masa memberangus
tinggalkan musim
silih berganti, di jejak waktu
kita membacanya
: dangkalnya kontemplasi
hanya daun menyisakan
kemilau mata
hingga cinta bertaburan
bagai teduh awan berkelana
menghampar hijau
di setiap sudut ilalang
dan di batas persinggahan
sesudah itu, memayungi hujan
sajak kita, penggalan waktu
mengisah neoklasik
dari jejaring cemas dan gelisah
melekat erat
di tubuh-tubuh para peziarah waktu
bagai rindu yang berbusana
mengakhiri kapitalisme
di sepenggal cerita usang
dan mengamini dangkalnya pikiran
membaur adonan, surealisme dan modern
: apakah ini insiatif absurd?
hari ini,
tembok-tembok makin rapuh
penuh luka
kemana kita harus berlindung dan bersembunyi
jarak menjadi tempat
untuk mengagungkan arca lisan
terbasuh dari diksi penista bumi
: bukankah tembok tidak pernah fana?
biarkan cahaya menusuk
menyingkap tabir luka
di pelepah malam yang berbalut mimpi
jalan kita makin limbung
membaca peradaban, tak lagi teduh
tiba-tiba reruntuhan pandemi berjatuhan
langit pun hanya menatap kita
puisi bagai mimpi tak berwujud
merapal doa, dengan majas gundah-gulana
haruskah kita biarkan,
menjadi catatan bisu
di geligi sejarah tak bertuan
mengakar dan tumbuh di rahim baru
menjelma serupa revolusi zaman
atau itu wujud baru kapitalisme neoklasik!?
Malang, 2021
Ikuti tulisan menarik Vitto Prasetyo lainnya di sini.