
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay
Selasa, 31 Agustus 2021 18:43 WIB
Polemik Bahasa di Media Sosial dan Pentingnya Kesantunan Berbahasa
Video lama yang membuat kata picek pun jadi polemik lagi. Betapa penting kesantunan berbahasa dimiliki pemakai bahasa Indonesia. Gimana caranya?
Dibaca : 1.006 kali
Sola kata picek yang jadi polemik dan pentingnya kesantunan berbahasa
Tiba-tiba video lama sebutan “picek” Bupati Banjarnegara viral lagi. Entah kenapa, masih banyak orang yang terlalu mudah mengumbar kontroversial lalu jadi polemik. Bahasa-bahasa yang tidak pantas pun jadi biang keributan yang tidak produktif. Mau sampai kapan bangsa Indonesia begini?
Agak prihatin, mencermati perilaku orang-orang yang gemar menimbulkan polemik. Kata-kata atau bahasa yang kontroversial diangkat ke publik lalu jadi kontroversial. Sementara PPKM dengan berbagai level terus berlanjut di masa pandemi Covid-19, kian membatasi produktivitas. Dan bangsa Indonesi belum mampu keluar dari kondisi pandemi untuk segera pulih dan normal. Sementara di Inggris sana, premier league telah berputar dan penonton-nya membludak seakan tidak ada Covid-19.
Jadi harusnya bagaimana kita berbahasa sebagai bangsa?
Saya berpendapat hati-hatilah dalam berkata-kata dan berbahasa. Apalagi di media sosial atau di area publik. Jangan sampai karena sentimen atau celetukan yang sifatnya informal jadi menimbulkan polemik dan kontroversial. Hingga jadi masalah hukum atau delik aduan.
Patut diketahui UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa jadi alat untuk menjerat pelakunya. Bahkan di Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut “melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Jadi, berhati-hatilah.
Bertutur kata dan menyebut “picek” lalu menjadi viral dan polemik sama sekali tidak produktif. Kita masih ingat tentang penggunaan kata “anjay” oleh seorang artis band. Belum lagi polemik yang timbul akibat istilah “pulang kampung” dan “mudik” yang jadi perdebatan. Maka siapa pun pengguna bahasa, hati-hatilah dalam bertutur kata. Lalu bagi penyimak pun harus dilihat manfaat dan konteks-nya. Agar tidak jadi ribut atau perdebatan yang tidak produktif. Carilah bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.
Sebagai sikap dalam berbahasa, kata “picek” atau "anjay" yang dipolemikkan itu bukanlah kata baku. Itu hanya bahasa gaul atau bahasa lisan. Jadi agak sulit mempersoalkan bahasa gaul yang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karena sifatnya informal.
Kata “picek” tidak ada di KKBI, kata “anjay” pun tidak ada di KBBI. Lalu untuk apa dipersoalkan? Pasti tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik. Jadi, kata-kata itu dipakai oleh orang yang tidak tahu cara menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahkan kesantunan berbahasa pun diabaikan. Kita cukup tahu kualitas berbahasa orang-orang tersebut, mungkin masih sangat rendah. Kok bisa memakai bahasa yang kurang pas atau tendensi-nya negatif. Sama sekali kurang mendidik.
Sehingga cukup disarankan memakai kata-kata yang lebih baik atau lebih pantas. Agar tidak jadi masalah, tidak jadi polemik. Selesai. Bila esok, ada yang menggunakan kata-kata seperti "jijay", "alay", "lebay", "tokay", dan sejeninya. Apa mau diributkan? Sungguh, sangat membuan waktu dan tidak produktif.
Maka siapa pun yang aktif di media sosial atau tokoh publik harus hati-hati. Jangan sampai gara-gara tuturan atau bahasa jadi masalah. Secara prinsip, saat menggunakan bahasa atau kata-kat itu harus memperhatikan dua hal: 1) bentuk bahasa dan 2) penggunaannya.
Misalnya, kata “picek”. Secara bentuk kata "picek" tidak ada di KBBI, maka kata itu tidak pantas digunakan karena tidak baku. Tapi bila penggunaan kata “picek” dijadikan sapaan atau umpatan kepada seseorang ya berarti salah, tidak pantas digunakan.
Di sisi lain, setiap perilaku berbahasa dapat dilihat dari sisi makna.
Seperti kata “picek” maka harus dilihat konteksnya. Soal hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.
Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif - tergantung si orang yang memakai bahasa itu. Di situlah terlihat kualitas berbahasa seseorang.
Maka, berbahasalah yang pantas dan berterima.
Kata-kata yang diadopsi dari Bahasa gaul, seperti “pecek”, "anjay" dan sebagainya yang tidak pantas dan tidak santun sebaiknya diabaikan. Bagi yang paham, cukup diimbau mereka untuk tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas itu. Beri tahu mereka untuk menggunakan kata-kata dan bahasa yang pantas. Bahasa yang santun. Agar tidka jadi polemik.
Lakoff, seorang linguis dari Universitas California menegaskan aspek penting dalam berbahasa. Agar tidak menimbulkan friksi. Tentang pentingnya kesantunan berbahasa yang harus dilihat dari 1) formalitas, 2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah, ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa berarti tidak santun. Bahasa yang tidak santun cukup diberi tahu yag santun dan abaikan perdebatannya.
Selain itu, Bahasa pun ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi. Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Maka saya menduga kata "picek" itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah. Jadi untuk apa diributkan?
Sekali lagi, siapa pun berhati-hatilah dalam berbahasa. Apalagi di media sosial. Intinya, setiap kata dan bahasa yang digunakan itu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, pilihlah bahasa yang pantas dan tidak menimbulkan polemik. Ributlah soal yang produktif dan solutif tentang persoalan sosial. Jangan ribut soal kata-kat atau bahasa yang tidak berkualitas. Salam bahasa.
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
Sabtu, 6 November 2021 17:25 WIB

Kebijakan Tes PCR Berubah-ubah Hingga Buat Bingung Rakyat, Ada Motif Apa?
Dibaca : 361 kali
Kamis, 4 November 2021 08:37 WIB

Permainan Picik Culasi Rakyat (PCR) Terbongkar?
Dibaca : 638 kali
Kamis, 4 November 2021 10:30 WIB

Begini Kronologi Terkuaknya Bisnis Tes PCR yang Libatkan Menko Luhut
Dibaca : 521 kali
Selasa, 2 November 2021 18:51 WIB

Nataru untuk Momentum Bisnis PCR Lagi?
Dibaca : 541 kali
Selasa, 26 Oktober 2021 11:16 WIB

7 Tahun Kepresidenan, Momen Perenungan Mestinya
Dibaca : 860 kali
Minggu, 24 Oktober 2021 08:10 WIB

Riset Wajib Dipayungi Pancasila, Ekonomi Malah Bebas Merdeka
Dibaca : 819 kali
Selasa, 19 Oktober 2021 11:35 WIB

LADI Memalukan, Indonesia pun Disanksi WADA, Covid-19 Jadi Alasan
Dibaca : 522 kali
Selasa, 19 Oktober 2021 06:54 WIB

Andai Jadi Maju Pilpres 2024: Bukti Kegigihan Prabowo?
Dibaca : 1.146 kali
Kamis, 14 Oktober 2021 08:55 WIB

Ingat, Lawan Timnas Berikutnya Bukan Chinese Taipei
Dibaca : 563 kali
4 hari lalu

Srategi Merencanakan Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Dibaca : 405 kali
5 hari lalu

Misi Menghempaskan Tiga Lawan Tersisa dengan Skor Besar
Dibaca : 364 kali
Senin, 9 Mei 2022 18:50 WIB

Citra Laki-Laki dalam Tiga Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis
Dibaca : 347 kali
3 hari lalu
