x

pencurian data digital

Iklan

Choirul Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 September 2020

Rabu, 6 Oktober 2021 06:02 WIB

Satu Data Indonesia, Antara Penumpukan dan Aksesibilitas Data Berkualitas

Pemerintah Indonesia menginisiasi kebijakan Satu Data Indonesia. Dengan terintegrasi, semua data yang dihasilkan diharapkan tidak lagi mengalami tumpang tindih. Namun, sksesibilitas data yang berkualitas menjadi sebuah tantangan. 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Regresi dalam Statistika

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah Indonesia telah menginisiasi kebijakan Satu Data Indonesia (SDI). Dengan lebih terintegrasi, maka semua pendataan dan data yang dihasilkan diharapkan tidak lagi mengalami tumpang tindih. Aksesibilitas data yang berkualitas menjadi sebuah tantangan. 

Komitmen dukungan pemerintah terkait keterpaduan data di Indonesia ini diwujudkan dengan menerbitkan Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Melalui Perpres tersebut, pemerintah bermaksud menghilangkan berbagai versi data yang dihasilkan hanya untuk satu indikator, dan menggantinya menjadi satu data yang bisa digunakan bersama. 

Dengan Satu Data Indonesia, pendataan menjadi terpusat satu pintu, sehingga hasilnya akan semakin fokus dan terarah pada satu tujuan dan sasaran bersama yang diinginkan. Program SDI ini melibatkan lintas sektor dengan kewenangan masing-masing. SDI merujuk pada semua data BPS (Badan Pusat Statistik) dan data-data lain (data sektoral) dari Instansi/Kementrian atau OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait. 

Kebijakan satu pintu pendataan dalam SDI ini sebuah langkah maju. Mengingat, selama ini terjadi tumpang tindih akibat banyaknya pendataan yang dilakukan selain pihak BPS. Terlebih, upaya ini akan bisa menjadi solusi, setidaknya bagi masih adanya perbedaan data dan kemanfaatannya, yang masih kerap muncul dalam penggunaannya. 

Fakta banyaknya hasil pendataan banyak ditemui, dan kerap berkonsekuensi pada hasil yang karut marut dan saling tumpang tindih. Masalah menumpuknya versi data ini sudah lama mendapatkan kritik dan keprihatinan publik. Setidaknya, ini pernah disinggung praktisi yang juga Ketua Departemen Sosiologi, FISIP UGM, Dr. Arie Sujito, dalam kesempatan diskusi daring tematik tentang Datakrasi dalam Kedaruratan Covid-19, yang diselenggarakan Departemen Sosiologi, Fisipol UGM, pada 19 Mei 2020 lalu.

Karuan saja, data menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan kebijakan maupun layanan sosial. Namun, data yang tersedia selama ini kerap tidak dapat digunakan secara efektif. Hampir semua kementerian/instansi mengklaim pemilik data paling akurat, dan ini berimplikasi tidak dimilikinya basis data yang benar-benar meyakinkan (kredibel) bagi publik maupun stakehoder.

Karena itu pula, agar data tidak tumpang tindih, maka perlu atensi khusus dalam pengelolaan dan output data dari banyak sumber pendataan ini. Apalagi, kebijakan lintas kementerian/instansi berdasarkan datanya sendiri-sendiri tersebut, lantas merambat hingga pemerintahan dan layanan sosial tingkat desa, dan ini menyebabkan lahirnya kebijakan yang tidak efektif. 

Bahkan, banyaknya data tumpang tindih ini tak jarang bisa berimbas, keraguan dan kontroversi dengan segenap risiko baru yang harus ditanggung. Dalam kenyataan ini, sangat diperlukan pengelolaan data yang terintegrasi dan terkonsolidasi yang lebih akuntabel, untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang efektif bagi masyarakat. 

Satu Data Indonesia ini sekaligus harus bisa memastikan kredibilitas dan kualitas data yang ada, tanpa lagi memunculkan interpretasi yang justru bisa meragukan pada apapun data yang dihasilkan. Melalui kebijakan SDI, satu indikator pendataan akan menjadi satu data yang bisa digunakan bersama. Selain itu, SDI juga dimaksudkan menghilangkan ego sektoral setiap instansi di dalam menghasilkan data, dimana kadangkala data tersebut tidak dapat diberikan kepada pihak lain karena dianggap milik instansi tersebut.

Tantangan Aksesibilitas dan Penyajian Data

Data berfungsi sangat penting sebagai sumber atau bahan informasi untuk bisa dijadikan referensi dasar pengambilan sebuah keputusan. Karena itu pula, data harus memenuhi prinsip aplikabel dan operabilitas. Dengan prinsip ini, maka data-data akan mudah dibagi-pakaikan dan disebarluaskan kemanfataannya. 

Data yang aplikabel, berarti mengandung hasil pengukuran dan penghitungan yang cukup akurat, juga dilakukan dengan pengolahan secara tepat. Sebaliknya, data yang salah proses pengumpulan dan pengolahannya, menjadi kurang berkualitas dan akhirnya bisa menjadi tidak ubahnya sampah informasi. 

Apakah yang harus ada pada SDI, sehingga bisa mengurangi kesenjangan kemanfataan data-data yang ada? Tentunya aspek aksesibilitas dan akseptabilitas dari data-data yang dihasilkan menjadi hal yang tak bisa disepelekan. 

Satu Data Indonesia nantinya akan sangat strategis fungsinya dalam konteks bagaimana data-data bisa diakses dan dibagi-pakaikan. Dalam satu platform dan database tersendiri, maka data-data demografis maupun sosial-ekonomi penduduk akan bisa diperoleh dengan lebih mudah dan mutakhir. Ini karena, berbagai data terbaru dari jenis pendataan berbeda-beda, hasilnya bisa dilihat dalam satu kesatuan data SDI. 

Nah, dalam kaitan ini aksesibilitas data sangatlah penting. Aksesibilitas tidak sebatas bagaimana data-data bisa ditemukan dan diperoleh, namun juga bagaimana informasi data yang dibutuhkan tersebut bisa disajikan. Jika keterjangkauan data ini difasilitasi melalui metadata misalnya, maka prinsip kerja dan fungsi metadata harus ada. Yakni, menyajikan data dalam data, atau informasi dalam informasi. Karena itu pula, platform SDI harus bisa menerapkan prinsip ini sesederhana mungkin dengan jejaring aplikasi yang mudah diakses publik. 

Selain itu, klasifikasi dan kategorisasi data penting dilakukan. Tidak hanya darimana pendataan data itu dihasilkan, melainkan pula tentang apa dan kapan dikumpulkan. Data soal kesejahteraan dan kemiskinan misalnya, penting disajikan dalam satu ringkasan dan kurun waktu yang lengkap. Dengan demikian, kebutuhan data ini bisa didapatkan tidak sepotong-potong, dan masih harus diinterpretasikan dahulu karena waktu pengambilannya yang berbeda. 

Data soal kemiskinan misalnya, sebaiknya tidak sebatas angka dan persentase saja. Dalam kasus ini, setidaknya ada keterpaduan data yang dihasilkan dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS dengan DTKS Kemensos. Jika ada keterpaduan data kemiskinan ini, maka pengguna data dari SDI ini tidak akan kelabakan manakala misalnya ada program pengentasan kemiskinan yang membutuhkan konfirmasi siapa sasarannya. 

Hal tak kalah penting terkait keterjangkauan dan kemudahan pencarian data ini, adalah keterbacaan dari data-data yang ada. Maka, ini berhubungan dengan seperti apa data-data SDI disajikan. Selain mudah terbaca, maka sajian data juga harus lebih simpel dan tidak menimbulkan salah tafsir. Penyederhanaan data ini juga untuk lebih memudahkan profil data yang lebih real time dan efektif, dan menyesuaikan kebutuhan data yang sifatnya urgen dan darurat. 

Dalam publikasi hasil pendataan, maka perlu dipertimbangkan pola dan konvergensi penyajiannya. Faktor digitalisasi dan kecepatan juga perlu dipikirkan dengan tetap mengedepankan akurasi dan kualitas data yang akan dipublikasikan. Terlebih untuk data-data sektoral, konvergensi penyajian data ini sangat penting. Sebaliknya, data yang disajikan dalam berbagai bentuk, maka kemanfaatannya bisa jauh lebih optimal. Resume dalam bentuk infografis, tabulasi, grafik ataupun diagram yang menggambarkan kesimpulan hasil perlu lebih diperbanyak sesuai klasifikasi data. 
 
Konvergensi data ini berkaitan dengan kebutuhan pengambilan keputusan jangka pendek atau menjadi referensi kajian analitis yang cepat. Publikasi data yang baru bisa dibagi-pakaikan dalam waktu sangat lama setelah pendataan tentu tidak efektif. Masih kerap didapati data-data lama yang belum termutakhirkan bahkan melewati lebih dari 1-2 tahun. 

Kemudahan akses, keterbacaan, dan pola penyajian data melalui SDI ini lah yang sekaligus juga bisa memenuhi prinsip keterbukaan dan transparansi data bagi publik seluas-luasnya. Dari kesemua itu dengan keterbukaan, maka sekaligus akan mengurangi kesenjangan pemaknaan dan penggunaan data sesuai peruntukan semestinya. (*)

Ikuti tulisan menarik Choirul Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu