x

Berbudi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 23 Agustus 2021 06:01 WIB

Siapa Kunci Keberhasilan Pengajaran dan Pendidikan Sastra?

Pengajaran dan pendidikan sastra melalui jalur formal (Sekolah dan Perguruan Tinggi) masih terpuruk. Penyebabnya adalah kompetensi guru dan dosen. Agar pengajaran dan pendidikan sastra daring berhasil di masa pandemi, guru dan dosen wajib mengasah kompetensi sastranya dan kreatif, inovatif, dan menggunakan strategi dan teknologi pengajaran dan pendidikan yang tepat. Guru dan dosen  pun dapat meneladani para artis selebgram dalam membuat konten.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengajar-mendidik sastra = manusia berbudi, bila tak setengah hati. ((Supartono JW.21082021)

MAKALAH ini saya sampaikan dalam Webiner Nasional: Wajah Baru Kreasi Sastra di Masa Pandemi.

Disadari (Diskusi Sastra Daring) di Sekolah Pascarajana UHAMKA Jakarta, Sabtu, 21 Agustus 2021

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di masa pandemi corona, bagaimana dengan kondisi pengajaran sastra? Terlebih, hingga sekarang sekolah masih dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau online atau daring. Namun, meski kondisi dunia sedang tidak normal karena virus corona, hingga pembelajaran tatap muka (PTM) belum dapat digulirkan, maka dengan mengingat makna dan tujuan dari sastra itu sendiri, maka tidak ada alasan bagi guru untuk tidak dapat melakukan pengajaran bahasa Indonesia, khususnya sastra yang ada di dalamnya menjadi terkendala.

Sebelum membahas masalah pengajaran sastra di masa pandemi, maka perlu kita lihat dulu bagaimana pembejaran daring secara umum di Indonesia. Setelah kita pahami peta masalah pembelajaran daring secara umum, maka secara tidak langsung, pembelajaran sastra akan dapat tersirat bagaimana kondisinya.

(1) Kesulitan pembelajaran daring, gangguan sinyal

Dalam pemberitaan di media massa terbaru, Senin (16/8/2021), kesulitan pembelajaran selama pandemi Covid-19 masih dirasakan oleh peserta didik (SMP) di wilayah DKI Jakarta, terutama dalam mendapatkan pemahaman materi pembelajaran selama mengikuti daring. Dalam berita juga dikisahkan bahwa, pengajar (guru) juga lebih banyak meminta peserta didik membaca materi. Akibatnya pemahaman materi susah dimengerti dibandingkan bila pembelajaran dengan tatap muka.

Selain masalah pemahaman, untuk pembelajaran daring via Zoom atau Google Class Room pun, membikin peserta didik sering kehabisan kuota internet, meski sudah ada bantuan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Dalam mengatasi kesulitan pemahaman materi  via daring, keluarga akhirnya sering ikut membantu, namun keluarga (orang tua/kakak/lainnya) ternyata juga tidak selalu dapat memecahkan materi pelajaran yang sulit. Padahal dalam sehari, belajar selama dua jam, faktanya ada tugas dari guru antara dua dan tiga.

Saat saya mencoba menggali permasalahan pembelajaran daring kepada salah satu guru yang mengajar di salah satu sekolah swasta unggulan, juga di wilayah DKI, Selasa (17/8/2021), guru bersangkutan juga menyatakan hal yang sama. Tetapi, ada kendala yang sering dialami dalam proses belajar daring, yaitu gangguan internet, sinyal sering tersendat. Sekolah sampai berupaya mengeluarkan biaya besar agar internet sinyalnya kencang dan meminta guru mengajar dari sekolah. Tetapi tetap saja ada kendala sendat, lelet, dan terhambat (buffering) ke peserta didik yang juga menggunakan jaringan dan provider yang berbeda. Kendala jaringan internet tersebut juga menjadi persoalan yang sangat  tidak nyaman dalam penyampain materi pembelajaran oleh guru.

Menurut peserta didik, sebenarnya pembelajaran daring lebih ringan, tetapi pembelajaran tatap muka (PTM) atau luring tetap lebih nyaman dan lebih mudah memahami materi pelajaran. Karenanya peserta didik berharap semoga pandemi corona segera berakhir. Tetapi, fakta, bahwa pandemi corona tidak tahu sampai kapan akan berakhir, khususnya di Indonesia, sementara pemerintah pun masih terus melakukan kebijakan PPKM berjilid-jilid, pilihan pembelajaran tidak ada lagi selain dengan daring. Pertanyaannya, bagaimana mengatasi pembelajaran daring yang dapat membikin peserta didik nyaman dan paham materi pelajaran? Padahal, tugas pembelajaran bukan sekadar peserta didik paham materi, tapi juga terdidik, hingga peserta didik menjadi cerdas otak dan cerdas mental dan emosi, berkarakter dan berbudi, serta rendah hati. Sementara, kesulitan memahami materi dan persoalan sinyal internet saja masih terjadi pada peserta didik di wilayah DKI Jakarta. Bagaimana dengan wilayah lain dan pelosok negeri yang pasti juga memiliki kendala lebih dari itu?

(2) Hasil survey Kemendikbud Ristek, cermin kompetensi guru

Dalam siaran pers yang dilansir beberapa media massa nasional, saya kutip dari Kompas.com Sabtu (14/8/2021), Pusat Penelitian dan Kebijakan Kemendikbud Ristek telah melakukan survei pelaksanaan pembelajaran daring atau belajar dari rumah (BDR) selama tahun 2020. Hasil survei ternyata sesuai dengan apa yang dikhawatirkan berbagai pihak selama ini. Pasalnya, tanpa pandemi corona saja, pendidikan di Indonesia sudah dan terus terpuruk. Sehingga, saat pandemi corona, peserta didik harus belajar dengan cara daring atau BDR, maka tercerminlah kompetensi para pengajarnya dari hasil survei. Maka, tidak heran bila ternyata 85,90 persen peserta didik (SD) dalam belajar daring hanya sekadar mengerjakan soal-soal dari guru.

Pusat Penelitian dan Kebijakan Kemendikbud Ristek pun bersuara bahwa metode pembelajaran seperti ini tidak interaktif, menurunkan interaksi peserta didik dengan guru, peserta didik kesulitan memahami pelajaran, dapat menurunkan motivasi belajar. Melansir akun Instagram Direktorat SD Kemendikbud Ristek, Jumat (13/8/2020), hasil survey lengkap Kemendikbud Ristek menyoal belajar daring ini pun tambah mencengangkan.  Bagaimana tidak, selain ditemukan 85,90 persen peserta didik hanya (1) Mengerjakan soal-soal dari guru, hasil lainnya adalah (2) Belajar dari TV: 62,70 persen, (3) Belajar dari buku teks pelajaran: 53,40 persen, (4) Belajar interaktif bersama guru: 36,60 persen, (5) Belajar dari sumber belajar digital: 33,90 persen, (6) Membuat proyek sederhana: 20,30 persen, (7) Belajar dari aplikasi sumber belajar daring: 18,20 persen, dan (8) Belajar dari buku non-teks pelajaran: 12,40 persen.

Dari hasil survei tersebut, terdeskripsi dengan jelas, bagaimana peserta didik akan nyaman dan mudah memahami materi pelajaran. Padahal bisa saja guru meminta peserta didik berkolaborasi dengan orangtua untuk mengoptimalkan aktivitas di rumah sebagai bagian dari pembelajaran. Dapat pula guru menciptakan penugasan yang kreatif dan inovatif melalui  berbagai model proyek, seperti Project Based Learning misalnya. Dan, mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, serta mengoptimlakan dirinya sebagai subyek dan  obyek pembelajaran untuk keteladanan demi pengembangan diri peserta didik, lebih dari sekadar paham materi pelajaran, namun dapat mengaplikasikan dalam kehidupan nyata.

(3) Daring jangan darting (darah tinggi)

Akibat berbagai persoalan menyangkut pembelajaran daring, seperti disiarkan beberapa media massa nasional pada Sabtu (16/8/2021), Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto meminta orangtua untuk memastikan agar anak-anaknya gembira di tengah pandemi Covid-19. Karenanya, dia menekankan pentingnya sistem belajar daring yang menyenangkan, bukan malah berubah menjadi darting, darah tinggi, yang bikin anak stres di rumah.

Bagaimana tidak, selain persoalan yang sudah saya ungkap, masalah pembelajaran daring juga terus menjadi keluhan berbagai pihak dan orang tua karena sebagai pembelajaran yang dipaksakan, termasuk dengan kurikulumnya. Terlebih, dalam keterpaksaan pembelajaran daring ini, orang tua pun banyak terkendala komunikasinya dengan pihak sekolah maupun guru, meski sudah digemborkan menyoal kurikulum darurat maupun kurikulum adaptif.

Harus sangat disadari oleh semua pihak, terutama dalam hal ini guru, bahwa
belajar di rumah secara daring dibutuhkan edukasi teknologi alias edutech yang mumpuni. Selain faktor kompetensi guru dalam bidang pelajarannya, faktor penguasaan teknologi oleh guru, faktor kondisi sosial ekonomi peserta didik juga menjadi bagian penting dalam mengatasi solusi belajar daring ini, di luar dari masalah sinyal internet yang juga menjadi penghambat.

(4) Bagaimana pengajaran sastra?

Untuk mengorek bagaimana  pengajaran sastra selama pandemi dan bagaimana seharusnya pengajaran sastra daring, sebab sudah teridentifikasi bagaimana kendala dan hasil belajar daring secara umum yang masih gagal. Maka, perlu kita identifikasi dulu masalah dalam konteks sastra dan pengajarannya secara khusus. Hal ini sebagai sarana agar tertemukan solusi minimal pengajaran sastra daring, sehingga mampu membikin peserta didik paham materi dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan nyata, karena peserta didik mengenal sastra, mampu mengapresiasi karya sastra, dan mampu memproduksi karya sastra.

a. Sastra itu

Dilihat dari sudut makna, Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta yaitu shaastra, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman. Shaastra berasal dari kata dasar s- atau shaas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana.   Sementara dari sisi tujuan, Austin Warren dan Rene Wellek, dua tokoh teori sastra dunia mengungkapkan bahwa tujuan sastra adalah mendidik dan menghibur (dulce et utile). Karenanya, ketika mempelajari karya sastra, maka pebelajar akan terhibur karena larut pada cerita sekaligus terdidik karena pesan yang disampaikan.

Dengan memahami makna dan tujuan, maka bagi siapa saja yang bergumul (bergelut) dan menggumuli (memperdalam, mempelajari sebaik-baiknya) sastra, maka ujungnya akan menjadi manusia berbudi.

Pertanyaannya, apakah pihak yang bertugas bergelut dengan sastra, yaitu guru atau dosen sudah menggumuli sastra dengan benar dan baik, sehingga memiliki kompetensi untuk membagi sastra kepada peserta didik dan mahasiswa? Berikutnya secara estafet, para peserta didik dan mahasiswa meneruskan ilmu dan praktik sastra pada keluarga dan masyarakat selain untuk pengetahuan dan praktik bagi dirinya? Selanjutnya, saat peserta didik dan mahasiswa berubah menjadi orang tua, apakah mereka juga meneruskan ilmu dan praktik sastra pada anak-anak hingga cucu cicitnya?

Inilah yang hingga kini terus menjadi problematika di Indonesia, meski  Kurikulum Pendidikan sudah berganti baju 9 kali sejak Indonesia merdeka. Dia adalah Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KTSP 2006, serta Kurikulum 2013. Namun, menyoal sastra baik di pengajaran maupun praktik kehidupan nyata tetap terpuruk.

b. Mengapa  pengajaran sastra terpuruk?

Sekurangnya ada 2 faktor mengapa sastra terus terpuruk, pertama Kurikulumnya, kedua subyek pembelajarnya, yaitu kompetensi guru/dosennya. Dan, ini terjadi hingga sebelum pandemi corona menjajah dunia dan Indonesia. Dua faktor tersebut juga sangat kental dengan kata-kata miskinnya kreativitas, imajinasi, dan inovasi, sehingga semakin mengungkung sastra berkembang dan memasyarakat.

Sebelum Covid-19 datang, pengajaran sastra masih terpuruk, bagaimana dengan pengajaran saatra di masa pandemi yang mau tidak mau wajib dijalankan? Apakah pengajaran sastra di masa pandemi malah semakin numpang lewat dan sekadar formalitas karena guru/dosen kurang kompetensi? Sebab di masa sebelum pandemi, hal itulah yang terdata banyak terjadi.

Kini, di masa pandemi, apa pun alasannya, guru/dosen wajib melakukan tindakan adaptif. Ibaratnya, bila di masa tak pandemi saja mengajar sastra sudah beban, maka di masa pandemi menjadi dobel beban, beban rangkap dua kali lipat bahkan lebih. Selain beban kompetensi sastra, kreativitas, inovasi, dan strategi pembelajaran, kini ditambah dengan kompetensi, kreativitas, inovasi, dan strategi teknologinya.

Di sisi Kurikulum, sejatinya sudah ada upaya untuk adaptasi dengan Kurikulum Darurat, pembelajaran daring, namun di sisi subyek pengajarnya, tetap menjadi dilema meski sudah ada arahan, bimbingan, pelatihan, seminar dan sejenisnya dari seluruh stakeholder terkait. Di media massa pun, bertebaran tawaran alternatif bagaimana melakukan pembelajaran sastra yang kreatif dan inovatif. Namun, hingga corona hinggap di Indonesia jelang dua tahun, nyatanya suara-suara kegagalan pembelajaran sastra daring semakin masif.

Para guru yang jujur, mengungkap kebingungan karena porsi sastra di Kurikulum sangat terbatas. Sementara bagi guru yang tidak jujur, menganggap tidak ada masalah, melakukan pengajaran yang numpang lewat, namun peserta didik dan orang tua lah yang teriak karena sikap pengajarnya. Sastra ternyata juga kurang merasuk dalam pikiran dan hati para pengajarnya. Padahal, bila merujuk pada makna dan tujuan sastra, betapa vitalnya pembelajaran sastra bagi perikehidupan manusia. Bila sastra tak merasuk dalam pikiran dan hati pengajarnya, bagaimana sastra akan membekas pada pikiran dan hati peserta didik atau mahasiswa?

c. Parlemen dan Pemerintah tak bersastra

Lihatlah fakta di parlemen dan pemerintahan Indonesia, mereka dalam menjalankan amanah rakyat sesuai Pembukaan UUD 1945 juga terus timpang. Berbagai peraturan dan kebijakan (baca: sastra parlemen dan pemerintah) dibuat tak berpihak kepada rakyat. Tapi, demi untuk kepentingan mereka sendiri. Terus meneladani ambisi serakah, kekuasaan, takut kehilangan yang bukan milik, dengan memupuk dan memelihara oligarki dan dinasti dengan aji mumpung. Mumpung masih berkuasa. Itulah sastra yang diukir oleh parlemen dan pemerintah.

Sewajibnya, sesuai makna dan tujuan, sastra menjadi vital bagi perkembangan dan kemajuan budaya, serta karakter bangsa. Sastra yang berhasil, menyerang kedalaman pikiran dan hati manusia, pola pikir manusia, hingga berbudi pekerti luhur. Namun, hingga detik ini, rakyat masih sulit mencari keteladanan dari para elite negeri ini yang  diamanahi rakyat duduk di parlemen dan pemerintahan.

Bila tujuan sastra tercapai, berhasil mendidik dan menghibur, maka siapa pun yang bergelut dan menggumuli sastra, hatinya akan gembira. Hati gembira, terhibur adalah obat yang manjur untuk merawat pola pikir manusia yang positif, terlebih di saat pandemi dan otomatis meningkatkan imun. Ironisnya, meski dalam kondisi pandemi, sastra yang diciptakan para tokoh di parlemen dan pemerintahan, juga mencerminkan kegagalan pembelajaran sastra di Indonesia selama ini. Sepertinya, yang duduk di parlemen dan pemerintahan juga sangat kurang dalam bergelut dan menggumuli sastra.

d. Sastra lahir dari Sensibilitas, sensitifitas, responsibilitas (SSR)

Kemudian bicara kreativitas dan inovasi, sejarah dunia telah mencatat bahwa karya sastra hebat dan monumental banyak lahir di saat manusia sedang mengalami peristiwa sulit, kesusahan. Sehingga imajinasi menuntun kepada banyaknya karya sastra dunia dan Indonesia yang lahir karena rakyat menderita ditindas oleh pemerintahan otoriter. Banyak karya sastra lahir dengan tema wabah, bencana dan lain sebagainya.

 Dalam situasi sulit, susah, wabah, bencana, bagi manusia yang sudah bergelut dan menggumuli sastra hingga mendarah daging, dengan sendirinya akan mengalir rasa dan sikap sensibilitas, sensitivitas, dan responsibilitas (SSR). Sensibilitas, kemampuan menangkap peristiwa dari luar. Sensitivitas, kecepatan merespons peristiwa tersebut, dan responsibilitas, aksi nyata untuk mewujudkan proses sensibilitas dan sensitivitas.

Dengan pemahaman kuat atas makna, tujuan, dan SSR terhadap sastra, akan menjadi modal kuat bagi pengajar sastra dalam pembelajaran sastra yang mendidik dan menghibur, lalu disesuaikan dengan ranah pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Terlebih dengan kebijakan merdeka belajar, maka pengajar sastra memiliki keleluasaan dalam melakukan kreativitas dan inovasi pembelajaran dengan tetap memperhatikan kompetensi dirinya dalam pemahaman dan praktik sastra. Kemudian mengaplikasikan kepada peserta didik/mahasiswa dengan memperhatikan, kurikulumnya serta kolaborasi antara kompetensi, kreativitas, inovasi, dan strategi, untuk tingkat pendidikan dasar memperkenalkan sastra. Tingkat pendidikan menengah mengapresisi sastra, dan pendidikan tinggi memproduksi karya sastra.

Itu untuk takaran umum. Namun, saya juga tahu ada sekolah di ranah pendidikan dasar, karena kompetensi pengajarnya, peserta didik malah sudah mampu mengenal sastra, mengapresiasi sastra, hingga memproduksi karya sastra. Begitu pun sekolah di pendidikan menengah, ada yang sudah mumpuni hingga memproduksi karya sastra, tidak harus menunggu di ranah pendidikan tinggi.

Nah, dalam situasi pandemi, pengajar juga memiliki kedalaman tentang kondisi ekonomi dan sosial peserta didik/mahasiswanya. Dengan paham kondisi latar belakang siswanya, maka kreativitas, inovasi, dan strategi apa yang akan diterapkan dalam pengajaran sastra via daring tinggal pilih menu mana yang tepat diterapkan.

(5) Model pembelajaran sastra daring

 Dari identifikasi masalah pembelajaran daring pada umumnya, kemudian masalah pengajaran sastra dan problematikanya tersebut,  maka khususnya mengatasi masalah pengajaran sastra yang terpuruk, akan dapat diminimalisir. Dengan subyek guru atau dosen memahami betul kompetensi dan kualitas dirinya dalam hal sastra, sekurangnya yang paling minimal terhadap kemampuan bersastra, kemudian memahami situasi dan kondisi peserta didik atau mahasiswa terutama hal sosial dan ekonominya, maka guru atau dosen dapat memilih kreasi dan inovasi serta strategi pembelajarannya akan menggunakan media daring yang mana.

Yang pasti, dalam situasi pandemi dan keterbatasan kemampuan kompetensi sastra pengajarnya, maka hal bijak yang wajib dikedepankan adalah jangan sampai pembelajaran sastra tambah menjadi sekadar tempelan dan tambah numpang lewat atau formalitas.

a.  Guru atau Dosen adalah teladan

Agar pengajaran sastra tidak sekadar numpang lewat, tempelan atau formalitas, maka guru atau dosen wejib menjadi teladan. Jangan sampai  guru dan dosen menjadi pihak yang jarkoni (bisa mengajar tidak bisa melakoni). Sepanjang saya bergelut dalam pengajaran dan pendidikan sastra puluhan tahun, baik dalam kelas formal, ruang ekstrakurikuler, ruang pelatihan, ruang seminar dll,  peserta didik atau mahasiswa bahkan guru atau dosen merasa senang dan nyaman ketika belajar dan menerima pendidikan sastra karena menjadi bagian yang terlibat secara langsung, bukan hanya sekadar menjadi obyek pengajaran dan pendidikan. Dengan mereka terlibat langsung dalam hal sastra, maka pengajaran dan pendidikan sastra berubah menjadi kehidupan bersastra.

Untuk itu, guru dan dosen wajib mengidentifikasi dirinya sendiri, apa kompetensi yang diunggulkan yang dapat membikin peserta didik dan mahasiswa percaya diajar dan didik oleh orang yang memang mampu bersastra karena sudah pasti akan menjadi teladan tersendiri bagi peserta didik dan mahasiswa. Manakah hal sastra lisan dan tulisan yang sudah diproduksi oleh guru dan dosen bahkan juga mampu jadi pemeran atau aktor dari sastra lisan dan tulisan itu. Semisal dalam jenis tulisan, sudah menciptakan puisi, lagu, cerpen, naskah drama, artikel pendidikan, artikel sastra yang terpublikasi di media massa. Hal ini tentu menjadi tambahan kepercayaan tersendiri bagi peserta didik dan mahasiswa.

Dari kompetensi-kompetensi tersebut, yang sudah merupakan kesatuan dari mengenal sastra, mengapresiasi sastra, memproduksi sastra, mungkin melengkapi dengan kemampuan memproduksi pertunjukkan sastra, seperti penguasaan terhadap manajemen produksi dan manajemen artistik pertunjukkan sastra (puisi, cerpen, drama dll).

Bila salah satu bekal kemampuan tersebut sudah ada pada diri guru atau dosen, maka akan sangat mujarab membikin peserta didik atau mahasiswa menjadi tertarik dan hanyut dalam dunia sastra serta pengajaran dan pendidikan. Peserta didik atau mahasiswa pun menjadi percaya karena saat mengajar dan mendidik, guru dan dosen melakukan dengan sepenuh hati dan jiwa raga bahwa sastra itu memang luar biasa. Sastra adalah pedoman hidup. Karena sastra kita jadi tahu ada sebab, masalah, konflik, dan akibat dalam semua ranah kehidupan dunia dan manusia.

Dengan keteladanan tersebut, peserta didik dan mahasiswa pun menjadi percaya pada diri kita, sehingga yang awalnya tak mengenal sastra menjadi kenal. Lalu, mulai mencintai mengapresiasi sastra, kemudian mampu memproduksi karya sastra, dan akhirnya mampu pula membuat pertunjukkan sastra. Memang, selama ini, kawah candradimuka calon guru atau dosen tak cukup dalam membekali ilmu dan praktik sastra karena keterbatasan kurikulum dan juga kompetensi pengajarnya. Untuk itu, bagi para calon guru atau dosen atau yang sudah menekuni jadi guru dan dosen khususnya pengampu pelajaran bahasa dan sastra, wajib kreatif dan inovatif, mencari tambahan ilmu dan tempat praktik-praktik sastra secara mandiri, dengan bagaimana pun upayanya. Bila hal tersebut tak dilakukan oleh guru dan dosen, lalu terus berkutat menyalahkan dan mengkambinghitamkan keadaan baik kurikulum, sarana dan sebagainya, maka pengajaran sastra akan terus terpuruk.

Bagi guru dan dosen sastra, mustahil akan mampu mentransfer ilmu dan praktik sastra melalui pengajaran dan pendidikan dengan benar dan baik, tanpa menjadikan sastra minimal sebagai hobi, meskipun tidak berminat dan tidak berbakat. Belum lagi kendala daring dan teknologi di masa pandemi ini. Sebab, pengajaran dan pendidikan sastra via daring yang dilakukan oleh guru dan dosen yang berbakat  dan mumpuni dalam sastra sekali pun, belum tentu berhasil karena ada faktor penghambat sosial, ekonomi, internet, dan teknologi yang terkendala di bebagai sudut, meski guru dan dosen sudah mampu duduk sebagai model sastranya.

b.  Alternatif pengajaran Sastra

 Sejauh ini, alternatif media atau platform yang bisa digunakan sebagai kendaraan pengajaran dan pendidikan sastra daring tetap sama dengan pembelajaran daring pada umumnya, yaitu mulai dari WhatsApp (WA), Google Class Room (GCR), Zoom Meeting (ZM) dan lainnya. Dari masing-masing aplikasi pun sudah dapat diidentifikasi kekurangan dan kelebihannya, sehingga guru dan dosen dapat memilih mana aplikasi media yang paling sesuai dengan kondisi dan latar belakang sosial dan ekonomi para peserta didik dan mahasiswanya. Selain kendaraan aplikasi tersebut, guru dan dosen, serta peserta didik dan mahasiswa juga dapat menggunakan aplikasi media sosial (mesdos) lain yang tentu akan semakin menambah mudahnya pengajaran dan pendidikan sastra seperti aplikasi You Tube, Twitter, Facebook, Instagram, Line dan lainnya, dengan futur-fitur yang semakin dapat mempermudah dalam mengenalkan, mengapresiasi, memproduksi, hingga membuat pertunjukkan sastra baik lisan maupun tulisan.

Kini, hampir semua medsos, bahkan telah dijadikan alat atau media bukan sekadar untuk gaya hidup oleh generasi milenial dan generasi Z, tetapi sudah menjadi lahan hidup. Hingga melahirkan artis dan selebgram baru dan instan dari dunia medsos, tetapi memiliki jutaan pengikut dan penghasilan yang sampai miliaran. Padahal, apa yang dilakukan oleh para artis selebgram tersebut rata-rata hanya membikin konten, yaitu informasi yang tersedia melalui media atau produk elektronik.

Bila merujuk pada apa itu sastra dan tujuan sastra, maka konten yang dibuat oleh para artis selebgram adalah sama dengan karya sastra. Untuk membikin konten tentu ada proses ide, penulisan, proses produksi, hingga proses penayangan. Semua itu, tak ubahnya dunia sastra modern via elektronik.

Karenanya, para guru dan dosen juga dapat mengikuti contoh gerak langkah para artis selebgram, meski bukan sastrawan, namun mampu membuat konten menarik dan disukai kalangan milenial dan kalangan generasi Z, hingga menghasilkan rupiah miliaran. Semisal, untuk mengenalkan sastra puisi, bisa membuat konten contoh pertunjukkan puisi yang diproduksi oleh guru atau dosen langsung sebagai penulis dan aktornya di buat dalam bentuk video sederhana, lalu bisa dishare di You Tube untuk dijadikan bahan pengajaran dan pendidikan sastra kepada peserta didik atau mahasiswa sebagai pengenalan, apresiasi, dan memproduksi, dll.

(6) Kesimpulan

Pengajaran dan pendidikan sastra melalui jalur formal (Sekolah dan Perguruan Tinggi) masih terpuruk. Penyebabnya adalah kompetensi guru dan dosen. Agar pengajaran dan pendidikan sastra daring berhasil di masa pandemi, guru dan dosen wajib mengasah kompetensi sastranya dan kreatif, inovatif, dan menggunakan strategi dan teknologi pengajaran dan pendidikan yang tepat. Guru dan dosen  pun dapat meneladani para artis selebgram dalam membuat konten.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler