x

Santri adalah penggerak Masyarakat

Iklan

Moh Nur Nawawi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 November 2019

Kamis, 21 Oktober 2021 14:56 WIB

Santri Era Daring

Santri di era daring harus mampu menempatkan diri di tengah masyarakat yang majemuk dengan berbagai pendekatan, selain itu santri harus terus mengupgrade kemampuan bukan hanya keilmuan tapi juga keahlian termasuk Teknologi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Refleksi Hari Santri Nasional 22 Oktober.

 

Santri memiliki tempat tersendiri di masyarakat Indonesia, kaum santri sejak zaman dulu selalu mengambil bagian dari perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Santri selalu memberikan kontribusi terbaiknya untuk Indonesia. Hari santri yang di peringati setiap 22 Oktober adalah refleksi dari resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagai figur atau tokoh Santri Indonesia, resolusi ini untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Berbicara tentang konteks kebangsaan dan nasionalisme, santri kerap membenturkan jasa-jasanya di masa lalu atau lebih tepatnya jasa-jasa para pendahulunya, sehingga merasa berhak menjadi pewaris yang sah atas bangsa ini. Sering muncul rasa keakuan bahwa santrilah yang dulu ikut berjuang melawan penjajah,turut dalam pembentukannegara ini, sehingga merasa paling nasionalis. Hal ini setidaknya justru menjadi sebuah otokritik bagi santri sendiri. Apakah santri akan terus membanggakan jasa pendahulunya seperti anak yang mengunggulkan jasa orang tuanya tanpa mampu berbuat banyak untuk negerinya?

 

Setiap tahun hiruk pikuk euforia selebrasi hari santri yang umur penetapannya jelas jauh tertinggal dibanding hari ibu selalu dilaksanakan, upacara, pawai, apel kebangsaan hingga bazar diselenggarakan seantero negeri oleh kaum yang melabeli dirinya santri. bukan membicarakan proses penetapannya tapi mari kita bertanya, apa yang bisa santri perbuat untuk hari ini? Perjuangan santri di masa lalu adalah sejarah bagi santri saat ini, dan sejarah seperti apa yang akan santri hari ini ciptakan untuk santri berikutnya? atau apakah kita cukup hanya bangga dengan mewariskan cerita sejarah masa lalu, terus-menerus? Harusnya sih tidak.

 

Perjuangan santri di medan perang memang tak ada cacat sejarah. Pun demikian dengan medan dakwah, santri pernah menjadi penguasa di medan ini di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam berbagai majelis, ritual keagamaan maupun upacara daur hidup, santri menjadi tokoh utama yang dijadikan rujukan.

 

Namun kondisi ini berubah ketika medan dakwah tak lagi tunggal di atas panggung, melainkan bergerak masuk ke ruang-ruang privat melalui layar gawai. Medan dakwah yang mengecil tetapi menembus batas teritori ini menjadi ruang medan perebutan yang sengit.

 

Di masa pandemi ini, peran internet semakin kuat dan meluas sehingga terjadi migrasi besar-besaran penduduk dunia. Bukan secara fisik dari satu tempat ke tempat yang lain, melainkan dari dunia nyata ke maya, dari luring ke daring, dari manual ke digital, ke virtual. Inilah pergeseran global yang akan membuka banyak peluang pasar dunia, termasuk dakwah di dalamnya. Untuk itu, santri perlu membekali diri sebelum melakukan perjalanan panjang yang tak melelahkan.

 

Semua itu tentu menjadi pengingat bagi kaum santri agar terus mengupgrade kemampuan dan keilmuan bukan hanya sekedar bidang agama khususnya Islam tapi juga ilmu pengetahuan lainnya serta teknologi khususnya teknologi Informasi. Menghadapi itu semua,  santri membutuhkan tiga kunci untuk kembali merebut medan yang pernah dikuasainya.

 

Pertama, aktualisasi. Setiap orang membutuhkan aktualisasi diri dengan cara menampilkan kemampuannya. Untuk inilah santri ditempa bertahun-tahun di pesantren. Dibanding lulusan umum, santri memiliki keunggulan dalam pengetahuan dan kecerdasan karena disokong piramida keilmuan yang kuat. Kelemahannya adalah lambat, tidak yakin atau bahkan tidak berani ambil bagian di tengah masyarakat. Keunggulan dan kelemahan ini harus disadari oleh santri sehingga dapat bersiasat untuk mengaktualisasikan diri.

 

Kedua, kontekstualisasi.Tak dapat dipungkiri bahwa santri memiliki sejarahnya yang panjang di negeri ini. Pun demikian dengan keilmuannya. Namun tak kontekstualisasi kesantrian dan keilmuannya, santri hanyalah katak dalam tempurung.  Kontekstualisasi pemikiran santri harus menyentuh beragam lapisan Jika bertemu orang awam, santri mampu membahasakan ajaran agama dengan mudah, bertemu akademisi, santri mampu berbahasa agama yang ilmiah, dan lain sebagainya.

 

Pada generasi selanjutnya, kita dapat melihat bahwa intelektual muslim dari kalangan santri adalah mereka yang berhasil melakukan kontekstualisasi ajaran agama. Dengan cara ini, santri akan berpikiran terbuka dan menerima setiap perubahan zaman. 

"Agama harus berjalan beriringan dengan Sains dan Teknologi"

Ketiga, agensi (keterwakilan). Sebagaimana dalam catur, setiap bidaknya memiliki peran masing-masing. Bahkan yang perannya paling kecil sekalipun akan dapat menjelma bidak dengan posisi strategis sejauh ia punya hasrat untuk terus maju melintasi garis lawan yang penuh risiko. Artinya, santri mesti paham peluang dan tidak alergi dengan “konfrontasi” dengan berbagai pihak. Tak dipungkiri bahwa sebagai manusia, santri memang memiliki keterbatasan. Namun dengan jumlahnya yang sangat besar dan mayoritas, mestinya peran itu dapat dibagi.  Ada yang berperan sebagai pendidik atau dosen, santripreneur, ahli IT, ahli pertanian, ahli kontruksi, politikus dan profesi lainnya.

 

Santri harus berkiprah langsung kepada masyarakat mulai level bawah yaitu tingkat RT/RW, di kantor desa, di kantor kecamatan, di kantor walikota di kantor-kantor dinas, di Gedung DPR. Dengan berbagi peran seperti ini, santri dapat benar - benar menjadi nafas dalam laju kehidupan umat.

 

Tiga kunci di atas seperti tangga piramida yang musti dilewati dari bawah. Jika pada tahap pertama (aktualisasi) sudah gagal, santri tak ubahnya bukan santri atau tetap santri yang menguburkan kesantriannya dengan penuh protokol kesantrian yang kerap merasa ‘takut salah’, ‘masih ada yang lebih tua’ dan lain sebagainya. Karakter santri yang demikian akan mudah terkena ‘tikung’ pihak lain. Dan imbas dari semua itu hanya akan ada paradigma kepasrahan yang lebih mirip ketidakpedulian.

 

Hari santri harus jadi momentum bagi santri untuk memahami posisi diri di tengah masyarakat dan ditengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga santri terus aktif dan kreatif berinovasi untuk terus berkontribusi kepada masyarakat di semua lini kehidupan bukan hanya medan pendidikan agama dan dakwah tapi juga semua medan kehidupan.

Ikuti tulisan menarik Moh Nur Nawawi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler