x

Sebanyak 675 santri asal Sumatera Selatan kembali ke pondok untuk mengikuti kegaiatan belajar dengan protokol kesehatan yang ketat guna mencegah penyebaran wabah Covid-19. Antara Foto/Nova Wahyudi

Iklan

M. Nur Kholis Al Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2019

Kamis, 14 Oktober 2021 19:42 WIB

Memaknai Santri Melalui Falsafah Jawa


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: M. Nur Kholis Al Amin

 

Well, enjing puniko (pagi ini), seiring telah masuknya waktu pertengahan bulan Oktober, kita akan mengulik makna santri melalui pendekataan kekayaan tradisi lokal, dalam hal ini adalah kearifan Jawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di bumi Nusantara atau lebih spesifiknya, di era kemerdekaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Indonesia, pada telah dittapkan hari santri yang berlaku secara Nasional, tepatnya pada bulan Oktober.

Ya, setiap kebijakan pastinya ada yang pro dan jelasnya juga ada yang kontra. Itu sudah menjadi hukum alam guys. Jadi, gak usah dibikin ribet bin susah, bahkan sampai lahir perpecahan sesama anak bangsa.

Tulisan ini, tidak akan melihat dari perspektif perbedaan atau mau tidaknya golongan tertentu terhadap hari santri. Namun, tulisan ini hanya akan melihat makna santri melalui perspektif sebagian kecil budaya Jawa, khususnya bahasa sanepo atau yang jamak dikenal masyarakat dengan istilah majas.

Well, langsung saja nih. Jadi, kekayaan bahasa dan tradisi Jawa itu ternyata banyak banget, salah satunya melalui makna yang terkandung dalam kata santri.

Di mana, secara sederhana, apabila kita membicarakan mengenai santri, maka seketika itu pula dalam mindset kita akan merujuk pada makna seseorang yang sedang mencari (luru) ilmu, luru pencerahan, dan bahkan merujuk pada sarungan, pecian, dan sikap yang tawadhu' (sopan santun).

Lebih lanjut, melalui sanepo dengan bahasa Jawa tersebut--walaupun sebagian golongan masyarakat gak setuju, ya, sah-sah saja--makna santri bisa memiliki substansi yang sangat signifikan sebagai bekal kehidupan ini. Karena pada dasarnya, "santri" terbentuk dari kata "san" (menjaga) dan "tri" (tiga) yang mempunyai makna, menjaga tiga hal. Jadi, seorang yang hidup sebagai hamba Tuhan haruslah mampu untuk menjadi santri atau menjaga tiga hal, yakni:

  1. Toto/ tata; dalam kehidupannya haruslah ditoto/ ditata. Sehingga, disitulah Islam mengenalkan Agama dengan melalui aturan-aturan/ hukum (Agama lain pun, pasti juga memiliki ajaran tentang hukum) yang bertujuan untuk menjaga tata tertib manusia/ masyarakat. Bahkan, kalau dalam bahasa hukum (umum) pun dikenal denan istilah ubi societies ibi ius( ada masyarakat, maka ada hukum). Sehingga, dalam hidupnya pun manusia harus "toto", yang dijalankan secara berhati-hati.
  2. Titi: dalam melaksanakan kewajibannya sebagai mukallaf/ orang yang terbebani hukum, dalam kesehariannya sebagai upaya pengamalan khitob Allah haruslah setiti (berhati-hati, sadar, waspada) dan selalu berpikir dan diiringi dengan berdzikir (eling) denganNya. Agar mampu mendapatkan ketentraman
  3. Tentrem; salah satu tujuan hidup manusia adalah memperoleh ketentraman, ketenangan, kesentosaan. Hingga telah disapa dalam Alquran agar memperoleh jiwa yang muthmainnah (tenang) tentram, sehingga mampu untuk mendapat Ridho Allah.

يا ايتها النفس المطمؤنة. إرجعي الي ربك راضيتا مرضية. فادخلي في عبادي، وادخلي جنتي.

#SelamatHariSantri

#TotoTitiTentrem

Ikuti tulisan menarik M. Nur Kholis Al Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu