x

Oligarki

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 25 Oktober 2021 09:42 WIB

Oligarki Adaptif di Tengah Transisi Demokrasi

Kejatuhan Soeharto justru membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dengan cara yang baru mengingat tidak ada lagi kekuasaan terpusat yang mengendalikan mereka. Institusi-institusi baru, yang dilahirkan dan dianggap sebagai produk reformasi, menjadi incaran para oligark.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sepuluh tahun yang lampau, Oligarki—buku karya akademikus AS Jeffrey A. Winters—terbit dalam Bahasa Indonesia. Buku itu terbit 13 tahun setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, 21 Mei 1998. Alih-alih memuji perkembangan demokrasi di Indonesia setelah rezim Orde Baru berlalu, Winters justru mengingatkan ancaman yang segera merenggut demokrasi dari tangan rakyat yang telah bersusah payah mengikhtiarkannya.

Ancaman itu, menurut Winters, adalah kekuatan oligarki yang mengalami perubahan wajah: dari oligarki sultanistik di masa Orde Baru menuju oligarki kolektif. Dalam oligarki sultanistik, sarana pemaksaan dimonopoli oleh oligark utama—dalam hal ini Soeharto, bukan oleh negara terlembaga yang dibatasi hukum. Relasi Soeharto dengan oligark lainnya bagai patron-klien. Soehartolah yang mengatur kekuasaan dan hukum di antara mereka, hingga kemudian pada Mei 1998 para oligark meninggalkan Soeharto sendirian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Euforia reformasi sukar dibendung, rakyat terbuai oleh peralihan kekuasaan. Ketika itulah, para oligark memanfaatkan situasi dan mengonsolidasikan diri. Dalam pandangan Winters, masyarakat madani terlampau lemah untuk menangkap peluang kembalinya demokrasi, sedangkan para oligark bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan demokrasi dan kemudian mendominasinya.

Pemilihan legislatif dan kepala daerah secara langsung dilihat oleh rakyat sebagai kembalinya demokrasi ke tangan mereka. Namun, para oligark justru melihatnya sebagai peluang untuk ikut campur dalam memengaruhi siapa yang akan terpilih. Di dalam menentukan siapa yang menang dalam apa yang disebut ‘pesta demokrasi’ itu, menurut Winters, ada kerjasama dan persaingan di antara oligark.

Kajian Winters melengkapi studi mendalam Richard Robison dan Verdi Hadiz (Reorganizing Power in Indonesia, 2004). Robison dan Hadiz memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan seluruh kekuasaan politik berada di tangan sekelompok kecil orang kaya yang memastikan bahwa kebijakan publik berpihak pada keuntungan finansial mereka. Caranya, melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan mereka, kontrak karya pemerintah, maupun proteksi bisnis.

Apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan rakyat banyak ketika semangat reformasi diembuskan 23 tahun yang silam. Demokrasi yang sehat dan adil belum terwujud, jika bukan terasa semakin jauh dari cita-cita reformasi. Kekuatan warga pro-demokrasi memang terlihat tidak cukup mampu mengimbangi kekuatan oligarki yang memasuki berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Kejatuhan Soeharto justru membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dengan cara yang baru mengingat tidak ada lagi kekuasaan terpusat yang mengendalikan mereka. Institusi-institusi baru, yang dilahirkan dan dianggap sebagai produk reformasi, menjadi incaran para oligark. Para oligark pasca 1998 menempuh cara apapun untuk mempertahankan dan meningkatkan kemakmuran, pendapatan, dan posisi eksklusif mereka di tengah masyarakat. Ini yang semakin mempersulit kekuatan warga pro-demokrasi untuk mengonsolidasikan diri dan memperjuangkan demokrasi yang sehat dan adil. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler