x

Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan (kedua kanan) memotong tumpeng disaksikan Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN Hatta Rajasa (kiri), Ketua Dewan Kehormatan PAN Sutrisno Bachir (kedua kiri), Sekjen PAN Eddy Soeparno (kanan) saat acara HUT ke-22 PAN, di DPP PAN, Jakarta, Ahad, 23 Agustus 2020. ANTARA/Galih Pradipta.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 28 Agustus 2021 08:34 WIB

PAN Tidak Tahan Lagi Jadi Oposisi?         

Bila PAN mengikuti jejak Gerindra masuk kabinet, langkah ini menegaskan betapa elite politik tidak peduli dengan peran sejati yang seharusnya diemban partai politik. Partai semestinya menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memperjuangkan kepentingan elite sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

             

Kabar [rencana] masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam kabinet pemerintahan Presiden Jokowi begitu santer disampaikan berbagai media. Apakah ini berita yang mengejutkan? Rasanya tidak. Sejak pengaruh Amien Rais berhasil dibendung dalam musyawarah nasional tahun 2020 lalu, bergabungnya PAN dengan koalisi gemuk pemerintah hanya tinggal menunggu waktu. Terpilihnya Zulkifli Hasan merupakan sinyal arah politik PAN saat itu.

Dalam situasi ketika koalisi gemuk pemerintahan tidak memperoleh perimbangan dari kekuatan politik lain, PAN memilih untuk menambah gemuk koalisi. Tinggallah PKS dan Demokrat yang mungkin akan berusaha keras mempertahankan diri sebagai penyeimbang dengan kekuatan yang tanggung untuk mampu menjadi oposisi yang tangguh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semakin lemahnya kekuatan politik oposisi ini menjadikan pemerintah tidak terbendung, karena dukungan di parlemen sangat kuat. PKS dan Demokrat tidak akan sanggup melawan apapun yang menjadi kepentingan pemerintah, karena partai politik di pemerintahan dan di parlemen adalah sama.

PAN mengikuti jejak Gerindra masuk kabinet, langkah yang menegaskan betapa elite politik tidak peduli dengan peran sejati yang seharusnya diemban oleh partai politik. Partai semestinya menjadi sarana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memperjuangkan kepentingan elite sendiri. PAN dan Gerindra bersikap pragmatis dan memperlihatkan diri sebagai partai politik yang tidak tahan menjadi oposisi. Kedua partai yang lahir setelah turunnya Orde Baru ini kehilangan jati dirinya sebagai partai yang dilahirkan karena kebutuhan reformasi politik dan terjatuh menjadi partai yang pragmatis.

Baik Jokowi maupun elite koalisinya tentu telah memperhitungkan keuntungan yang didapat dari bergabungnya PAN, yakni dukungan kepada pemerintahan Jokowi semakin kuat dan kritik semakin berkurang. Di tengah menurunnya kepercaya masyarakat kepada pemerintah, seperti diperlihatkan oleh berbagai hasil survei, masuknya PAN mungkin dianggap sebagai keuntungan.

Ibarat membeli saham perusahaan ketika harganya sedang turun, PAN barangkali merasa diuntungkan bila masuk kabinet saat ini. Elite PAN jelas berharap memperoleh kursi di kabinet yang mendekatkan akses kepada berbagai sumberdaya. Dengan bergabung ke koalisi, PAN barangkali juga merasa tekanan terhadap mereka akan berkurang. Menghadapi 2024, PAN memerlukan tambahan vitamin agar bisa tampil lebih percaya diri, dan ini dilakukan dengan bergabung ke dalam koalisi.

Apabila Zulkifli Hasan masuk menjadi menteri koordinator, maka bertambah satu lagi ketua umum partai yang menjadi bawahan presiden di kabinet, selain Prabowo Subianto-Gerindra, Airlangga Hatarto-Golkar, dan Suharso Monoarfa-PPP. Bagi Jokowi, ini suatu keuntungan karena memudahknya dirinya dalam memperoleh dukungan dari partai-partai di luar PDI-P, yang langkah-langkahnya sangat ditentukan oleh Megawati.

Elite partai ini tidak peduli bahwa dengan langkah tersebut rakyat semakin merasa tidak ada partai yang akan menyuarakan aspirasinya karena nyaris semua partai ingin duduk di pemerintahan dan menikmati kekuasaan bersama-sama. Di saat isu amendemen menghangat, masyarakat bertanya-tanya apakah terjadi politik dagang sapi bahwa PAN akan mendukung rencana amendemen yang digulirkan sejumlah elite politik? Elite politik telah mengabaikan fungsi penting partai politik untuk memajukan demokrasi yang sehat dan berkeadilan, yang benar-benar melindungi rakyat. Bagi mereka, duduk di kursi pemerintahan terasa lebih nyaman. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu