokoh pengelola diskotik transit yang bernama Novib, terbunuhnya Ustaz Noval dan Cecillia dalam sebuah penyerbuan ke Diskotik Kurva. IJP menghadirkan kejutan di akhir novel, dimana Noval, Novib dan Novan ternyata adalah tiga anak kembar, anak dari Kokoh Ceng Kok pemilik Diskotik Kurva dengan seorang perempuan pribumi.

Sekarang marilah kita lihat bagaimana IJP menggambarkan orang Tionghoa di novel ini. Seperti telah saya sampaikan di atas, ada dua tokoh beretnis Tionghoa dalam novel ini. Keduanya adalah lelaki. Meraka itu adalah kokoh Ceng Kok, sang pemilik diskotik Kurva dan Kokoh Leonardus (Leo) seorang pengusaha yang suka berkunjung di diskotik Kurva.

Kokoh Leo digambarkan sebagai lelaki kaya raya yang suka memakai LC sekehendaknya (hal. 174). Kematiannya menimbulkan spekulasi. Leo mati akibat dari persaingan para pengusaha batubara di Kalimantan dan persaingan pembiayaan partai politik tertentu (hal. 191). Penggambaran Kokoh Leo ini sangat stereotipik orang Tionghoa di Indonesia. Tionghoa itu arogan, kaya dan tukang suap.

Berbeda dengan tokoh Kokoh Leo, tokoh Kokoh Cek Kok lebih rumit. Kokoh Ceng Kok meniti karir sebagai pengusaha dari bawah. Ia digambarkan sebagai seorang Cina Benteng yang miskin (hal. 418). Ia menikah dengan seorang pribumi. Kokoh Ceng Kok tidak rakus-rakus amat, karena dia mau melindungi perempuan-perempuan yang bekerja kepadanya karena kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak. Ia tidak “mencoba” Uleta saat Uleta melamar menjadi LC di diskotiknya. Sebab ia tahu bahwa Uleta masih gadis dan membutuhkan uang untuk kelanjutan sekolahnya serta menghidupi keluarganya (hal. 123 dan hal. 307). Kokoh Ceng Kok juga tergerak untuk membenahi bisnisnya supaya bisa bebas dari peredaran narkoba, setelah kejadian kematian Hendaru. Ia juga bersedia menyerahkan bisnisnya kepada Novan, anaknya yang bersekolah di Selandia Baru, supaya bisnis tersebut ditata menjadi lebih baik. Bebas dari narkoba dan bebas dari pelacuran. Ceng Kok memberikan fasilitas bagi LC yang hamil dan melahirkan. Melalui Yayasan Ceng Ho ia memelihara anak-anak para LC tersebut. Ia berupaya menyelamatkan para LC saat Diskotik Kurva diserbu.

Yang paling menarik tentang tokoh Ceng Kok adalah pernikahannya dengan seorang perempuan pribumi yang tidak diterima masyarakat (hal. 398). Apakah IJP mau menyampaikan bahwa masyarakat sebenarnya belum siap menerima asimilasi orang Tionghoa dengan suku lain?

Di novel ini anak kembar Kokoh Ceng Kok digambarkan berprofesi berbeda-beda. Noval menjadi Ustaz, Novib menjadi pengusaha diskotik yang penuh narkoba dan Novan menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. IJP sepertinya mau berkata bahwa generasi Tionghoa saat ini sudah ada diberbagai bidang. Mereka tidak lagi selalu menjadi pengusaha rakus yang menghalalkan segala cara.

Membaca novel ini mau tidak mau saya merenungkan hubungan Jawa (Selatan) dan luar Jawa (Utara) serta keberadaan etnis Tionghoa dalam kehidupan Indonesia. Tokoh Tentra yang berasal dari Utara hanyalah menjadi saksi dari kehidupan penuh liku. Sedangkan tokoh Hendaru dan Cecillia yang berasal dari Selatan adalah pelaku utama. Cecillia menjadi pelaku utama yang kasat mata, sedangkan Hendaru adalah pelaku utama yang tidak kasat mata. Di akhir novel digambarkan Hendaru dan Cecillia bersatu berenang di Laut Selatan. Mereka berdua melambaikan tangan kepada Tentra yang hanya bisa menyaksikan. Sementara itu, Anggreki Ciliwungi, anak Novan dengan Cecillia menjadi penerus kisah Indonesia.

Untunglah IJP memasukkan tokoh dari Kalimantan bernama Sangkurun Ngajuku, Kepala BNN yang bisa mengatasi kerusuhan penyerbuan Diskotik Kurva oleh kelompok Noval. Mungkin IJP melihat pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan sebagai sebuah masa depan bagi Indonesia? Siapa tahu. Ini hanyalah sebuah novel. Dan apa yang saya ungkapkan juga hanya sebuah renungan hasil dari saya membaca novel ini. 618

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB